[dropcap style=”white-dropcap brown” rounded=”dropcap-rounded”]S[/dropcap]etelah penantian yang lumayan lama, kurang lebih dua minggu, akhirnya hari yang dinanti-nanti datang juga. Tanggal 13 Juli 2014, merupakan tanggal yang bisa dibilang paling istimewa. Kenapa? Karena para santri Pesantren Media pada tanggal ini dibolehkan pulang ke rumahnya masing-masing alias libur panjang selama sebulan penuh. Banyak diantara mereka yang sudah memesan hari keberangkatannya jauh-jauh hari, termasuk aku sendiri.
Momen ini sangat dimanfaatkan para santri untuk tatap muka dengan orang tuanya yang jauh di sana. Terkecuali santri yang rumahnya masih di daerah Bogor. Tentu mereka masih bisa pulang paling cepat seminggu sekali. Tapi tetap saja, libur panjang ini yang sekaligus libur lebaran sangat mereka tunggu-tunggu.
Cerita dan pengalaman setiap tahun dari setiap santri pasti punya kesan dan rasanya masing-masing. Jika dicampurkan dari sekian banyak pengalaman santri, mungkin bisa mengalahkan permen nano-nano yang katanya “manis, asem, asin, rame rasanya”.
Sama dengan yang lain. Aku juga punya cerita tersendiri saat pulang kampung tahun ini.
Pertama, di malam terakhir keberadaanku di pesantren sangat mengesankan. Karena baru pertama kalinya dalam seumur hidup berada di pesantren, aku diantar oleh Padhe, panggilan untuk Om Dedy guru Musik dan Vocal Pesantren Media, pergi ke radio. Aku juga baru menyadarinya sepulang dari radio. Itupun sudah larut malam, karena dari radio kami berdua ditemani Kak Anam juga mampir dulu ke beberapa tempat di Bogor yang menjual oleh-oleh khas Bogor. Titipan orang rumah. 🙂
Dan pada malam itu juga, aku dan beberapa santri akhwat yang tersisa, gotong royong mengangkut barang dari TI, asrama akhwat yang lain, ke kamar atas pesantren. Berhubung TI akan direnovasi dan rencananya akan dijadikan asrama ikhwan untuk kelas baru, kami akhirnya mau tidak mau harus mengangkutnya ke atas. Berkat bantuan Padhe dan Kak Anam yang membawakan barang-barangnya dengan Panter, kami tidak terlalu repot harus bersusah payah membawa semua barang dari TI ke pesantren yang jaraknya lumayan, walaupun masih satu komplek. Hari yang melelahkan namun mengasyikkan.
Malam itu juga kami, semua santri akhwat yang tersisa tidur di kamar atas. Berjajar layaknya ikan asin yang sedang dijemur di pinggiran pantai.
Kedua, pagi harinya saya berangkat ke stasiun Bogor bersama Padhe naik Panter dan tak ketinggalan Teh Ica, Teh Ira, dan Ella juga ikut menemani. Setelah sekian lama menunggu di panggung, depan perpustakan pesantren, mereka datang dari sehabis mengantar Cylpa dan Teh Via ke Terminal Damri dan Stasiun Bogor yang mana Panter dibawa oleh Kak Farid.
Berhubung hari itu hari pertama masuk sekolah, jadi macet di sana-sini. Kami terjebak macet mulai sebelum Gedung Al-Azhar Plus di Sindang Barang. Masya Allah… itu sangat menguji kesabaran kami. Terutama Padhe dan aku yang duduk di jok depan. Sementara, Teh Ica, Teh Ira, dan Ella ternyata malah ketiduran di jok tengah. Belum lagi tempat parkir mobil yang penuh di stasiun, juga di Pasar Anyar dan Masjid. Untung masih ada tempat parkir yang tersisa di sudut pasar. Namun karena itu, kami harus rela berjalan lagi ke stasiun di bawah teriknya matahari saat itu.
Yang menarik lagi, ternyata setelah aku bertanya pada Padhe “Apakah mereka diajak juga ke Gambir?” Padhe menjawab “Yasudah, ajak saja. Sekalian jalan-jalan” spontan aku langsung tersenyum senang. Akhirnya aku pulang tidak sendiri, walau hanya sampai Gambir.
Respon teman-teman juga sama kagetnya saat saya menceritakannya pada mereka sambil menuggu Padhe yang sedang antre tiket Commuter Line.
“Apa? Ikut ke Jakarta?” seru salah satu dari mereka.
“Iya. Aku kira juga nganter sampe sini doang” jawabku.
“Seriusan?” kata mereka lagi.
“Iya. Serius” tegasku.
“Hehe, jadinya sekalian jalan-jalan” Kata Teh Ira.
Ketiga, saat kami berjalan melewati koridor tempat orang-orang lewat sebelum atau sesudah naik kereta, tanpa sengaja kepalaku menabrak seorang satpam yang sepertinya bertubuh tinggi dan besar. Kata Teh Ira “Sa, kayaknya satpamnya marah. Mukanya sinis gitu liatin kamu terus” jawabku singkat “Biarin aja, aku nggak sengaja. Abis kirain gak ada orang.” Waktu itu memang aku tak sengaja menabrak beliau, karena aku sedang asyik ngobrol dengan Ella.
Sebenarnya aku juga sempat mendengar Pak Satpam itu mendengus dan bergumam “Eits…” namun karena rasa malu aku tak berani menoleh lagi melihat wajahnya. Itu pengalaman yang tidak bisa aku lupakan sampai sekarang dan bahkan sampai nanti ke Bogor lagi. Huh…
Keempat. Sepanjang perjalanan kami bercanda ria di gerbong Commuter Line khusus wanita, sedangkan Padhe tepat di gerbong sebelahnya. Sampai di Stasiun Cikini kami siap-siap untuk turun di pemberhentian berikutnya di Gondangdia. Dari sana kami naik bajaj ke Gambir.
Kata teman-teman “Wow, bajaj?” mereka tampak heran sekaligus senang. Sampai ketika turun di depan Stasiun Gambir aku langsung bertanya pada Teh Ira “Gimana rasanya, Teh?”dan dijawabnya “For the first time in forever…” dengan nada seperti lagu di film Frozen. Kami tertawa bersama.
Sampai di ruang tunggu, masih ada waktu sekitar tiga puluh menit lagi kereta Cirex yang akan kunaiki tiba dari Tegal. Kami menyempatkan diri untuk mengabadikan foto di Gambir lewat ponsel yang kubawa di saku jaket. Pesan Teh Ica “Jangan lupa share fotonya, ya.” Sudah kupenuhi.
Dan sekarang aku ingin berpesan untuk Teh Ica, Teh Ira, dan Ella bagaimana pengalaman kalian ikut ke Gambir bersamaku? Aku ingin mendengarnya dari kalian atau dari tulisan kalian [Zahrotun Nissa, santri Pesantren MEDIA, jenjang SMA, Kelas 2]
*gambar dari sini