Kejanggalan
Namaku Maila. Aku memiliki saudara kembar. Namanya Maisya. Kami memiliki banyak kesamaan fisik. Namun, karakter kami berbeda. Maisya adalah seorang perempuan yang tomboy. Ia suka olah raga. Sedangkan aku, adalah perempuan feminim. Aku menyukai hal-hal tentang cewek. Maisya itu pemberani dan pantang menyerah. Sedang aku, aku penakut dan mudah berputus asa. Kadang aku iri terhadap keberanian Maisya. Aku ingin mencontoh keberanian Maisya. Namun, aku merasa Maisya selalu menghindariku. Mungkin karena suatu hal yang aku tidak ketahui.
Awalnya, aku dan Maisya selalu bersama. Namun, setelah jatuh pingsan di pertandingan basket sesekolah dua bulan yang lalu, Maisya mulai menjauhiku.
“Maila, bisa tuangkan segelas susu untuk Kakakmu?” perintah Mama kepadaku pada suatu pagi. Aku yang sedang mengiris roti keringku berhenti dan menuangkan susu ke gelas Maisya. Aku tersenyum kepada Maisya. Dan anehnya, ia membalas senyumanku. Aku bingung, sekaligus senang. Tidak seperti biasa ia tersenyum kepadaku.
“Terima kasih.” Katanya memelukku. Aku semakin bingung. Tapi aku senang. “Kemari. Duduklah di sebelahku.” Katanya lagi. Aku menggeser kursiku lebih dekat ke arahnya. Maisya membantuku memotong roti keringku yang keras. Ia terus tersenyum kepadaku. Mama dan Papa juga merasa heran melihatnya. Sejak dua bulan yang lalu, Maisya jarang sekali tersenyum.
“Sudah, anak-anak. Cepat habiskan sarapan kalian. Sebentar lagi Papa akan berangkat.” Mama mengingatkan kami yang sedang saling senyum. Maisya tertawa. Ia menghabiskan susunya. Kami mencium tangan Mama. Aku segera mengambil tas ranselku. Sedangkan Maisya memakai sepatunya.
“Mama, kami berangkat, ya..” kata Papa melambaikan tangan dari mobil. Aku dan Maisya melambaikan tangan sambil berangkulan. Mama menangis terharu. Aku dan Maisya cekikikan.
Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya kami sampai di SMP Kenanga. Aku dan Maisya turun. Kami melambaikan tangan kepada Papa. Papa berlalu. Kami akan pergi menuju kelas 8-1. Di perjalanan, aku bertemu Kak Syifa dari kelas 9-3. Kak Syifa datang untuk mengembalikan buku ceritaku. Aku, Maisya dan Kak Syifa berjalan bersama menuju kelas 8-1. Kak Syifa memang sudah dekat denganku dan Maisya sejak aku dan Maisya kelas 7.
“Maila, Maisya, istirahat nanti, kita makan bersama di kantin, yuk?! Sudah lama kita tidak kumpul bareng.” Kata Kak Syifa. Aku dan Maisya mengangguk.
Kami memasuki ruangan kelas 8-1. Kelas 8-1 berisi 25 orang siswa dan 2 orang guru. Siswa yang datang baru sedikit. Baru ada sekitar 9 orang. Maklum, bel masuk kelas akan berbunyi jam 08.00. sedangkan sekarang, baru jam 07.15.
“Maisya, Maila sangat sayang kepada Maisya. Saat Maisya diam waktu itu. Maila sangat sedih.” Aku memegang tangan Maisya. Maisya tidak menoleh.
“Maafkan aku selama ini, ya. Aku menjauhimu karena aku menyayangimu.” Katanya menunduk. Aku bingung.
“Kau menjauhiku karena kau menyayangiku? Apa maksudnya?” tanyaku tak mengerti.
“Nanti kau akan mengerti.” Jawab Maisya berdiri. “Aku mau ke toilet dulu, ya. Kalau Pak Guru sudah datang, mintakan aku izin. Ok?” katanya. Aku mengangguk tetap tak mengerti. Maisya berlalu. Aku menunduk memikirkan perkataan Maisya. ‘Aku menjauhimu karena aku menyayangimu’.
