Menyingkap fakta dibalik cerita
Mengungkap peristiwa dibalik realita
Menyadak tabir dibalik peristiwA
“Darinya Dia pancarkan mata air, dan (ditumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung Dia pancangkan dengan teguh.”
[QS 79;31,32]
Itulah satu diantara puluhan ayat suci Al-Quran yang menyatakan akan penciptaan Allah terhadap gunung dan pancaran mata air salah satunya air terjun. Kali ini penulis berkesempatan mengunjungi objek wisata di Bogor, tepatnya di desa Gunung Malang, Curug Luhur. Di lereng Gunung Salak ini terdapat banyak sekali obkjek wisata yang menarik. Salah satunya air terjun Curug Luhur.
Selain Curug Luhur, ada lagi potensi objek wisata sekitaar lereng Gunung Salak yang patut Anda kunjungi. Dengan medan yang lebih menantang dan pesona yang menakjubkan yakni Curug Nangka. Namun karena alasan kondisi yang terlalu jauh dan sulit ditempuh, akhirnya penulis dan rombongan memutuskan untuk mengeksplor keindahan Curug Luhur yang mudah di akses serta dekat dari jalan utama.
ooOoo
06.53 WIB Jumat, 5 Oktober 2012
Bau hujan semalam masih terasa di pagi yang sejuk. Ya akhir-akhir ini Bogor telah kembali pada fitrahnya yakni sebagai Kota Hujan, setelah sekian lama mengalami kemarau yang panjang. Mimpi-mimpi semalam akan keeksotisan dan semerbak kabut pegunungan salak telah terasa. Hari ini kami sangat bersemangat menyambut hari. Hari yang telah lama di nanti. Senang, ceria diiringi hati yang bertanya-tanya seperti apa rupa curug yang menjadi buah bibir di tengah kami sejak lama. Memang, baru kali ini penulis berkunjung ke daerah wisata Bogor.
Setelah sarapan dengan menu yang sangat sederhana, kami beranjak menyusuri jalan keluar Komplek Laladon Permai. Angkot yang penulis tumpangi beserta rombongan berbelok kanan. Yang artinya akan menyusuri jalanan Pagelaran, Ciomas. Siluet Gunung Salak yang biasa tampak jelas di depan mata jika cuaca cerah, tak tampak pagi ini. Agaknya ‘mereka’ masih malu-malu menampakkan diri dibalik gumpalan kabut.
Dalam perjalanan kami kali ini, ada yang terasa kurang. Dalam catatan piknik kami terasa hambar dan pudar. Space yang kosong di samping penulis seharusnya ada yang mengisi. Sahabat kami tercinta SyifaRuKonsey telah pergi mengejar impiannya. Terbayang akan kehadirannya pasti akan menyemarakkan ekspedisi kami kali ini. Dengan candaannya yang khas dan keisengannya membuat hari lebih hidup. Banyak kejadian yang tak terduga sebelumnya hingga membekas di benak kami masing-masing.
Goyangan angkot dan suara klakson memecah keheningan. Kami bergelak untungnya masih ada bianglala si Via. Perjalanan pun berlanjut. Jalanan yang kami lalui semakin sempit, padat dan ruwet dengan siswa-siswa bersileweran di pinggiran jalan menuju sekolah. “Pesantren Media memang beda ! disaat oranglain sekolah, kita malah libur jalan-jalan lagi” celetuk Kafiya Razan Ghasanni
Rentetan angkot warna-warni dengan berbagai tujuan, motor mobil campur aduk dan membuat udara pagi yang sejatinya segar dan dipenuhi oksigen dinodai oleh knalpot-knalpot.
Jarak yang ditempuh semakin sepertinya dekat karena terlihat oleh penulis serta rombongan view Gunung Salak dari jarak dekat. Ah andai saja kabut tipi situ tak menghalangi pandangan kami, pasti kata-kata ‘subhannallah’ tak terelakkan.
Jalan berliku, menanjak, menurun dari susunan perumahan kecil padat, hingga hamparan perbukitan sawah dan ladang. Tunas-tunas bakal buah jagung yang mendominasi ladang seolah menyambut kedatangan kami. Sesekali puncak Gunung Salak mengintip di sela-sela lika-liku, naik-turun perjalanan kami.
