Maret hingga Juni. Merupakan bulan-bulan sibuk bagi mereka yang akan menghadapi ujian kelulusan, termasuk aku. Akhir-akhir ini kami sedang disibukkan dengan berbagai macam ujian praktek. Aku sebagai murid yang normal tentunya merasa takut, takut jika nanti sampai tidak lulus. Untuk mencegah hal itu sampai terjadi, aku terpaksa harus rajin belajar dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamaku, yaitu bermalas-malasan.
Di sekolah, aku memang dikenal murid yang pandai, selalu juara umum di setiap semester. Setiap kali ada guru yang marah kepada murid yang lain, biasanya selalu menyebut namaku di akhir, tentunya sebagai contoh cara belajar yang baik. Aku tentu bangga dengan predikat tersebut. Namun, apa yang dikatakan guruku itu bisa dikatakan fitnah, mereka bahkan tidak pernah tahu, bahwa aku sebanarnya tidak pernah belajar, seperti yang mereka bicarakan.
Bakat pintarku ini bisa dikatakan bakat alami. Bakat yang tiba-tiba datang, tanpa harus melakukan usaha keras. Terkadang aku sendiri merasa heran, bagaimana mungkin aku bisa menjadi yang terbaik di kelas, sedangkan aku jarang membuka buku pelajaran di rumah. Bagaimana mungkin aku selalu juara umum, padahal aku jarang tidur lebih malam untuk sekedar membaca kembali materi yang sudah dipelajari. Aku tidak pernah menatap buku lebih dari 5 menit, aku tidak pernah betah membaca buku, bahkan aku tidak memiliki jam belajar yang teratur. Terkadang hidup memang terasa sangat mudah.
Namun, menjadi pintar belum cukup membuat aku tenang menghadapi ujian nanti. Bahkan, aku selalu merasa takut jika gagal menghadapi ujian praktek. Bisa saja, Allah dengan kehendakanya membuat aku tidak lulus, karena aku selalu percaya, semua kepintaran yang kumiliki ini milik Allah. Sungguh, Allah sudah terlalu baik kepadaku, memberikan kepintaran kepadaku yang hampir tak melakukan usaha.
“Sst, ngelamunin apa, hayoo?” Faris, dengan sedikit menaikkan kedua alisnya itu memecah lamunanku.
“Nggak, lagi mikirin umat.” Jawabku dengan nada canda.
“Sok peduli kamu, teman aja ditelantarin, pake mikirin umat lagi.” Faris menjawab dengan sedikit meledekku.
Faris adalah salah satu sahabatku, ia adalah temanku yang paling dekat, tentu saja, karena ia duduk di sebelahku. Meskipun orangnya asyik, namun kebiasaannya yang suka mencontek kerap kali membuatku marah. Aku tidak pernah menyontek, oleh karena itu, aku benci sekali dengan teman yang suka menyontek.
“Ssst, udah udah, Bu Sun sudah datang tuh.” Faris membenarkan posisi duduknya, berkata dengan suara lirih, seperti berbisik, matanya melirik ke arah guru yang baru saja masuk ke dalam kelas kami.
Semua siswa langsung duduk pada tempatnya masing-masing, setelah tadi berkeliaran ke kursi-kursi tetangga. “Pagi Bu.” Semua serentak menyapa Bu Sun, Guru Bahasa Indonesia yang terkenal galak tersebut.
“Faris!” Bu Sun melontarkan nama itu dengan nada tinggi, sedikit berteriak layaknya orang yang sedang marah. Baru saja guru itu masuk, sebuah belati telah menyayat satu nama diantara kami. Tentu saja itu sebuah kiasan, tapi Bu Sun benar-benar terlihat marah.
Merasa namanya disebut, Faris heran. ‘Apa yang salah, kenapa Bu Sun marah denganku’. Mungkin itulah yang sedang ada di pikiran temanku itu.
“Kenapa kamu memasang topi terbalik? Mau mengejek saya ya?!” Guru galak itu bertanya, sambil mengutarakan kesalahan yang telah dilakukan Faris.
Ternyata, saking asyiknya Faris ngobrol denganku tadi, ia sampai lupa melepas topinya setelah upacara pagi tadi, parahnya lagi topi itu terpasang terbalik di kepalanya. Bu Sun benar-benar sensi, hanya hal seperti itu saja menjadi alasan untuk memarahi kami.
Hanya satu kesalahan yang dilakukan Faris tersebut, kelas menjadi lebih membosankan, mendengarkan celotehan amarah dan ceramah dari Bu Sun. Satu jam lebih kami diceramahi olehnya, dengan satu kesimpulan akhir, bahwa minggu depan akan diadakan Ujian Praktek Bahasa Indonesia.
“Haah!” Hampir semua siswa serentak mengatakan satu ‘kata’ yang berstruktur 2 huruf itu.
