“Hore…!” Suara kerasku yang membuat seketika ruangan kamarku menjadi bising, Dengan mimik wajah yang sangat ceria. Pada tanggal 28, juni, 2014, adalah hari libur lebaran yang ditunggu-tunggu oleh para santri Pesantren Daruttaqwa. Pada hari itu juga aku pulang dengan kendaraan angkot jurusan Cibinong-Bubulak. Angkot itu pun membawaku menjauh dari pondok dan mengantarkan kebahagiaan, karena aku akan bertemu dengan keluargaku yang sudah menunggu di rumah.
Di dalam perjalanan aku membayangkan apa yang akan aku lakukan di sana. Tapi, aku tidak perlu cemas dengan kebingunganku di rumah nanti, karena aku sudah membuat rencana. Rencana yang akan membuat aku, keluarga, teman, dan sahabatku sangat senang.
Setelah beberapa jam akhirnya aku sampai di tujuan, di depan rumahku. Rumahku sedikit berdeda dari biasanya. Dulu rumah yang kotor dengan sampah yang menumpuk, Kini bersih seperti aku berada di surga.
Tok,tok,tok!
“Assalamu’alaikum” suaraku setiba didepan rumah. Sudah yang ketiga kalinya aku mengetok pintu, tidak ada satu pun orang yang mendengar. Akhirnya aku bergegas masuk rumah tanpa izin. Aku masuk ke kamar satu persatu, ternyata mereka tidur. Aku menangis karena tidak ada satu pun keluarga yang menyambut kehadiranku di sini.
Raihan kakakku, akhirnya terbangun karena mendengar suara yang tak asing baginya. Aku merasa hampa disini. “Eh, Rey kamu sudah pulang?” Tanya Kak Raihan kakakku yang merasa tak bersalah. Aku tidak menjawab pertanyaan dari kakakku. Aku sangat menyesal, kenapa mereka tidak ada yang menyambutku, padahal aku datang jauh-jauh untuk bertemu mereka. Tapi , kenapa mereka justru terlelap? “Rey, kenapa kamu nggak ngejawab?” Tanya Kak Raihan yang masih tidak merasa bersalah.
“Emang kakak nggak tahu kalo hari ini aku datang dari pondok untuk bertemu kalian, apa kalian tidak membaca sms dari Rey?” jawabku dengan sangat tegas dan merasa kecewa.
“Ya sudah nggak usah di perpanjang lagi, kakak sudah baca tapi, kakak lupa mengasih tahu kepada Ayah, Bunda, dan Adikmu.” Jawab Rey dengan sangat bersalah. Akhirnya aku memaafkan kak Raihan. Kami berdua saling bersalaman dan berpelukkan. Raihan langsung membangunkan Ayah dan Bunda. “Eh, Rey kapan kamu datang? maaf Bunda ketiduran, soalnya Bunda banyak tugas dari kantor!” kata Bunda dengan merasa bersalah.
“Iya, Rey maafkan kami ya?” kata Ayah dengan wajah bersalah.
“Iya, nggak apa, Rey mengerti kok, Ayah dan Bunda sibuk” Kata Rey sambil mencium tangan mereka.
“Ayah, Bunda, Kak Raihan. Aku masuk kamar dulu ya. Rey capek?” Kata Rey dengan wajah lelah. Akhirnya aku membaringkan tubuhku ke kasur yang sangat empuk dan lembut. Tidak seperti di pondok, Sangat kasar dan bau. Akhirnya aku tertidur pulas.
Adzan ashar berkumandang. Aku langsung bangun dari tempat tidurku. Dengan rambut berantakan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah itu aku mengajak kaka dan Ayah yang lagi tertidur nyeyak.
“Ayah,ayah. Bangun sudah adzan ashar?” Kataku sambil menggoyangkan kaki ayahku. Setelah ayahku terbangun aku menuju kamar kak Raihan.