Penulis sangat menikmati perjalanan ini. sampai-sampai tak terasa bundaran karet hitam angkot yang kami tumpangi telah menggelinding di tempat tujuan. Alhamdulillah akhirnya sampai juga di Curug Luhur. Kesan pertama melihat keadaannya cukup menyenangkan. Hawa yang sejuk serta merta bisa kita hirup dalam-dalam. Sontak kamera poket yang kami sertakan ikut berperan serta. Jiwa penasaran saya berpacu untuk menjelajahi ke areal parkiran. Olala ternyata dibaik tempat itu terdapat view yang indah. Jembatan, sungai kecil mengalir deras serta aneka tumbuhan, pepohonan, dipercantik oleh tumbuhan liar yang mengelilingi sungai itu membuat mata dimanjakan sejenak. Segala penat yang tertumpuk di memori brain segera ter-delete dan terbuang ke recycle bin.
Namun ada yang sedikit mengganggu pemandangan kami di sekitar riak sungai itu, SAMPAH ! lagi-lagi kebersihan tidak terjaga oleh pengunjung atau masyarakat setempat.
Right, kita tinggalkan hal yang mengganngu tadi. Now kita focus ke hal yang menarik saja. Setelah pihak rombongan yang bertugas untuk membayar tiket, kami siap memasuki ke areal dalamnya. Focus kami yang pertama adalah mencari CURUG—sundanese air terjun. Ternyata di luar dugaan kami semua wahana wisata alam ini sudah terlalu direkayasa oleh manusia. Areal yang dulunya persawahan dan pekebunan serta hutan ini disulap sedemikian rupa menjadi wahana bermain yang sangat sederhana jika di bandingkan di Snow Bay, Jakarta. Ironis Jakarta sebagai daerah yang minim air bersih bisa disulap sedemikian bersih, mewah, dan menyenangkan. Sedangkan disini, tempat kami berpijak yang di dalamnya terdapat sumber mata air yang berlimpah dan sejuk terkesan kurang terawat.
Kami menyusuri jalan setapak untuk memasuki areal rekresasi ini. tak lama kami menemukan sebuah mushalla lengkap dengan pancuran air wudhunya yang mengalir deras. Display depannya sih ok di cat biru kuning dengan kontruksi kayu yang di pasak sedemikian rupa membentuk sebuah pondok panggung. Nanti kita akan singgah kesini jika waktu shalat zuhur tiba, dan kita lihat di dalamnya seperti apa.
Lanjut kami turuni anak tangga itu satu persatu. Dan ada lagi yang menurutku asing dan belum pernah melihat sebelumnya yaitu pakaian dalam dan pakaian kaus dan celana pendek di sewakan!!!
Suara gemuruh curug semakin membahana… semakin terasa percikan sejuk. Jalan setapak semakin licin ditumbuhi oleh lelumutan. Jika tidak awas akan tergelincir terpleset. Sendi-sendi yang jarang terlatih akan segera kesemutan dan nyeri akibat kekurangan kalsium kondroitin. Akhirnya setelah berjalan puluhan langkah, serta melewati kios-kios yang tidak teratur sepanjang jalanan, kami menemukan juga curug luhur.
Disini banyak pancaran curug. Yang utama tentu saja yang pancaran curugnya paling deras. Dengan tinggi 34 m dengan kecepatan 3000-5000 mili liter per kubik dan terbentuk telaga yang tidak terlalu luas, namun di bawahnya dengan kedalaman bertingkat. Di mulut air terjun adalah bagian yang di larang untuk berenang karena mencapai kedalaman sekitar 15-10 m, bagian tengah 5-3 m, dan bagian pinggir 100-10 cm. Air terjun ini juga berfungsi mengisi air ke puluhan kolam dan plosotan. Selain itu juga menjadi sumber pengairan buat sawah dan ladang masyarakat.
Hawa dingin disini sungguh nikmat. Anginnya sarat akan CO2 seperti hembusan air conditioner namun ini lebih sejuk dan terasa nyaman di kulit. Sungguh Maha Besar Allah, Tuhan yang menciptakan sejuknya angin yang sekarang penulis rasakan.
