‘Indonesia. Negeri kaya akan keanekaragaman. Mulai dari suku, adat, ras, agama, sampai tata bahasa yang memiliki ciri khas masing-masing.’
Kalimat di atas sudah tidak asing lagi bagi telinga kita sebagai WNI. Daya tarik negara ini memang terletak pada kekayaan ragam budayanya. Apapun bentuknya itu. Entah itu dalam hal positif, atau bahkan negatif. Semua ditelan mentah-mentah tanpa disaring baik-buruknya.
Sama seperti banyaknya ragam budaya, Indonesia juga banyak kasus kejahatan yang beragam. Mulai dari kasus yang ringan sampai membawa pelakunya ke meja pengadilan. Apa kita masih bangga dengan negara ini, jika kita melihat begitu banyak fakta yang disembunyikan oleh pihak-pihak yang mengaku menjadi ‘wakil rakyat’, padahal opininya sesuai dengan nafsunya belaka? Saya jamin tidak.
Contohnya, kasus kenaikan BBM dari tahun ke tahun selalu saja ada protes dari masyarakat kalangan menengah-bawah. Tidak puas dengan itu saja, korupsi dan kasus kejahatan lain yang bersifat pidana selalu saja mewarnai berita-berita kriminal yang tayang di televisi, koran, dan wacana berita lainnya.
Yang terbaru, kasus penganiyaan balita 14 bulan berinisial RAN di sebuah Baby Daycare Pertamina Jalan Medan Merdeka Timur, Gambir, Jakarta Pusat. Ketika di tanya suster penjaga RAN itu mengatakan bahwa luka lebam itu muncul karena RAN terbentur kereta di ruang bermain.
Namun, Lisa(Ibunda RAN, warga Cileungsi, Bogor, Jawa Barat) tidak percaya. Menurut logikanya, jika luka tersebut karena terjatuh atau kena benturan benda, memarnya tidak akan menyerupai tangan atau pukulan benda.
Lantas Lisa melaporkan kasus ini ke dokter penanggung jawab Baby Daycare Pertamina. Namun hanya mendapat jawaban yang sama. Sangat membuatnya kecewa. Kemudian ia juga meminta laporan rekaman CCTV pukul 08.00-13.00. Diduga penganiyaan terjadi antara jam-jam itu. Sebab, anaknya menderita luka lebam sekitar pukul 14.00. Beruntung, petugas keamanan memberikannya. Saat itu Lisa berhasil mengetahui pelaku penganiyaan anaknya.
Diantaranya yang membuat Lisa yakin adalah, terlihat suster penjaga menggendong RAN hanya dengan satu tangan. Ada juga adegan di mana RAN diletakkan di ayunan, kemudian ayunan itu diayunkan keras sehingga RAN terjungkir ke belakang. Sepanjang rekaman itu, tidak tampak suster menyuapi RAN.
Sontak, Lisa kaget. “Pantas, selama 3 bulan terakhir, pertumbuhan anak saya mengalami keterlambatan. Mungkin karena tidak mendapat makan yang layak selama di Baby Daycare Pertamina.”
Beruntung, kasus ini dilaporkan ke pihak berwajib sesuai surat bernomor polisi 1172/K/IX/2014Restro Jakpus. Pihak terlapor adalah penanggung jawab Baby Daycare Pertamina, dengan tuduhan pelanggaran UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.
Jika seperti ini, siapakah yang harusnya disalahkan? Apakah Lisa selaku orang tua? Penanggung jawab Baby Daycare Pertamina yang lalai, atau pemerintah yang acuh-tak acuh dengan masalah yang makin banyak bermunculan di negeranya?
Memang, jika permasalah cabang seperti ini, semua pihak ikut andil untuk bertanggung jawab menyelesaikan.
Pertama, orang tua. Sebagai seorang ibu, seharusnya Lisa bisa lebih meluangkan waktunya untuk mengurus, mengasuh, dan membimbing anaknya sampai ia mampu untuk mengurus dirinya sendiri (cukup umur). Tidak mungkin, ketika misalnya seorang bayi diminta menjaga dirinya, mengurus dirinya seorang diri. Bahkan untuk belajar berjalan dan bicara saja harus ada yang menjaga dan membiimbing.
Nah, peran orang tualah yang penting. Sebaiknya, sebagai orang tua yang baik. Terutama seorang ibu, luangkanlah waktu ketika anak anda masih memerlukan kasih sayang anda dengan sebaik-baiknya. Biarkan anak anda puas dengan pengasuhan anda sampai ia mampu untuk tumbuh dan berkembang di luar. Kira-kira masa emasnya untuk tumbuh-berkembang sampai ia menempuh pendidikan yang tinggi.
Selain itu juga menjadi ‘Ummu warobatul bait’ bagi seorang ibu, itu merupakan suatu kewajiban bagi seorang wanita yang sudah beranak. Jadi, maksimalkanlah waktu anda bersama anak anda selama ia masih membutuhkan anda.
Kedua, penanggung jawab. Sudah semestinya pengecekan kelayakan dan kemampuan para karyawannya lebih optimal. Jangan biarkan orang-orang yang salah, masuk dalam lembaga tersebut. Karena sebagai babysitter tentulah harus memiliki jiwa keibuan dan sayang dengan anak-anak, perhatian dan penuh dengan kelembutan. Atau jika diperlukan, tes kejiwaan bisa dilakukan sebelum karyawan dipekerjakan.
Ketiga, pemerintah/penegak hukum atau hukum itu sendiri. Konon, Indonesia itu negara hukum, bukan? Kenapa malah hukum yang diterapkan berpatokan pada sesuatu yang tidak jelas?
Misalnya, seorang napi(nara pidana) bisa saja bebas dengan mudah asal membayar uang pelicin se… banyak mungkin. Para koruptor bisa bebas bertamasya ke manapun yang mereka inginkan, asal menyodorkan lembaran-lembaran kertas berwarna pink yang tak bisa dihitung dengan tangan jumlahnya. Serta berbagai kasus lainnya yang seolah-olah bisa lunak, sekejam apapun kejahatan yang dilakukan, hanya dengan ‘UANG’. Hukum macam apa itu?
Oleh karenanya, hukum negara ini haruslah dibereskan. Hukum Allah-lah yang sudah ‘SEMESTINYA’ diterapkan dalam tatanan negara. Bukan untuk menakut-nakuti pelaku kejahatan, melainkan untuk memunculkan efek jera pada setiap diri individu dan meringankan siksanya di akhirat kelak.
*gambar dari sini
[Zahrotun Nissa, santriwati jenjang SMA, kelas 2 | @zaninoshukyieYS]