“Ka, bangun sudah adzan ashar?” kataku dengan lemah lembut. Akhirnya mereka berdua bangun dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu sedangkan Aku berangkat duluan meninggalkan mereka berdua.
Setelah aku sholat ashar aku membantu bunda membuat masakan untuk berbuka puasa. Menu yang cukup sederhana kita buat. Ayam bakar dan Nasi gorenglah yang kita buat. Seiring dengan waktu berjalan selesailah kita membuat menu untuk berbuka puasa.
***
Malam harinya aku sholat tarawih bersama teman-temanku. Canda tawa pun kembali. Pada hari itu Sahrul, temanku mengajak aku untuk membantu dia untuk berperang sarung melawan komplek sebelah. Tapi, aku merasa diawasi untuk keluar dari masjid untuk membantu temanku. Sebelum aku keluar dari masjid aku melihat kanan, kiri, depan, dan belakang terlebih dahulu, Untuk melihat situasi dan kondisi. Ternyata ayahku sedang tidak ada di masjid. Berarti aku bisa keluar dari masjid.
“Rey, kita SUKA saja?” kata Sahrul temanku.
“Apa itu SUKA?” kataku kebingungan.
“SUKA itu kepanjangannya ‘Sujud kabur’” kata Sahrul membisikan telingaku.
“Ide bagus tuh Rul, dari mana kamu dapat ide itu?” kataku merasa senang.
“Anak-anak yang bikin!” kata Sahrul.
“Sip” kataku . Saat sujud pertama Sahrul lari meninggalkan masjid. Lalu sujud kedua aku pun lari mengikuti Sahrul. Tapi, giliran aku lari meninggalkan masjid. Malah terpelesat akibat ada air. Sahrul hanya bisa tertawaiku dan aku hanya bisa merintih kesakitan.
Waktu terus berjalan akhirnya aku sampai di tempat tujuan yang akan membuat orang-orang merasa kesakitan, begitu juga diriku. Tapi, apa boleh buat demi teman sejati aku rela membantu mereka. Teman-temanku bersorak saat aku datang kepada mereka. Mereka tidak menyangka aku akan datang untuk membantu. Aku langsung dibuatkan sarung selepet. Kesakitan sarung selepet seperti tali kuda lumping. Sarung tersebut bisa membuat kulit kita sobek dengan seketika. Makanya sering banyak orang yang mengikuti ini dan tidak bisa lebaran. Karena luka memar yang membuat dia merasa kesakitan setiap saat. Tahun lalu aku terkena sabetan yang menghantam pipiku. Saat terkena tidak terasa tapi, lama kelamaan rasa sakit itu muncul dan membuat pipiku memar.
Perang sarung masih berjalan. Aku yang memimpin perang saat itu terkejut dengan adanya Sahrul yang tergeletak di tanah dengan kepala yang bercucuran darah. Aku shok dengan insiden ini. Aku langsung menghampiri Sahrul yang sudah tak berdaya itu. Bukan hanya aku saja yang datang menghampiri Sahrul, melainkan orang-orang yang berada disana.
“Siapa yang melakukan berbuatan ini?” Tanyaku dengan nada keras. Semua orang hanya bisa diam tidak ada yang mengaku. “Siapa yang melakukan berbuatan ini?” Tanyaku lagi dengan nada lebih keras. Satu orang pun tidak ada yang mengaku pada waktu itu. Pada malam itu aku sangat menyesal.
***
Keesokkan harinya aku memakai baju serba hitam untuk melayat ke rumah Sahrul. Aku tidak menyangka orang yang selalu ada disampingku kini pergi meninggalkanku. Orang yang suka memakai mie ini sudah tiada di dunia ini. Orang yang humoris ini sudah menempuh hidup baru di akhirat sana.
Aku hanya bisa mengeluarkan air mata yang mengalir kepipiku. Saat melihat Sahrul telah diikat kain kafan. Dengan air mata yang terus keluar tiada hentinya aku pun berdo’a. “Ya Allah ampunkanlah semua kesalahan dia yang diperbuat. Terimalah amal sholeh dia di sisimu Ya Allah. Amin…” Kata hatiku.