Tempat ini masih sepi pengunjung. Mungkin hanya kami pengunjung di tempat ini. Selanjutnya kami menuju ke basecamp peristirahatan dan penitipan barang. Karena jumlahrombongan tergolong ramai, kami lebih memilih ‘bersimedi’ di bawah pohon yang tanahnya sudah disulap menjadi pasir dan kapur yang telah mengeras. penulis memulainya dengan makan 2 potong roti dengan mentega keju dan ceres sebagai topping nya. Setelah perut terisi kami pun siap beraksi. Aksi utama tentu saja mencemplungkan kaki ke air yang dingin agar suhu tubuh tak ‘terkejut’ drastic ketika berendam. Sontak saja sekujur tubuhku merespon dingin nya air di kolam ini bahkan lebih dingin dari telaga yang sangat dekat dengan sumber air terjun.
Kondisi kolamnya jauh dari bagus. Tampak klasik. Bahkan ada ubin yang retak dan terlepas. Sehingga membuat pudarnya kenikmatan untuk berendam lama-lama disini walaupun kebersihan airnya terjaga dan terlihat sangat bening.
Setelah di rasa cukup puas berendam, rombongan akhwat yang menyertai penulis mencoba wahana plosotan plastic—di tempat ini ada 3 jenis plosotan berdasarkan bahan pembuatan; beton yang di lapisi cat minyak, fiber, beton yang dilapisi ubin keramik– yang cukup terjal.
Hari sudah meranjak siang, namun udara di curug masih dingin. Para pengunjung mulai berdatangan ada sepasang muda-mudi. Mereka meletakkan barang dan lalu pergi entah kemana.
ooOoo
Penulis sempat tergelincir di jalan menuju kolam lainnya hal yang memalukan sekaligus menyakitkan untung saja waktu kejadian tidak ada yang melihat.
“perhatian-perhatian anak-anak sekalian diharapkan untuk mengganti pakaian”
Suara TOA yang menggema menunjukkan agar kami bersiap-siap mengganti pakaian kering. Tapi sempatnya-sempatnya penulis dengan baju basah mewawancarai ibu-ibu setempat yang berprofesi sebagai penjaga kios.
“Assalamualaikum bu”
“Waalaikumsalan neng”
“Mangga neng”
“Bu kenalin saya Dini. Pengen nanya-nanya nih Bu.”
“Oiya neng silahkan”
“Ibu dah berapa lama kerja disini?”
“Wah… saya sudah cukup lama disini neng, ada kira-kira 10 tahun, lebih dah”
“hmm cukup lama juga ya bu? Asli sini ya Bu?”
“Iya neng saya mah dari lahir udah disini. Di Gunung Malang, Curug Luhur.”
“ O berarti ibu tau dong asal mula atau sejarah Curug Luhur ini?”
“ enggak neng, saya nggak tau masalah begituan”
“Cuma disini dulunya sebelum direnovasi tanah ini itu sawah.”
“ wah sayang banget ya bu?”
“emang siapa sih pemiliknya bu?”
“orang Tunisia neng.”
“Dulunya ini punya penduduk sini neng. Penduduk semua yang mempunyai tanah disini, kan dulunya tu sawah ya.,nah terus dijual ama ada yang ngebeli tanah ini neng. Orang Jawa yang belinya neng.”
“ o trus dijual sama orang Tunisia gitu ya bu?”
“ iya neng”
“Dini…..buruan ganti baju…….nanti masuk angin” Tiba-tiba suara Abi memanggil penulis dari arah bawah. Langsung penulis bergegas menuju ke bawah mengambil peralatan mandi.
“ibu. Makasih ya bu atas informasinya, ntar sambung lagi ya bu.”
Ketika penulis beranjak dan mulai memasuki kamar mandi atau lebih tepat disebut WC ini kondisinya sungguh sangat memprihatinkan.
Kondisi yang naudzubillah.
WC yang.. aduh..
Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Dalam sekejab aku segera siap dan melanjutkan interview dengan ibu Oni tadi.
Penghasilan Bu Oni dan Mbak Yuli tak seberapa hanya 100 ribu/hari jika hari biasa dan 300 ribu hingga 500 ribu/ hari yang paling ramai yaitu Sabtu dan Minggu ini belum lagi di bagi dengan pemiliknya dan mereka harus membayar sewa kios 800 ribu per minggu.
Kemana uang yang sebanyak ini dihabiskan oleh Mr. Munir itu?
Belum lagi pendapatan dari kuota pengunjung yang membludak jumlahnya ketika weekend? Yang sebagian besar pengunjung berasal dari Jabodetabek dan daerah lain di Jawa. Yang biaya masuknya sebesar 30 ribu.
