“Vera, Mama Papa berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Aku bergegas keluar dari kamar dan menuruni tangga dengan cepat setelah mendengar perkataan mama. Papa segera keluar menyiapkan mobil, sedangkan mama kutarik kembali sebelum mencapai pintu rumah, kemudian memeluk mama lama.
“Ma, nggak usah pergi, ya? Perasaan Vera nggak enak kalau Mama pergi. Mama sama Papa di rumah aja, ya? Temenin Vera.”
“Nggak papa kok, sayang. Ada Allah yang akan jagain Mama sama Papa. Kamu nggak usah khawatir. Cukup do’ain kami supaya selamat.” Mamaku tersenyum, lalu melepas pelukanku. Tapi, aku bergegas memegang tangannya, tak rela beliau pergi. Mama tertawa kecil “Udah, ya? Nanti Mama telat ke pengajiannya. Kasihan juga Papa kamu udah nunggu lama. Mama pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
Kata-kata mama bagai kata-kata terakhir yang kudengar dari beliau. Entahlah, perasaanku memang tak enak dari semalam. Mama melepaskan tanganku pelan. Aku hanya menatap kosong ke arah mobil papa yang menjauh dan kemudian hilang dari pandanganku. Aku tersentak kaget, kemudian tanpa sadar aku berteriak kesetanan memanggil mama papa untuk kembali. Perasaanku benar-benar nggak enak.
***
Aku mempunyai dua orang kakak laki-laki bernama Rahman Rahardi dan Revan Rahardi. Aku satu-satunya anak perempuan di keluarga Rahardi dan juga anak paling bungsu di keluarga ini. Namaku, Vera Putri Rahardi.
Suara telepon rumah mengagetkanku ketika sedang mengerjakan tugas pagi itu, setelah kedua orangtuaku pergi 3 jam yang lalu. Sejujurnya, aku tidak sepenuhnya mengerjakan tugas. Aku lebih banyak melamun, memikirkan mimpi burukku akhir-akhir ini dan perasaan tidak enak yang menyangkut kedua orangtuaku. Persis sekali dengan keadaan sebelum kakakku meninggal dua tahun yang lalu.
Yap, benar. Kakak pertamaku, Rahman Rahardi meniggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan.
Suara telepon rumah masih berbunyi menunggu untuk diangkat. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan kearah suara nyaring tersebut.
“Halo. Kami dari pihak kepolisian. Benar dengan saudari Vera?” Suara itu terdengar setelah aku mengangkat telepon tersebut.
“Iya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Aku gugup. Takut bila apa yang akan kudengar nanti akan menyakitiku. Takut jika mimpi-mimpi burukku benar-benar terjadi. Takut bila perasaan tidak enak tadi, bukan hanya sekedar perasaan tidak enak biasa.
Dan mengalirlah cerita itu. Tentang orangtuaku yang kecelakaan saat menuju tempat pengajian yang rutin didatangi. Mereka terlambat diselamatkan dan meninggal di tempat. Aku tersenyum getir, masih tidak percaya dengan apa yang kudengar.
Tuut Tuut Tuut
Telepon terputus setelah polisi tersebut mengatakan kepadaku untuk segera pergi ke sebuah rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari rumah. Aku masih belum sadar dengan apa yang kudengar. Sampai kesadaranku kembali dan aku bergegas bersiap dan menyambar tas kecil berisi dompet dan ponsel.
***
Aku menatap kosong ke arah pintu sebuah ruangan di mana orangtua yang sangat kusayang kini berada. Memikirkan mereka tidak akan pernah terbangun lagi, membuat dadaku kian sesak. Aku tidak menangis, dan dulu aku pernah bangga pada diriku yang tidak terlalu cengeng. Tapi, mengapa sekarang aku ingin sekali menangis, menumpahkan segala bentuk sedih di hatiku dengan menangis dan berteriak bila perlu.
Aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang di sampingku. Seseorang yang sudah lama menghilang dari kehidupan kami selama dua tahun ini. Dia kakakku.
“Hai.” Sapaku sambil menoleh sekilas. Aku berusaha terlihat biasa saja saat ini. Dia melirik dari sudut matanya dan aku tahu itu adalah isyarat bahwa ia membalas sapaanku.
Selama dua tahun, sudah banyak yang berubah dari diri kakakku. Tatapan dingin dan tajam yang selalu melekat di wajah kakakku selama dua tahun terakhir ini. Entah ke mana ekspresi ceria dan mudah tersenyum khas kakakku yang sangat kusuka.
Dia masih menatap pintu ruangan itu dan dia tidak menangis. Persis seperti yang kulakukan beberapa menit yang lalu. Apa dia berpikir untuk menjadi cengeng seperti yang kupikirkan tadi? Entahlah.