“Yang sabar ya Rey? Mungkin ini adalah ujian dari Allah.” Kata Ryan Sahabatku yang doyan dengan nasi padang itu.
“Aku tidak bisa melepaskan Sahrul begitu saja, kau tahukan Ryan kita dan Sahrul selalu bersama, rintangan apapun selalu kita hadapi. Canda tawa kita sudah musnah hanya tinggal kenangan saja. Aku sudah menganggap kalian keluarga.” Kataku dengan sangat menyesal.
“Iya, tapi kita harus mengikhlaskannya. Allah pasti akan menggantikan yang terbaik buat kita!” kata Ryan dengan nada pelan. Setelah aku mendengarkan nasihat dari Ryan. Aku langsung berlari sekencang-kencangnya menuju lapangan yang tidak jauh dari rumah Sahrul untuk menyendiri dari keramaian orang-orang.
Keesokkan harinya Ryan benar-benar menjauh dariku. Entah apa dia menjauh dariku. Betapa sedihnya hatiku. Dua hari yang lalu Sahrul telah meninggalkan aku, dan kini Ryan yang menjauh dari diriku. Ditambah lagi setipa hari Ryan menjauh dariku. Sungguh sedih hatiku. Bahwa sahabatku yang selalu ada di dalam hari-hariku. Kini, sudah pergi dari hari-hariku.Tapi, masih ada Hasan yang piawai olahraga karete itu menjadi teman sehari-hariku.
Seminggu kemudian ada lomba balap lari tingkat Kecamatan. Aku dan Ryan ikut dalam lomba itu “Lihat saja Rey kali ini aku akan memenangkan perlombaan ini!” katanya dengan sok. Aku hanya tersenyum mendengar Ryan berbicara. “Pritttt…!” Suara tiupan dari seorang wasit.
Tiba-tiba di dalam perjalanan Ryan terjatuh, dan aku langsung berhenti untuk menolang Ryan. Tapi, keadaan berubah. “Pak, Rey yang membuat aku terjatuh!” Serunya.
“Bukan, Pak. Bukan Saya, Saya melihat Ryan tersandung kakinya sendiri!” kataku. Tapi, wasit itu tidak mempercayaiku. Aku langsung berlari ke rumah meninggalkan mereka semua “Kenapa mereka tidak mempercayaiku? Apa aku salah? Dan kenapa Ryan yang sekarang bukan Rey yang dulu?”kata dalam hatiku sambil mengeluarkan air mata.
Sebulan kemudian, tanggal,12, Agustus, 2014. Aku menerima kabar yang membuatku sedih, karena ayahku mendapat pekerjaan di Bandung dan akhirnya aku dan keluargaku harus pindah ke daerah Bandung. Aku buru-buru menelpon Hasan “Hasan, maaf sekali kalo kamu tidak bisa menerima ini, bahwa besok Aku harus pindah ke Bandung karena ayahku mendapat kerja disana.” Kataku dengan nada perlahan.
“Ha? Kamu mau pindah?”kata Hasan dengan terkejut. Setelah itu telepon terputus.
Besoknya tepatnya 13,agustus,2014. Hasan menemani dan keluarganya mengantarkan aku dan keluarganya ke bandara. Iya, keluarga hasan adalah keluarga dekat kami. “Rey, jagalah kamu disana, carilah teman yang baik dan jangan salah bergaul. Jangan lupa selalu berkomunikasi ya?” kata Hasan sambil mengeluarkan air mata.
“Iya, kamu juga ya, jaga diri kamu di sini?” kataku. Pada waktu itu aku dan Hasan berpisah sampai takdir berteme kembali. Sampai jumpa, sahabat!` [Muhammad Qais Abdul Qowwiy, Santri Pesantren Media Angkatan Ke 2 SMP]