Wah ironis sekali dengan fasilitas yang tidak mendukung seperti ini.
Belakangan penulis ketahui jika pemiliknya—pemilik saham tempat wisata Curug Luhur ini bernama pak Munir kebangsaan Tunisia ini telah lama berada di Indonesia dan sekarang tinggal di Jakarta Selatan. Dan sesekali ke Bogor atau menginap di rumah peristirahatannya di villa yang berada dekat di curug ini. Menurut sumber yang saya dengar, begitu seringnya Pak Munir ini menginap disini dan bahkan setiap minggunya kesini tapi mengapa ada fasilitas yang terbengkelalai dan terkesan mubazir bin boros.
Dua gambar di atas adalah contoh fasilitas yang terbengkelalai dan tak terawat.
Selain dari Bu Oni dan Mba Yuli yang berhasil saya wawancarai, ada juga Pak Ryan seorang pekerja bersih-bersih lingkngan dan mencabuti rumput. Beliau bekerja di bantu dengan rekannya Pak Iwan. Dengan kedua tangan mereka ini lah tempat rekreasi ini terlihat sedikit apik. Subhannallah besar sekali jasa mereka. Bayangkan mereka harus bekerja dengan lahan seluas kurang lebih satu hektar dengan upah 25 ribu perhari ?
Lalu di tengah interview kami berlangsung, ada seorang pemuda, ya seperti mahasiswa lah. Memakai behel hitam, kemeja hitam, dipundaknya tersemat tas cangklong hitam dan rambut sedikit acak-acakan.
“mas, mas, boleh minta waktunya sebentar?” tanya rekan saya, Putri.
“iya ada apa ini?” kagetnya seperti tampang tidak suka
“Maaf…..kami dari Pesantren Media Bogor, ada tugas kepenulisan dengan tekhnik mewawancarai…”
Agak deg deg- an juga karena sikapnya sungguh berbeda dan berbanding terbalik ketika dari tadi kami mewawancarai penduduk setempat. Ramah, dan mau menjawab apa saja pertanyaan yang kami lontarkan.
Belakangan setelah suasana agak mencair–dengan skill mewawancarai, yang penulis pelajari waktu training kejurnalistikan itu sangat bermanfaat jika menghadapi orang-orang seperti ini. Ya. Walaupun kami tidak di bekali ID card, tapi skill yang di ajarkan sekitar 4 tahun lalu masih membekas di otak kanan penulis—pemuda yang sedang menuntut ilmunya ini di Universitas Budi Luhur, Jakarta Selatan, dan pemuda yang tidak mau disebutkan namanya ini juga berasal dari Jaksel yang seperti ‘kabur’ seorang diri untuk membuang penat yang ada di otak kirinya.
Saya dan rekan saya terus memburu dan memanfaatkan waktu senggang yang diberikan ‘sang panitia’ untuk ‘memburu’ sasaran dan mengorek-ngorek informasi yang ada di Curug Luhur ini.
Sayangnya hari ini hari Jumat. Otomatis tempat rekreasi sedang sepi. Namun kami tak putus asa terus saja keluar dan kami ‘menodong’ mbak-mbak yang menjaga kasir dengan seabrek pertanyaan.
Ternyata. Mbak-mbak yang menjaga kassa ini adalah penjaga ‘gadungan’.
“Maaf ya dek, saya ini bukan penjaga yang sebenarnya. Sebenarnya yang menjaganya itu Mang Ucup” itu jawaban dari mbak-mbak yang kami tanyai tentang data pengunjung perharinya. Sepertinya ia tidak tahu persis tentang kuota pengunjung.
Tidak ingin berlama-lama disini. Dan aha sepertinya ada buruan kami yang lain yaitu segerombolan muda-mudi pasang-pasangan. Dengan penampilan yang lebih menggelengkan kepala lagi. Pemuda 1. Telinganya dipenuhi tindik dengan tubuh agak gempal kepala plontos. Pemudi 1 dengan tubuh agak gempal juga berambut panjang dengan wajah sangar dan memakai pakaian yang tak sepantasnya ia pakai. Pemuda 2 tubuh kurus cungkring dengan baju kedodoran. Pemudi 2 memakai pakaian you can see. Sesuatu yang sangat jarang penulis lihat wanita sefrontal itu mengenakan pakaian. Ada yang lebih mengagetkan lagi. Di areal parkiran, dengan setengah memaksa tukang parkir itu menggeledah paksa baju-baju para gerombolan pengunjung itu dan ekspresi si Pemudi 1 santai saja seperti tak terjadi apa-apa.