Aku tidak berani lagi menatapnya, pandanganku tetap lurus ke arah pintu di depanku. Kurasakan kini ia sedang menatapku. Aku mengalihkan pandanganku kepadanya, menatap sosok dingin ini –yang sama sekali tak kukenal- dengan ekpresi tenang dan sebuah senyum tipis.
“Aku pulang dulu.” Hanya kata itu yang keluar setelah selama dua tahun ini kami jarang bertemu.
Akhir-akhir ini, kami seperti bukan layaknya saudara. Tidak pernah berbincang dan bercanda seperti yang sering kami lakukan hampir setiap hari. Tidak ada lagi yang membelaku ketika ada yang mengganggu, membantu mengerjakan tugasku, memperebutkan oleh-oleh dari papa ketika pulang dinas luar kota, atau kadang sibuk mencari perhatian kedua orang tua kami.
Aku menunduk. Lalu tersenyum getir “Ku harap kau tidak pernah menyalahkan Tuhan atas semua ini, Kak,” aku mendongak menatapnya kembali, tersenyum sedikit lalu melanjutkan kata-kataku “Tunggulah sebentar di sini. Mungkin nanti setelah pemakaman Mama Papa kau bisa pergi.”
Aku duduk di kursi ruang tunggu. Kakak masih berdiri mematung di sana dan akhirnya ikut duduk di sebelahku. Keadaan canggung ini membuat dadaku sesak. Air mata yang sudah kutahan dari tadi kini mulai menetes mengenai tanganku yang berada di atas pahaku. Aku terisak. Sebelumnya aku tak pernah menangis seperti ini. Aku jarang menangis dan setiap kali menangis aku akan selalu berteriak, mengeluarkan berbagai macam emosi agar merasa lega. Tapi entah mengapa, sekarang aku ingin tak ada yang tahu tentang kesedihanku ini , ingin memendam rasa sakit ini sendiri.
Kurasakan tangan besar itu menyentuh pundakku pelan. Menenangkanku. Walau hanya sentuhan ringan, tapi itu sangat berarti bagiku. Perlahan tapi pasti, tangisanku berhenti.
“Kau tidak mengerti, Vera.” Kakak berkata pelan dengan nada dingin dan tatapan mengarah ke depan. Dia sudah berubah lagi. Tangannya yang berada di pundakku bahkan sudah ia tarik kembali.
“Bagian mana yang tidak aku mengerti, Kak?”
“ Kau sendiri yang bilang bahwa takdir datangnya dari Tuhan dan kita harus menjalani apapun itu yang telah Dia tentukan. Kau tidak mengerti, Vera. Betapa Tuhan tidak adil terhadap kita.” Kakak beralih memandangku dengan tajam. “Dia sudah mengambil Rahman. Dia mengambil kedua orangtua kita. Mengambil kebahagiaan kita. Dia mengambil semuanya. Harusnya kau mengerti Vera.”
“Aku mengerti, Kak. Dan yang perlu Kakak ketahui,” Aku mendongak dan membalas tatapan itu. “Tuhan tidak patut disalahkan atas semua ini,” Dengan nada penuh penekanan dan aku kembali menunduk tak berani menatap mata kakak.
“Kita semua adalah milik Dia dan akan kembali kepada-Nya.” Kuberanikan lagi menatap ke manik matanya.
Ia tersenyum sinis. “Kau terlalu pasrah menerima semuanya, Vera. Tuhan tidak akan membiarkan kita bahagia. Dia akan mengambil semua kebahagiaanmu. HARUSNYA KAU MENGERTI!” Suara kakak menggema di lorong rumah sakit.
Aku menunduk, berusaha menahan air mataku. “Tuhan memberi ujian kepada kita bukan tanpa alasan, Kak. Tuhan percaya jika kita mampu melewati ujian ini. Walau itu ujian berat sekalipun. Dan Tuhan menguji hamba-Nya, sesuai kemampuan hamba itu sendiri.”
Kakak tediam lama sampai sebuah suara terdengar menyapanya. Orang itu sudah tua dan pakaian dokter melekat pada tubuhnya. Sepertinya dia dokter di sini. “Eh, Revan. Sedang apa di sini? Oh iya, kebetulan ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu. Tentang..”
“Ayo, Dok. Kita bicarakan di tempat lain saja.” Belum sempat dokter itu menyelesaikan kalimatnya, kakak langsung berdiri dan berjalan mendahului dokter itu keluar dari rumah sakit.
Bersambung…
[Hanifa Sabila, santriwati kelas 2 jenjang SMP, Pesantren Media]