Catatan Perjalanan Ke Situ Gede.
Pusing. Hari-hari dengan penuh kegiatan sungguh memilukan. Kepala dipenuhi dengan segala macam urusan, tugas yang begitu banyak pun terasa menyesak di otak. Dan pikiran tak pernah bisa tenang manakala memikirkan tugas tersebut, begitu banyak.
Refreshing, adalah salah satu cara yang barangkali bisa membuat hati dan pikiran tenang, sehingga kepala pun dapat merasakan suasana senyap setelah bergelut dalam recoknya kesibukan.
Jumat, 5 April 20013. Akhirnya kami para santri Pesantren Media bisa merasakan kembali segarnya dunia luar, melupakan sejenak pikiran yang tengah gaduh. Kali ini, tujuan perjalanan kami tidak jauh, yaitu sebuah danau yang kutahu bernamu Danau Cifor, dan sekitarnya. Senang juga, mendengar berita tersebut.
Pagi hari sekitar jam 8. Dua mobil mengangkut keberangkatan kami, Mobil Panther dan Mobil Avanza. Aku dan beberapa teman ikhwan lainnya berangkat dengan menaiki Mobil Panther yang dikemudikan oleh Musa, salah satu sahabatku. Dan sisanya, menggunakan Mobil Avanza yang dikemudikan oleh Ustadz Umar sendiri.
Suasana di mobil begitu panas, dan semakin panas oleh suara Taqi dan Abdullah yang tidak bisa berhenti ngoceh. Maka, untuk mengatasi hal demikian. Hawari pun berinisiatif mengadakan suatu pelombaan.
“Semuanya Diam, yang duluan ngomong, boleh di jewer atau di jitak!” Begitulah kira-kira Hawari memulai perlombaan.
Suasana pun sunyi, tak ada yang berani berusara, kecuali akhwat. Perlombaan ‘terlama diam’ ini hanya diikuti oleh ikhwan, masing-masing ikhwan berusaha mempertahankan agar tidak bersuara. Dan cara ini ternyata ampuh untuk membuat Taqi dan Abdullah diam. Lumayan lama, kami diam dalam kesunyian, hingga akhirnya Hawari bersuara saat bertanya karena tidak tahu cara mengoperasikan radio. Kepala hawari pun dihujani jitakan dari kami semua.
Segar. Kurasakan itu saat kulihat danau yang terhampar di hadapanku. Ya, kami sampai di salah satu tempat tujuan, Danau Cifor. Airnya memang tidak jernih, dan tidak terlalu dalam. Tapi, cukuplah untuk membuat pikiranku melayang ke masa lalu. Entah mengapa, danau ini begitu mengingatkanku dengan Sungai Sekayam, sungai berukuran sedang yang bermuara ke Sungai Kapuas, terletak tidak jauh dari rumahku di Sanggau (Kalbar). Sudahlah, lupakan semua itu, nampaknya aku begitu rindu dengan kampung halaman.
Kami semua bergegas, menuju salah satu tempat yang memikat. Bebek dengan ukuran sangat besar itu sungguh membuatku ingin menaikinya. Bukan bebek sungguhan, melainkan sebuah sepeda air berbentuk bebek yang muat dinaiki 2 orang, sebut saja bebek air. Tak menunggu lama, semua ikhwan langsung membanderol dan menaiki bebek air tersebut. Satu bebek, dinaiki 2 orang, dan aku naik bersama Musa.
Sensasi yang berbeda jelas kurasakan, ini pertama kalinya aku mengayuh sepeda air, berat namun bikin ketagihan. Dengan semangat, kukayuh bebek air tersebut hingga tak terasa kami sudah berada jauh dari tepi.
Sedikit bosan, akhirnya kami para ikhwan pun mengadakan perlombaan bebek air. Perlombaan ini diikuti oleh 3 bebek peserta. Bebek pertama dikendarai oleh aku dan Musa, bebek kedua dikendarai oleh Hawari dan Yusuf. Sedangkan bebek ketiga, bukan, bukan bebek, melainkan paus yang ketiga yang diduga akan menjadi saingan berat dikendarai oleh Kak Farid, Taqi dan Abdullah. Kendaraan mereka memang berbentuk paus, berbeda dari yang lain.
Semua peserta berjajar di garis start yang telah ditentukan. Dan 1..2..3.. Pertandingan pun dimulai. Nampaknya aku dan Musa sedang bernasib buruk, bebek yang kami naiki terasa lebih berat dari bebek hawari dan Kak Farid. Padahal, sekuat tenaga aku dan Musa mengayuh bebek tersebut, namun tetap saja tidak bisa mengejar 2 peserta lain yang berada di depan. Jauh, Sungguh jauh mereka meninggalkan kami. Akhirnya, Hawari dan Yusuf pun melewati garis finish yang ditandai dengan tiang bendera putih untuk yang pertama, sedangkan kelompok Kak Farid tinggal beberapa jengkal lagi, namun aku dan Musa masih sangat jauh tertinggal.
Tapi, nampaknya Allah berkehendak untuk menjadikan kami juara 2. Beberapa senti sebelum finish, paus yang dinaki Kak Farid, Abdullah dan Taqi, tiba-tiab saja malah berbalik 90 derajat, padahal mereka sudah hampir finsih. Akhirnya, dengan kondisi tersebut, Aku dan Musa pun bisa merebut posisi dua dan mencapai garis finish terlebih dahulu dari Kelompok Kak Farid
Usai sudah jalan-jalan menelusuri danau menggunakan bebek air. Kami mendarat ke tepi, memberikan kesempatan kepada santri lain yang belum menaikinya karena jumlah bebek air yang terbatas.
