Salahkah Tuhan?
“Ayo, Dok. Kita bicarakan di tempat lain saja.” Belum sempat dokter itu menyelesaikan kalimatnya, kakak langsung berdiri dan berjalan mendahului dokter itu keluar dari rumah sakit.
***
Revan (dalam kamarnya yang temaram dan hening)
“Lebih baik lo kasih tahu sekarang deh, Van. Daripada pas dia tahu, Eh, lo nya nggak ada. Kalau lo ada kan enak tuh bisa jelasin. Nanti yang ada gue lagi yang dituntut penjelasan sama dia.”
“Gue percayain semuanya sama lo, Do.”
“Iya, gue tahu lo percaya sama gue. Tapi, setidaknya lo cerita dulu kek ke dia. Gue heran deh sama lo. Seharusnya di detik-detik terakhir gini lo bisa manfaatin waktu.”
“Udah Aldo, gue capek.”
***
Pemakaman mama dan papa sudah dilakukan siang tadi. Dan sore ini, aku memutuskan untuk berziarah ke makam orangtuaku. Pemakaman sore ini tampak sepi, walau masih ada satu atau dua orang yang terlihat.
Langkahku tiba-tiba saja berhenti. Kaget ketika kulihat seorang pria sedang berjongkok di dekat batu nisan kedua orangtuaku. Kuputuskan untuk mendekat. Namun baru beberapa langkah, pria itu sudah berdiri dan berjalan cepat menjauhi makam kedua orangtuaku, atau menjauhi… aku?
Dari sini, masih terlihat ia memasuki sebuah mobil yang sangat kukenal. Ah iya, itukan mobil kakak.
Aku berusaha mengejar dia dan memanggil namanya. Tapi sudah terlambat, mobil itu segera melesat manjauhi kawasan pemakaman. Aku meyerah dan kembali, kemudian berjongkok di antara makam kedua orangtuaku.
“Vera takut sendirian di sini. Vera takut Kakak masih nggak mau kembali ke rumah. Vera takut Kakak masih menyalahkan Tuhan atas semua ini. Vera takut..,” Air mataku mulai berjatuhan, diiringi isak tangisku yang semakin kencang.
“Tapi, Vera akan berusaha bikin Kakak kembali lagi seperti dulu.” Aku berusaha tersenyum, kemudian mengecup batu nisan orangtuaku.
“Ma, Pa. Vera pamit dulu.” Setelah mendoa’kan mama dan papa, aku kembali ke rumah.
***
Revan (Pukul 21.15 Malam)
“Yaelah, udah malam gini masih aja kerja. Udah, berhenti dulu kerjanya, Van. Besok masih bisa disambung.”
“Enggak. Gue harus kerja buat dia, Do. Biar hidup dia berkecukupan terus,” Supaya dia tetap bahagia.
“Nggak gini juga kali, Van. Lo kan juga butuh istirahat.”
“Nggak. Gue harus mentingin dia dulu. Gue udah nggak berguna lagi, Do.”
“Stop ngomong kayak gitu, Van. Lo masih berguna, terutama buat dia.”
***
Seminggu setelah kematian kedua orangtuaku.
Aku melangkahkan kakiku menuju sebuah kawasan perkantoran yang cukup terkenal di kota ini. Mataku sibuk menyisiri kawasan tersebut sembari mencari kantor di mana aku akan bekerja nantinya.
Dua hari yang lalu, aku sibuk berkutat dengan bertumpuk-tumpuk koran. Mencoba mencari pekerjaan yang tepat untukku dan yang tidak mempermasalahkan pakaian ku yang cenderung tertutup dan terjaga. Sesekali, aku melingkari perkerjaan yang kurasa akan cocok denganku.
Kuputuskan untuk memilih bekerja di sebuah perusahaan yang namanya sudah sering muncul di berbagai majalah bisnis. Karena sekarang aku hidup sendiri, maka aku membutuhkan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang dan perusahaan ini kurasa tepat untukku. Perusahaan yang cukup terkenal, dan aku suka sistem mereka yang tidak mempermasalahkan orang-orang berjilbab sepertiku. Asal bisa bekerja dengan profesional, maka kami akan dipertahankan.
Aku bergegas masuk setelah menemukan perusahaan yang kucari. Seorang wanita menyambutku dan menunjukkan ruangan tempat ku bekerja dan segala hal yang harus kukerjakan.
Wanita itu pamit dan aku mulai sibuk memperkenalkan diriku dengan karyawan-karyawan yang satu ruangan denganku. Mereka tidak merasa aneh dengan pakaianku dan aku merasa akan sangat betah bekerja di sini.
[Hanifa Sabila, santriwati jenjang SMP angkatan ke-2, Pesantren Media]