“Ganganlah labu tongtong bengkela. Sanga cabe salai pedas rasanya. Jero’ Tenggarong pucu’ sawinya. Piri’lah asam nyaman rasanya. Gede’-gede’ sida embo’ dengan busu’. Ase’lah makan mendi’ tahu tahu. Apalagi nasinya si beras baru. Mentuha lalu mendi’ di imbu. Ganganlah terong bebawang hutan. Tontonglah koto’ si gence ruan. Panggang Jelawat banya’ lema’nya. Sambal lah kacang nyaman rasanya. Gede’-gede’ sida embo’ dengan busu’. Ase’lah makan mendi’ tahu tahu. Apalagi nasinya si beras baru. Mentuha lalu mendi’ di imbu. Itu makanan etam di kutai. Nyaman dimakan sesudah bejohor. Habislah makan mun etam di kutai. Dudu’ berega betis behonjor”. Lagu khas Kalimantan Timur berjudul Nasi Bakepor tersebut sering ku dengar dari mulut-mulut para ibu-ibu dan bapak-bapak berlogat dayak pedalaman. Lagu tersebut menceritakan tentang seseorang wargaku yang sedang memasak makanan khas Kalimantan yaitu Gangan Asam dan Ikan Jelawat Bakar. Hmm, yummy!
Aku adalah ibukota dari provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Seluruh wilayahku berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Aku dapat dicapai dengan perjalanan darat, laut dan udara. Dengan Sungai Mahakam yang membelah di tengahku, yang menjadi “gerbang” menuju pedalaman Kalimantan Timur. Aku memiliki luas wilayah 718 kilometer persegi dan berpenduduk 726.223 jiwa (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010), menjadikanku kota berpenduduk terbesar di seluruh Kalimantan.
Taukah kamu Jembatan Mahakam? Jembatan tersebut berlokasi di tubuhku yang besar ini. Jembatan Mahakam (atau Jembatan Mahkota I) adalah sebuah jembatan yang dibangun di atas alur Sungai Mahakam yang menghubungkan kawasan Samarinda kota dengan wilayah kecamatan Samarinda Seberang. Jembatan tersebut sangat vital bagi pengguna kendaraan sebagai jalur keluar masuk kendaraan dari dan menuju luar badanku. Jembatan Mahakam dibangun pada tahun 1987 dan diresmikan oleh Bapak Presiden Soeharto. Jembatan Mahakam memiliki ciri-ciri rangka baja berbentuk segitiga dan tulisan “JEMBATAN MAHAKAM” berbentuk setengah lingkaran. Jembatan dibangun dengan biaya konstruksi Rp7 miliar oleh kontraktor PT Hutama Karya (Persero) dengan panjang 400 meter, lebar 10 meter dan tinggi sekitar 5 meter di atas permukaan aspal. Jembatan ini memiliki lajur pejalan kaki di sampingnya.
Pada tahun-tahun setelah peresmian Jembatan Mahakam, Jembatan Mahakam adalah satu-satunya jembatan yang menghubungkan daerah Mahakam bagian utara dan Mahakam bagian selatan. Kurang lebih 20 tahun jembatan Mahakam menjadi penghubung antara Samarinda Seberang dengan Samarinda Kota, Pemerintahku mulai membangun dua jembatan untuk mengatasi kemacetan yang sering terjadi di Jembatan Mahakam. Dua jembatan itu adalah jembatan Mahakam Ulu atau Mahulu (dibangun di Kelurahan Sengkotek) dan jembatan Mahkota II (dibangun di Palaran).
Di bawah Jembatan Mahakam tersebut, terdapat aliran Sungai Mahakam yang berwarna kecoklatan. Dahulu, begitu jernih dan bening sungai ini. Namun kini, seiring berkembangnya zaman, sungaiku ini telah tercemar dengan berbagai macam kotoran. Terkadang aku sebal dengan wargaku yang tak mempunyai kesadaran agar tak membuang sampah sembarangan. Berlayar pula kapal-kapal besar yang mengangkut batu bara. Aku tau! Itu pasti untuk dijual ke luar negri. Huh! Apa-apaan ini? Padahal itu milikku dan warga-wargaku.
Dari atas Jembatan Mahakam ini, kita dapat melihat begitu padatnya pemukiman penduduk di badanku ini. Hutan-hutan hijau nan segar yang makin berkurang terus menerus juga masih tampak dan jelas terlihat dari atas sini.
