RISALAH RINDU
Assalamualaikum, Ibu. Bagaimana kabarmu tatkala Ibu baca risalah ini? Kuharapkan Ibu masih mengembangkan senyum sebagaimana anakmu yang menulis sembari tetap mengayunkan senyum. Ibu, jarak membuatku teringat sakitmu dulu. Saat aku masih janin. Namun, waktu melesat cepat hingga kini aku sudah remaja. Ya, itu semua membuatku ingin segera menuntaskan rantauanku dan kembali ke pelukanmu. Dari risalah ini, Ibu pasti mampu menyimpulkan bahwa aku tak sekecil seperti anggapanmu dulu. Aku kini bahkan sanggup menaklukkan tantangan. Dengan segala hormat, kuberterima kasih, Ibu telah mendidikku dan menjadikanku bagian dari sejarah kehidupan.
Jangan pikirkan senang sedihku di sini. Karena itu tidaklah penting. Semua insan termasuk Ibu pernah mengalaminya. Benar, Bu. Aku tersadar bahwa hayat ini bukanlah demi terus menerus terlena dalam berkesah dan mengadu. Hayat adalah proses bagaimana kuatnya kita membalik takdir.
Ibuku sayang, yang tak pernah lupa pada-Nya. Terima kasih telah membuatku berani memahat hidup menjadi seni. Bagiku, Ibu adalah seniman yang tak akan lekang oleh waktu. Takkan pernah. Duh, Ibu. Jarak ini tetap saja tak memutus budimu. Sebab do’amu terus mengalir untukku. Bagiku, Ibu bukan nikmat fana, apalagi maya. Namun kasih dunia. Tentu saja. walau kau sudah senja sekalipun, dunia tetap memandangmu sebagai keajaiban dunia. Oleh karena itu, aku hendak terus melakukan baktiku demi hormatku.
Ibu, tatkala rantauku nun jauh di sini, aku sering menengok masa lalu. Dan aku sangat bersyukur Ibu sudi memerdekakan aku dari rahimmu. Subhanallah, itu merupakan detik-detik terindah di hidupku. Oh ya, aku juga sering teringat senyummu yang disertai airmata itu. Asal Ibu tahu, itu sangat manis bagiku.
Ibu, dengan semua perjalanan yang telah kutempuh, aku merindukanmu. Inilah alasan mengapa aku sangat ingin menuliskan sepucuk risalah ini sambil tersenyum. Percayalah, Bu. Senyum ini bukan rekayasa atau sebuah kode suap. Tetap senyum ini adalah hormatku untukmu, untuk-Nya, dan untukku. Oleh sebab itu aku ingin menghadapinya dengan riang.
Haih, Ibu. Mendadak hatiku goyang ingin sekali mencurahkan ini. Pasal terkadang aku tunduk pada usia yang sepertinya lebih berkuasa dariku. Namun katamu, “Jangan kalah hanya pada angan-angan keputusasaan yang sejatinya belum tertakdir,” baik, Bu. Aku akan terus menciptakan impian dengan senyum untuk mengembangkan senyummu.
Sebagai penutup risalah ini, aku ingin berterimakasih untuk kesekekian kalinya sebab Ibu selalu mengingatkanku bahwa hayat selalu dicabar seribu takdir. Dan akibat nasehat itulah aku senantiasa rindu.
[Natasha, Santriwati kelas I SMA]