Sedang memikirkan perkataan Maisya tadi, seorang teman datang berlari. Ia tidak sengaja menyenggol tas Maisya hingga terjatuh. Aku terkejut dan sadar dari lamunanku. Aku membereskan tas Maisya. Saat membereskan, aku melihat halaman buku diary Maisya terbuka,
Dear, Diary..
Hari ini, aku baru keluar dari rumah sakit setelah pertandingan basket kemarin. Sebelum keluar dari rumah sakit, aku divonis oleh dokter karena aku mengidap suatu penyakit. Mendengar itu, aku, Mama dan Papa langsung menangis. Mama dan Papa memelukku.
Mengingat ini, aku jadi ingat Maila. Aku sangat menyayangi Maila. Tapi, aku menjadi gugup ketika bertemu dengannya. Aku juga tidak mengerti. Maila pernah bilang, ia takut pada penyakit seperti ini. Mungkin karena ini aku takut bertemu dengannya.
Membaca itu, aku semakin bingung. Ingin aku membaca kelanjutan ceritanya. Namun, aku melihat-lihat dulu. Ada Maisya tidak. Untukng saja ia belum datang. Aku melanjutkan bacaanku.
Menurut dokter, hidupku tidak akan lama lagi. Penyakit ini telah menjalar ke seluruh tubuhku. Aku tidak akan memberitahu Maila tentang ini. Maila pasti sedih.
Nanti, kalau aku sudah tidak ada, diary ini akan kuberikan kepada Mayla.
Tanpa kusadari, Maisya sudah ada diambang pintu. Aku terkejut dan langsung menutup diary Maisya.
Rahasia itu Mulai terbuka
“Tidak apa-apa Maila. Kamu sudah tahu semuanya?” tanya Maisya. Aku menunduk malu karena ketahuan membuka diarynya.
“Ti, tidak, kok.” Jawabku gugup. Maisya tersenyum.
“Sudah. Tidak apa-apa.” Katanya lagi. Aku tersipu.
Saat jam pelajaran, aku dan Maisya saling berdiam diri. Jam pelajaran yang hanya 2 jam terasa lama sekali. Seperti yang diminta oleh Kak Syifa, saat jam istirahat, aku dan Maisya pergi ke kantin. Di sana, Kak Syifa sudah menunggu.
“Kakak sudah pesankan es teh manis untuk kalian.” Kata Kak Syifa ramah.
“Terima kasih, kak.” Aku dan Maisya berterima kasih. Ini bukan kali pertama Kak Syifa melakukan hal seperti ini. Setelah makan dan bercanda sebentar, Maisya berkata,
“Maila, Kak Syifa, kita ngobrol di taman, yuk. Istirahatnya 10 menit lagi, kan?” katanya. Aku dan Kak Syifa mengangguk. Kami berjalan beriringan.
Sampai di taman, Maisya duduk di hadapanku dan Kak Syifa.
“Maila, aku mau minta maaf, ya, kalau aku ada salah kepada Maila selama ini.” Katanya kepadaku. Masya menoleh ke Kak Syifa. “Kak, Maisya minta maaf juga, ya.” Katanya lagi. Aku dan Kak Syifa mengangguk. Aku mulai mengeluarkan air mataku. Aku masih penasaran dengan penyakit yang Maisya tulis di diarynya.
“Maila juga minta maaf ya.” Kataku. Aku dan Kak Syifa memeluknya. “Maisya, aku boleh tanya tentang, ehm, peny..” kataku takut-takut.
“Penyakitku?” tanya Maisya menaikkan alisnya. Aku mengangguk pelan. “Oh. Maaf, ya. Aku tidak pernah memberitahumu.” Aku dan Kak Syifa mendengarkan dengan serius. Maisya melanjutkan,
“Sejak kecelakaan pada pertandingan itu, aku divonis oleh dokter karena suatu penyakit.” Katanya. Aku terkejut. Begitu pula Kak Syifa.
bersambung ke Cerita dari Masa Lalu..
[Fathimah NJL, santri angkatan ke-1, jenjang SMP, Pesantren Media]