Letak tubuhku yang setrategis membuatku sangat mudah menjadi kota pusat ekonomi di Kaltim. Terlebih, aku adalah Ibu kota Provinsi Kaltim. Tidak hanya itu saja, letak tubuhku yang menjadi lintasan Sungai Mahakam membuatku sangat mudah terhubung dengan daerah-daerah lainnya di Kalimantan Timur. Hal ini juga mempermudah aku untuk menjadi wadah eksport dan import dengan daerah luar Provinsi Kaltim bahkan Dunia Internasional.
Aku masih menjadi primadona penyumpai kebutuhan bagi daerah sekitarku seperti Kukar, Bontang, Kutim, dan lain-lain. Pada tubuhku sendiri telah banyak berdiri pusat-pusat Industri dan perdangan. Contohnya saja mall dan pasar tradisional. Di dalam badanku terdapat mall-mall yang besar yang dapat memberi pemasokan terhadapat pemerintah. Pasar-pasar tradisional seperti Pasar Pagi, Pasar Segiri, juga sangat memberi keuntungan bagi masyarakat juga pemerintah.
Masuk ke sektor Pariwisata. Aku juga menjadi pusat tujuan wisata bagi masyarakat luas. Banyak hal yang menarik yang dapat di nikmati dariku. Kulinernya, pemandangannya, sangat membuat orang betah berlama-lama. Obyek wisata unggulan diriku adalah antara lain adalah Kebun Raya Unmul, Tanah Merah, Tepian Mahakam, dan lain-lain. Kuliner juga tidak kalah, seperti makanan khasku, kerupuk Amplang. Sebagai cendera mata dariku, aku juga menawarkan produk-produk nan indah yang dapat di bawah para wisatawan untuk oleh-oleh. Seperti Sarung Samarinda, kalung, gelang manik-manik, dan lain-lain.
Lanjut ke sektor Pendidikan. Sebagai kota modern yang maju, aku juga tidak lupa memperhatikan sektor pendidikan. Pentingnya pendidikan bagi masyarakat membuat aku juga patut dijuluki Kota Pendidikan. Banyak sekolah-sekolah unggulan dan universitas yang berada di sini, contohnya adalah Universitas Mulawarman, Unibersitas ini adalah universitas terbaik di Kaltim yang menjadi sorotan utama bagi pelajar-pelajar yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Banyak prestasi yang telah di capai oleh siswa-siswi mahasiswa-mahasiswi di sini.
Ke sektor Olahraga. Sebagai penyelenggara PON pada tahun 2008 kemarin, aku sudah tidak perlu di ragukan lagi tentang sarana prasarana olahraga yang aku miliki. Komplek Stadion Madya Sempaja dan Komplek Olahraga Palaran adalah komplek olahraga yang berstandar Internasional milikku. Antusias warganya sangat luar biasa. Banyak perlombaan yang diadakan di badanku ini. Seperti lari 10 KM di depan kantor Gubernur, liga sepak bola, dan lain-lain.
Oh iya! Aku juga punya banyak sejarah loh…
Berbicara tentang sejarah, aku yang dulu dikenal sebagai kota seperti saat ini dulunya adalah salah satu wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadinata. Di walah tersebut belum ada sebuah desa pun yang berdiri, apalagi kota. Sampai pertengahan abad ke-17, wilayahku ini merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan dan perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan sungai Karang Asam.
Pada tahun 1668, rombongan orang-orang Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai. Mereka hijrah ke luar pulau hingga ke Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.
Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua “sama” derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau “rendah”. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda. Istilah atau nama itu memang sesuai dengan keadaan lahan atau lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan daerah persawahan yang subur. Ya! Itulah namaku.
Aku adalah salah satu kota yang sering dihampiri oleh orang-orang dari dalam dan luar kota. Orang-orang yang datang kepadaku biasanya sangat suka berkumpul di tepi Sungai Mahakam yang kini telah dijadikan tempat jual beli. Hampir setiap malam, para muda-mudi, keluarga besar, ataupun masing-masing diri bersinggah di tempat ini. Selain pemandangan sungaipada malam hari yang memanjakan mata, di tempat ini juga memberikan fasilitas-fasilitas dan harga jual beli yang murah meriah. Tak lupa juga arena bermain anak yang meningkatkan jumlah pendatang di tepi Sungai Mahakam ini. Maka dari itu, aku sering dijuluki Samarinda Kota Tepian. [Noviani Gendaga, santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini adalah sebagai bagian dari tugas menulis reportase tentang daerah asal santri di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media