Oleh: Farid Ab (Santri Pesantren Media)
Di sebuah sore, hujan turun dengan lebatnya. Tetes demi tetes air langit yang bening seolah-olah gembira bertemu dan bersentuhan dengan tanah gersang yang kering dan tandus. Pertemuan itu menebarkan aromanya yang khas. Suaranya pun membuat gaduh atap-atap rumah, terutama yang terbuat dari seng. Udara sejuk khas musim hujan, memberikan kedamaian dan ketentraman di hati hampir semua penduduk kota. Kedamaian yang sudah begitu lama dinanti. Kedamaian yang singgah setelah musim kemarau menjadi penengah musim hujan.
Namun bagi Dullah, seorang bocah yang sehari-hari hidup dari sisa-sisa sampah yang dibuang orang di tepian jalan, hujan sore itu bukanlah surga baginya. Entah kenapa, suara rintik hujan sore itu terasa menghantam, mengiris, dan merobek-robek hatinya hingga hancur lebur. Bayangan tragedi memilukan di musim hujan terdahulu, tergambar jelas di matanya.
Wajahnya yang kurus dan pucat terlihat semakin layu. Matanya kosong dan hampa menatap riak gelombang sungai yang semakin semarak oleh tetes-tetas air hujan. Perlahan-lahan air matanya mulai berlinang membasahi pipi bercampur dengan air hujan yang menetes dari lubang atap gubuknya yang terbuat dari seng.
Di musim hujan terdahulu. Di sebuah sore yang kelabu. Hujan turun begitu lebatnya. Sungai yang membelah kota menampakkan taring-taring kematian. Airnya bergolak, deras, kuat, dan ganas. Hujan deras sore itu telah membuat sungai satu-satunya yang menampung air untuk dialirkan ke laut, meluap-luap ganas dan siap melahap apapun. Termasuk juga gubuk-gubuk rapuh yang berderet di sepanjang bibirnya.
Para penghuni gubuk rapuh di tepi sungai itu ketar-ketir. Akan tetapi, bukan banjir sungai yang membuat mereka risau, melainkan kabar yang berhembus di tengah hari tadi. Penguasa mau berulah lagi. Mereka akan menggusur seluruh gubuk-gubuk rapuh yang mereka tempati. Sebuah rencana yang mendadak.
“Bangsat mereka itu!” Teriak salah seorang di antara mereka.
“Apa penguasa negeri ini tidak punya naluri kemanusiaan? Ini kan rumah kita sendiri. Ini juga kota kita sendiri. Kenapa kita serasa berada di negeri orang?” Celoteh seorang ibu sambil menggendong anaknya.
“Ya kau benar. Kita jualan pun mereka uber-uber. Kita ibarat teroris bagi mereka.” Sambung suaminya.
Seorang pemuda menendang sebuah kaleng dan kemudian menghantamkan tinjunya ke tembok papan di depannya.
“Sialaaan!!!” Umpatnya.
“Setidaknya mereka beri kita ganti rugi. Beri kita rumah yang layak, atau apalah.” Pemuda itu menendang sebuah tempat minyak kosong di depannya.
“Mereka bukan pemimpin kita. Mereka tidak tahu menahu nasib kita. Mereka enak-enakan di gedung mewah. Kerjanya cuman gusur-gusuran. Tidak tahu penderitaan rakyatnya,” lirih seorang kakek sambil memandang langit yang kelam.
“Sudah berapa banyak uang rakyat yang mereka makan? Mobil-mobil mewah yang mereka pakai berasal dari uang rakyat. Jalan-jalan ke luar negeri juga pakai uang rakyat. Belum lagi beli ini dan beli itu. Alangkah baiknya semua itu digunakan untuk membiayai rakyat yang miskin.” Lanjut sang kakek dengan suara meninggi.
Penguasa terkesan sama sekali tidak memperhatikan kehidupan mereka. Hanya kelompok tertentu saja yang mereka anak emaskan. Penguasa tidak segan-segan membasmi pihak-pihak yang dirasa mengganggu dan menentang keinginannya. Termasuk para kaum miskin gelandangan ini. Di sisi lain, penguasa hidup bermewah-mewah dengan korupsi yang telah menjadi budaya yang melekat kuat. Akibatnya, jumlah kaum miskin gelandangan di negeri itu bertambah dari hari ke hari.