“Ujiannya, dengan berpidato di depan kelas.” Tambah Bu Sun dengan raut wajah yang masih menyimpan marah.
“Haah!” Kali ini, semua siswa benar-benar serentak mengatakan ‘kata’ itu.
“Belum selesai, Tema pidatonya akan ditentukan dengan cara diundi.” Suaranya benar-benar tinggi saat mengatakan susuanan kalimat mengerikan itu. “Itu artinya, kalian semua harus mempersiapkan dan menguasai tema apa saja yang akan kalian terima nanti, semua harus siap.” Semakin ke akhir, nadanya semakin tinggi. Hingga pada kata ‘siap’, suaranya hampir melewati 3 oktaf.
Ini benar-benar mimpi buruk, bagaimana mungkin aku dapat lulus ujian pidato tersebut, sedangkan semua tentu tahu, aku paling tidak bisa kalau ngomong di depan umum, walau hanya di depan teman-teman. Dan Buruknya lagi, tema-nya akan ditentukan dengan undian. Oh tidak, aku benar-benar berharap ini semua hanya mimpi.
ooOoo
2 Hari setelah pengumuman mengerikan itu, aku tak merasa itu semua mimpi. Akhirnya aku menerima kenyataan itu dengan pahit plus getir, ujian pidato itu benar-benar nyata dikatakan oleh Bu Sun. Kini yang harus kulakukan bukanlah mengutuk guru tersebut, tapi harus benar-benar mempersiapkan ujian praktek itu dengan matang.
Aku harus mempersiapkan banyak materi, aku harus banyak menguasai pengetahuan, aku harus memperluas wawasan, aku harus benar-benar menyediakan waktu belajar, dan yang paling penting, aku harus minta kepada Allah. Tak akan kubiarkan Ujian Praktek Bahasa Indonesia ini gagal kulewati.
Tak hanya belajar, di sepertiga malam, aku selalu mengusahakan bangun, menyegarkan badan dengan mandi, dan menyucikan diri dengan wudhu untuk memperoleh kedamaian Sholat Malam, kedamaian hati yang tak terkalahkan. Dan di saat seperti ini, aku selalu merasa berdosa. Berdosa, karena aku hanya merasa dekat kepada-Nya jika sedang membutuhkan saja, baru kusadari atas kesalahan itu, maka kuputuskan untuk merubahnya.
Aku benar-benar merasa tidak pantas lagi meminta kepada-Nya. Namun, di sunyi malam itu, kulantunkan satu permintaanku.
Ya Allah. Engkaulah maha pemberi, engkau yang selalu memberiku kemudahan, meski aku jarang mensyukurinya. Kali ini, berilah petunjukmu lagi kepadaku, berilah kemudahan kepadaku dalam menghadapi ujian, kuserahkan semuanya kepada-Mu Ya Allah. Amiin…
Dalam, doa singkat itu. Aku selalu merasa lebih tenang, damai dan sejuk hati ini. Setiap malam, tak pernah lupa kulantunkan permintaanku itu untuk melengkapi sholat malamku.
Dan siang hari, kuusahakan untuk banyak membaca, begitu serius aku mempersiapkan ujian pidato ini, karena aku tahu, aku bukanlah orang yang memiliki seribu kata. Selalu tak bisa berkata-kata di depan umum.
Aku terus membaca, kali ini aku membaca mengenai teknologi, siapa tahu saat aku maju nanti aku mendapat tema mengenai teknologi. Tak hanya membaca, aku berusaha menghafal bebrapa kosakata menarik dalam berpidato, aku menghafal sedikit isi materinya, dan aku juga menghafal bagaimana cara membuka sebuah pidato.
2 hari sebelum hari H, aku masih berusaha membaca, memperbanyak wawasan. Namun, setiap kali membaca, aku selalu hanya tertarik pada materi yang berkaitan dengan teknologi, padahal ada banyak materi yang harus aku kuasai. Jika dalam teori matematikan, kita mengenal teori peluang, maka peluang keluarnya tema teknologi hanyalah satu berbanding puluhan tema yang akan diundi.
Tinggal satu hari, tak ada materi lain yang kubaca selain teknologi. Mataku selalu tertuju pada materi tersebut. Aku hampir menyerah, ujian semakin dekat, sedangkan aku belum bisa menguasai banyak materi.
Di Malam terakhirnku, aku tidak meninggalkan Sholat Malam. Satu doa terakhirku.
Ya Allah, hanya Engkau yang maha pemberi. Tolonglah aku dalam menghadapi ujian pidato besok Ya Allah.
ooOoo
Ujian itu akan segera dimulai. Semua siswa merasakan hal yang sama denganku, gugup, gemetar dan tidak karuan, kecuali Dea, ia pernah menjadi juara pidato tingkat provinsi mewakili sekolah kami. Seharunya ini hal yang mudah baginya.
