Satu di antara banyak pengalaman tentang sakit hati.
Aku tahu apa itu sakit hati. Perasaan paling tidak enak yang terjadi ketika kita bercengkrama dengan sesuatu yang tidak diharapkan. Menurutku, sakit hati itu benar-benar perasaan yang menyusahkan.
Aku lupa apa masalahnya ketika catatanku, tertanggal satu tahun yang lalu, menuliskan:
“Sakit hati itu penyakit yang sulit tersembuhkan. Dan sakitnya melebihi yang bisa terdeskripsikan. Karena itu jangan buat orang lain sakit hati karena dirimu. Agar nanti tak ada orang yang membuatmu sakit hati. Tenang saja, dan berbuat baiklah. Allah Maha Melindungi hamba-Nya yang mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.”
Aku satu tahun yang lalu, benar-benar merenunginya dengan baik. Bila dipikirkan bagaimana perasaanku ketika menuliskan itu, mungkin saat itu aku sedang meresapi bagaimana jika aku yang menyakiti hati orang lain. Pasti orang lain itu akan merasa sakit hati. Karena aku tahu sakit hati itu tidak enak, maka aku membuat catatan pribadi: ‘Jangan menyakiti orang lain’. Yah, setidaknya, sampai sekarang aku berusaha untuk mewujudkannya.
Lalu bagaimana jika orang lain yang menyakiti kita? Hm… pertanyaan yang sulit. Syukurnya, aku berhasil menjawabnya. Hehe…
Dengan diriku yang sekarang ini, yang selalu menghindari hal-hal merepotkan dan menyusahkan. Yang pemalas dalam beberapa hal. Yang berusaha bertindak seefisien mungkin. Ketika orang lain udah menyakitiku, (1) aku berusaha mengabaikannya dan bertindak seolah dia tidak menyakitiku sama sekali.
Atau (2) mencari-cari alasan bahwa mungkin dia menyakitiku karena diriku sendiri. Jadi aku berusaha mencari kesalahan apa dari diriku yang mampu dijadikan alasan untuk dia menyakitiku. Dengan catatan: kesalahan itu memang kekuranganku, tidak melanggar perintah dan larangan Allah. Lalu aku memperbaiki diri sehingga dia tidak menyakitiku lagi. Yah… sampai sekarang aku masih berusaha untuk menekuninya.
Ada alasan kenapa aku melakukan dua hal di atas ketika orang lain udah menyakitiku.
Pertama, karena aku tidak suka memendam hal-hal yang merepotkan dan melelahkan. Dalam kasus ini, memendam sakit hati itu, bagiku, merepotkan dan melelahkan. Jadi sebelum aku kerepotan dan kelelahan, aku menghindarinya, pura-pura tidak mengetahui kalau orang lain sudah bikin aku sakit hati, atau mengubah diri sendiri alih-alih membalas rasa sakit hati.
Kedua, karena ketika orang lain udah menyikiti diriku, berarti ada yang salah padaku sehingga orang lain tidak menyukainya dan menyikitiku. Dengan diriku yang sekarang ini, aku memahami, bahwa aku tidak mau menjadi diri sendiri. Aku hanya mau menjadi lebih baik. Kalau aku kukuh ingin menjadi diri sendiri, bisa kubayangkan aku pasti akan marah, membalas dendam, lebih parah: adu fisik. Sayangnya, aku memilih untuk menjadi lebih baik. Jadi ketika ada orang yang menyakitiku, aku berusaha mengevaluasi diri dengan mencari kesalahanku dan mengubahnya sesuai perintah Allah.
Ketiga, karena aku terlalu malas. Aku malas memiliki problem yang berlarut yang menyangkut pada perasaan. Karena hati itu rentan. Dan sebagai perempuan yang terkenal dengan 99% perasaan dan 1% logika, kemalasanku tidak mengizinkan pikiranku diisi oleh problem tentang perasaan yang terkadang, menjemukkan. Logika hatiku berkata: selama itu sesuai tuntunan Allah, lakukan. Jika berbeda, tinggalkan. Yah… walau terkadang, perlu usaha besar untuk melakukannya. Keep fight-o!
Keempat, karena pahala orang yang meminta maaf pertama kali lebih besar dari orang yang memberi maaf. Meski itu bukan kesalahannya (QS. Al-Imran ayat 133-134 & Al-A’raf ayat 199). Benar-benar… hebat!
Jadi, sakit hati. Rasanya aku siap untuk menghadapimu kali ini. Siap untuk tidak menyakiti orang lain karena keegoisan diri sendiri dan siap untuk tidak sakit hati ketika orang lain sudah menyakiti. Karena yang meminta maaf pertama kali itu lebih besar, loh, pahalanya, meski bukan dia yang bersalah. Hehe…
Yang lagi berusaha buat jadi lebih baik,
salam, willyaaziza.