Sebelum ini para kaum miskin gelandangan tersebar di berbagai pelosok kota. Namun, penggusuran demi penggusuran menggeser pijak kaki mereka. Di sinilah, di bibir sungai tempat pertahanan mereka yang terakhir. Sebuah tempat di tengah kota yang jika musim hujan datang, menjadi sangat berbahaya karena maut setiap saat mengintai bersama banjir yang sewaktu-waktu siap melahap apapun juga.
Langit semakin pekat. Hujan semakin deras. Gejolak air sungai semakin mengganas. Arusnya deras dan kuat sekali. Sesekali terlihat pohon besar yang tumbang menyembul, hayut dari hulu sungai sana. Gerombolan air yang berlari kencang tersebuat seakan-akan tidak peduli dan tidak mau tahu bahwa di tepian sungai, di dalam sebuah gubuk reot yang terbuat dari kardus, plastik dan beratapkan seng, sedang terkulai lemah tubuh seorang laki-laki setengah baya. Tubuh lemah itu berselimutkan tikar kumal yang sudah lapuk dan bolong-bolong. Badannya menggigil. Giginya terkatup rapat menahan derita yang menjalar di sekujur tubuhnya. Malaria dan diare yang dia derita sejak beberapa hari yang lalu, semakin menggila. Dia sudah tidak mampu lagi menggerakkan tubuhnya walaupun hanya untuk duduk.
“Dullah… Tina… Dimana kalian? Kok tidak pulang-pulang?” Ia bergumam di sela-sela buru napasnya yang terkadang tersengal.
Tadi pagi kedua anaknya pamit pergi guna mencari sampah bekas. Semenjak dirinya jatuh sakit, dirinya tidak kuasa melarang Dullah menggantikan dirinya mencari nafkah. Sedangkan Tina entah kenapa hari itu lebih memilih ikut kakaknya.
“Tina mau ikut kakak. Tina mau bantuin kakak supaya karungnya cepat penuh.
“Adik di sini saja ya. Temenin ayah. Kasihan kan ayah tidak ada yang jaga.” Dullah mencoba merayu adiknya.
“Kakak bilang uangnya mau dibeliin obat. Tina mau bantu kakak. Tina mau ayah cepet sembuh,” suaranya mulai mulai merajuk seolah-olah mau menangis.
”Uhukk..hukk…hukkk…. Ya sudahlah Dul, bawa saja adikmu. Ayah tidak apa-apa kok.” Ayahnya menengahi.
Dan sampai sesore ini, mereka belum juga kembali. Pasti mereka tidak tahu bahwa akan ada penggusuran sore ini.
Dari ujung jalan tampak seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa. Sesekali ia berlari-lari kecil. Ia mengenakan sebuah karung goni untuk melindungi kepalanya dari terpaan hujan.
“Ooooiiii….. Mereka dataaaannggg!!!” Lelaki itu berteriak sekencang-kencangnya.
“Hah! Hujan-hujan begini? Aku kira ditunda.” Seorang ibu panik.
“Aduh biyung! Aku ko tidak kuat hidup kayak gini.” Jerit seorang nenek tua dari dalam gubuknya. Sesaat kemudian nenek itu keluar, dipapah cucu perempuannya.
Dari jauh tampak iring-iringan kendaraan polisi pembongkar. Di belakangnya berbaris ratusan polisi anti huru-hara dengan peralatan lengkap. Pakaian mereka dirancang anti air, api, dan peluru. Mereka juga membawa peralatan anti demo semisal meriam air, gas air mata, dan pagar kawat berduri. Sedangkan di barisan paling belakang, berderet puluhan buldoser. Iring iringan itu membuat ciut nyali para penghuni gubuk.
Lampu mobil mereka kini menyorot dan menerangi sebagian gubuk-gubuk reot yang berderet di sepanjang bibir sungai. Tampaklah wajah-wajah kurus dan pucat dengan kain kumal melekat di tubuh. Perasaan marah, takut, sedih, menderita, dan lapar, terpancar dari raut mukanya. Tak satupun kata keluar. Mereka hanya menatap. Ada yang menatap dengan mata merah menyala. Ada yang menatap dengan tatapan hampa. Ada yang menatap dengan mata sembab. Adapula yang menatap sambil menangis sesenggukan. Mereka berada di depan gubuknya masing-masing, layaknya menyambut seorang tamu.
Seorang polisi berwajah hitam dan garang turun dari mobil. Tangannya menenteng pengeras suara.