Langkah Bu Sun kali ini terdengar jauh lebih mengerikan. Jantung-jantungku berdetak semakin kencang, tidak karuan, melewati batas stabil. Tegang sekali saat mendengar langkah kakinya mendekati kelas kami.
“Kamu sudah siap belum?” Tanya Faris, beberapa saat sebelum satu langkah mengerikan masuk ke dalam kelas.
Aku hanya diam, tidak merespon pertanyaan temanku itu. Pikiranku lebih sibuk memikirkan masa depan, apa yang akan terjadi nanti. Yang pasti, satu diantara dua hal akan terjadi, Berhasil atau gagal. Tak ada rasa optimis yang kurasakan, tak ada pula rasa tenang, yang ada hanyalah ketakutan akan kegagalan.
Namun, di lain sisi, aku terus berusaha meyakinkan diri, bahwa Allah selalu ada di samping kita. Ia pasti akan mengabulkan doaku.
“Baik, ujian ini langsung saja kita mulai. Siapa yang lebih dulu maju, akan ditentukan melalui undian.” Tanpa basa-basi Bu Sun langsung memberi pengarahan terkait ujian pidato tersebut.
Di atas meja Bu Sun, ada dua buah keleng bekas ‘cocacolla’. Aku tahu, di dalam kaleng yang pertama berisi banyak nama untuk menentukan siapa yang lebih dulu maju. Di kaleng kedua, berisi kertas bertuliskan bermacam-macam tema yang harus disampaikan oleh kami.
Giliran pertama. Keleng pertama dikocok, sehelai kertas keluar, bertuliskan satu buah nama diantara kami. Semua berdebar, ini tentunya momen paling mendebarkan bagi kami semua.
“Yandi!” Tegas Bu Sun membaca satu nama yang keluar dari kaleng bekas cocacolla tersebut. Lega rasanya, bukan aku yang pertama.
Kaleng kedua dikocok, kaleng yang menentukan tema pidato yang harus disampaikan, kali ini yang berdebar hanyalah Yandi. Penasaran sekaligus takut. Dan, sebuah tulisan keluar, “kesehatan”. Itulah tema yang harus Yandi sampaikan. Tanpa dikomandoi, Yandi maju ke depan kelas, kulihat langkahnya begitu ragu, namun wajahnya tetap terlihat santai.
Aku semakin gugup, semakin bergetar. Penampilan Yandi barusan cukup bagus, membuatku sedikit merasa minder. Ujian terus berlangsung, tak terasa sudah lama aku menanti, tapi aku belum juga mendapat giliran. Jumlah kami 28, kini sudah penampilan temanku yang ke 19. Faris dan beberapa teman dekatku lainnya sudah sukses, mereka terlihat lega, namun aku belum.
Sambil menunggu, aku tetap mempelajari, menambah wawasan dan materi sambil terus bedoa dalam hati. Lagi-lagi aku hanya membaca buku bagian teknologi, padahal aku membawa banyak buku lain. Dan kali ini, aku hanya berharap, yang keluar nanti adalah tema mengenai teknologi, hanya itu yang kukuasai, hanya itu harapanku.
Oh tidak. Tak terasa, tinggal aku dan Niko yang tersisa, aku masih belum bisa merasa tenang seperti teman-teman yang lain, yang sudah bisa bernafas lega. Tinggal dua nama lagi yang ada di dalam kaleng tersebut. Aku semakin bergetar, gugup, semakin tidak karuan.
“Fajar!” Panggil Bu Sun. Itu namaku, kini giliranku. Sebelum guru ‘galak’ itu menyebut namaku kedua kalinya, aku berjalan ke depan kelas, melangkah dengan tetap berusaha tenang, tapi hatiku tetap berdoa, “Ya Allah, berikan keajaibanm, aku ingin tema mengenai teknologi, hanya itu yang aku kuasai Ya Allah.”
Kaleng cocacolla tersebut bergoyang-goyang di tangan Bu Sun, aku masih terus berdoa. Dan satu helas kertas keluar. Dengan bergetar, Kubuka gulungan kecil kertas itu. Kulihat perlahan.
Huruf T di depan, “Semoga saja,” Ucapku lirih.
Kemudian huruf E. “Ayolah,” Semakin meyakinkan.
Dan kubuka lebih lebar. ‘Teknologi’. “Alhamdulillah”, Aku sedikit tidak percaya.
Ini nyata, aku benar-benar tak percaya, satu kata yang kuharapkan benar-benar nyata di depan mata. Aku semakin yakin, sambil tersenyum kulihat hiasan di dinding belakang kelasku yang bertuliskan ‘Allah’. Aku bergumam dalam hati, “Engkau memang Pengabul Doa.” (Bogor, 20 Maret 2013)
[Ahmad Khoirul Anam, santri jenjang SMA angkatan 2. Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis cerpen di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media