Dan setelah semua merasa puas, kami semua kemudian beranjak ke mobil. Sebelum melanjutkan perjalanan, Ustadz Umar meminta kami semua berbaris untuk difoto menggunakan Camera DSLR Pesantren.
Perjalanan pun dilanjutkan menuju penangkaran rusa yang berada tidak jauh dari danau Cifor. Letaknya masih berada di sekitar danau tersebut. Dan kami juga sempat melihat beberapa rumah tahan gempa, is amazing. Suasana pun semakin segar saat kami memasuki daerah yang dipenuhi dengan hutan, pepohonan yang berjajar rapi dengan daun kering yang berguguran di tanah.
Kami turun di tempat itu, sebuah penangkaran Rusa. Namun mataku lebih tertarik kepada pepohonan lebat yang berada di seberang penangkaran rusa tersebut. Maka aku dan ikhwan lainnya pun mencoba mengambil dan mengabadikan beberapa moment di tempat itu. Suasana begitu dingin, sungguh tenang kurasakan dalam pikiran.
Dan, Pikiran itu kembali. Kembali aku melewati dimensi-dimensi masa lalu. Dan tiba-tiba saja aku merasakan seperti berada di belakang rumah. Melihat pepohonan ini, pikiranku melayang begitu jauh ke pulau kalimantan, teringat pekarangan belakang rumahku yang penuh dengan pohon karet, daun kuningnya yang berguguran, lintasan cahaya matahari yang menelusup melewati celah-celah pepohonan, dan kesejukan yang terasa oleh silirnya angin . Semua suasana itu benar-benar membawaku kembali berada di rumah.
Oh tidak, lupakanlah. Lagi-lagi aku merasa begitu rindu dengan kampung halaman.
Takkan kubiarkan semua kerinduan itu datang begitu saja. Rasa rindu selalu saja membuatku lemah, menusuk setiap persendian, membuat tulang-tulang terasa sangat ngilu, darah pun terasa begitu nyeri. Racau, pikiran menjadi tidak karuan. Tapi, suasana ini terus saja mengingatkan itu semua.
Kulupakan semua itu, dan kemudian, kami berjalan lagi, menjelajahi penangkaran rusa tersebut. Tidak banyak jumlah rusa yang ada. Dan sungguh, kasihan sekali melihat kondisi rusa tersebut, kurasa kandangnya kurang mendukung. Mungkin berada di dalam kandang tersebut lebih baik daripada dibiarkan bebas di hutan dengan ancaman para pemburu yang siap kapan saja dengan alat tembaknya.
Lalu kami menuju sebuah tempat yang cukup indah. Masih di tepi Danau Cifor tersebut, angin sepoi-sepoi melengkapi keindahan ciptaan Allah ini. Dan mata pun dimanjakan oleh pepohonan yang tidak kalah indahnya dari tempat-tempat sebelumnya. Hanya saja, sangat disayangkan karena ternyata tempat tersebut menjadi ajang berbuat maksiat bagi banyak remaja. Kulihat betapa banyak remaja yang berpacaran di tempat tersebut. Miris aku melihatnya. Andai saja ada cara untuk memberitahu mereka bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah. Namun keberanian yang kumiliki tidak mampu membawaku untuk mencegahnya.
Begitu banyak tempat indah yang sudah kami lewati, betapa menakjubkan, dan betapa pula kami harus menyadari akan kekuasaan Allah yang tidak terbatas. Semuanya begitu menakjubkan, dan semuanya berhasil mengingatkanku pada sebuah tempat yang ingin sekali kukunjungi saat ini, Kampung halaman. Maka, saat itu aku berharap waktu mempercepat langkahnya menuju 3 bulan ke depan, Karena hanya Bulan Ramadhan yang dapat membawaku menuju tempat itu, Insya Allah jika Allah menghendaki dan masih memberi umur.
Perjalanan belum selesai, setelah kunjungan di sekitar Danau Cifor, kami melanjutkan perjalanan untuk mengunjugi IPB Dramaga. Tujuan kami bukan untuk mendaftar menjadi siswa baru, namun hanya ingin membeli susu sapi dan yoghurt yang dijual di sana. Meski, aku tidak ikut membeli, setidaknya ini menjadi pengalamanku melaksanakan Sholat Jumat di Masjid yang ada di Kampus IPB Dramaga tersebut.
Dan, akhirnya. Setelah Sholat Jumat dan makan siang, kami menagkhiri liburan kali ini. Alhamdulillah, semua berjalan sesuai keinginan, pikiran kini kembali tenang, meski kaki masih terasa pegal akibat mengayuh bebek air tersebut.
Terima Kasih buat Pesantren Media yang telah mau mengadakan agenda perjalanan rutin. Insya Allah ini berguna untuk menyegarkan pikiran di tengah kesibukan yang ada.
Bulan depan kemana lagi ya?
[Ahmad Khoirul Anam, santri angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media]
Catatan: Tulisan ini sebagai catatan perjalanan, dan sebagai tugas di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media
Alur ceritanya kok persis banget sama tulisan yang judulnya LIBURAN ASIK DALAM KOTA karya Hawari. 🙂