“Pak Munir, anda orang Tunisia kan?! Anda bangsa Arab kan?! Sampeyan muslim kan?! Tapi mengapa sebobrok ini anda mengubah pesona keindahan alam yang telah Tuhan cipkakan?! Apakah semiris ini kau UBAH tempat rekreasi yang seharusnya kita bertafakkur alam di dalamnya malah mengundang banyak orang untuk berbuat kemaksiatan disini?! Apa anda tidak berfikir itu famplet, banner dan seruan yang anda tulis di depan hanyalah sebuah formalitas semata?! ‘DILARANG MEMBAWA MINUMAN KERAS, ALKOHOL, NAPZA’ tapi di kios-kios yang anda sewakan terdapat MINUMAN KERAS dijual BEBAS.”
Ingin rasanya jika pak munir itu disini. Di hadapanku sekarang. Dan ingin aku menyatakan itu padanya. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menggugah hati pemilik curug untuk berbenah.
ooOoo
Alhasil dari percakapan, tempat ini adalah tempat yang sangat indah alami. Sebuah ciptaan Allah yang luar biasa. Dan tak ada yang bisa menandingi penciptaanya yang luar biasa.
Ironisnya dibalik keagungan penciptaan Allah ada saja manusia yang membangkang.
Padahal sebagaimana dalam ayat Al-Quran disebutkan bahwa manusia diperintahkan untuk menjadi khalifah dimuka bumi namun yang terjadi malah sebaliknya. Banyak tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab merusak keindahan alam yang sudah diciptakan oleh Allah untuk keperluan dan kepentingan manusia. [Dini Purnama Indah Wulan, santri angkatan ke-2 Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini sebagai bagian dari tugas menulis feature di Kelas Menulis Kreatif Pesantren Media
detil juga data2nya. oh ya, bagus tuh kritikan untuk pak munir. tapi berani nggak ngomong langsung sama orangnya? aku saran, ya, kalau kamu udah ketemu dia, biacaranya yang tegas dan ilmiah tapi menusuk, jangan dengan gaya biasanya yang (maaf) terkesan memojokkan dan merajuk. sekedar kritik sedikit, pengemasan tulisan masih agak kurang rapi. tapi pemaparan informasinya bagus, bisa sedetail itu.
terimakasih saudari hawari atas komentarnya.
bukannya saya ga berani ngomong sama Mr Munir. Pasalnya, ketika saya mereportase dan mewawancarai disekeliling Curug Luhur. Saya tidak menemukan beliau.
bahkan saya sempat ditawari bertemu langsung oleh petugas setempat untuk mewawancaranya pada hari sabtu atau minggu, sedangkan saya dan rombongan waktu itu berkunjung pada hari Jumat.
pengemasan tulisan memang saya akui kurang rapi oleh karena itu saya membutuhkan seorang partner editor. saran saya, anda jangan saja mengomentari alias ‘omdo’. kalo anda merasa lebih disitu anda bisa membantu pengeditan tulisan ini.
oya. jika ada kesempatan dan terbentuknya tim yang solid, bukan hanya saya berani menemui langsung pak munir tp juga membuat sebuah film dokumenternya?!!!!
jika anda berani dan punya nyali apakah anda mau ikut serta dalam tim reportase ini???!
trus gue harus koprol sambil bilang WOWW, gitu?
afwan sebelumya, tapi kayaknya benar juga apa yang di bilang hawari. nggak seharusnya kita ngomongin kejelekkan orang, lewat belkang lagi. mungkin kita juga kalau di gitukan pasti bakal marah kan. kalau bisa ngomong langsung aja di depan Pak Munir, dengan suara yang lantang. dan aku juga lihat kayaknya banyak informasi yang mungkin salah tangkap. mulai dari ketinggian air terjun yang seharusnya 39m. kedalaman ada mulut ar terjun itu dalamnya seharusnya 3 m. dan masih ada yang lainnya
Banyak kelemahan dari sisi jurnalistik yang tidak menggunakan kaidah verifikasi. Seharusnya dilakukan verifikasi sebelum dipublikasikan. Sebab, ini menyangkut masalah kredibilitas pesan dan narasumber atau obyek berita.