“Kalian semua kami beri waktu lima menit. Jangan ada yang sok jadi pahlawan. Cepat pergi dari sini! Atau kalian akan merasakan empuknya ujung tongkat-tongkat kami.” Teriak polisi itu garang.
Semua orang mendengar teriakan itu. Begitu pula ayah Dullah yang berada paling dekat dengan bibir sungai. Ia berusaha bangkit. Namun sia-sia. Betapapun keras usahanya, ia tetap terlalu lemah untuk melawan derita di tubuhnya. Akhirnya ia pasrah.
Para tetangga tidak tahu perihal sakitnya. Ia memang sengaja tidak memberitahu karena takut menjadi beban bagi mereka yang juga sama-sama hidup susah dan miskin.
Di dalam ketidak berdayaannya itu, terlihat bibirnya bergerak-gerak.
“Dullah… Tina…” suara lemah keluar dari bibirnya, memanggil kedua anaknya berkali-kali.
Sesaat kemudian.
“Gdubbraaakkkk!!!”
Gubuknya dibentur benda besar dengan keras. Sebuah buldozer menabrak, mangangkat, dan langsung menceburkan gubuk reot itu ke dalam sungai yang hanya berada setengah meter di sampingnya. Gubuk reot itu langsung hilang bersama tubuh lemah di dalamnya. Sungai yang bergolak telah menyeret ayah Dullah entah kemana.
Malam mulai merambat. Suasana semakin gelap. Sejenak, seketika gelap itu terang benderang oleh kilatan cahaya di atas sana. Cahaya itu juga menghampiri Dullah yang sedang berjalan pulang sambil menggendong adiknya. Tina terlihat menggenggam sebuah kantong kresek berisi obat yang baru mereka beli dari apotek.
Entah kenapa sejak tadi siang perasaan Dullah tidak tenang. Rasanya ingin cepat pulang saja. Tapi Dullah mengurungkan niatnya karena karungnya masih belum penuh. Ia ingat ayahnya sangat membutuhkan obat.
Dari arah berlawanan, sekonyong-konyong dia berpapasan dengan rombongan polisi penggusur. Mata Dullah terbelalak. Mulutnya menganga. Jantungnya berdegup kencang.
“Ayah…” Desisnya.
Dullah pun berlari kesetanan. Rumput jalanan patah oleh terjangan kakinya. Tina dia pegang erat-erat. Seandainya ada mobil lewat, pasti Dullah sudah tertabrak.
Dia baru berhenti berlari ketika mendapati sesuatu yang berbeda, gubuk-gubuk reot di pinggir sungai sudah lenyap. Begitu pula dengan gubuk miliknya. Yang tersisa hanya beberapa potong plastik dan kardus yang tercecer. Beberapa orang tetangganya tampak tersimpuh meratap di atas bekas gubuk mereka. Dengan gontai Dullah mendekat.
“Mang, apa yang terjadi?”
“Seperti yang kau lihat, Dul. Aku tidak tau harus kemana.” Tetangganya itu menggigil kedinginan. Dia basah kuyup.
“Kau lihat ayahku, Mang?”
Mamang cuman menggeleng. Dia baru sadar sudah beberapa hari ini tidak melihat ayah Dullah.
Dullah menurunkan Tina dari gendongannya, kemudian menggandengnya menuju bekas gubuk mereka. Kedua kakak beradik itu tersimpuh, berpelukan, dan mengucurkan air mata. Dullah menatap sungai yang bergolak lekat-lekat. Dia hanya bisa menduga-duga dengan firasatnya.
Tanpa sengaja dia menginjak sesuatu. Sebuah botol. Dullah melihat ada kertas di dalamnya. Dia buka dan dia baca.
“Dullah, kamu harus percaya. Ada malam, pasti ada siang. Rubahlah malam dengan cahaya nurani di tanganmu.
Ayah titip adikmu. Jagalah dia baik-baik…”
Dullah terpekur. Sejenak ia pandangi adiknya. Tiba-tiba kepalanya berkunang-kunang. Ia jatuh tersungkur. Gelap.
ooOoo
“Kriiiinggg!!!” Suara handphone itu mengagetkan seorang lelaki setengah baya yang sedang asyik melamun di pinggir sungai. Dia mengangkat telpon itu.
“Ya.”
“Pak Presiden, ada tamu dari luar negeri.”
“Ya aku segera pulang” Jawab lelaki itu berwibawa.
Dia langsung bergegas ke jalan raya. Sesaat kemudian dia menyetop sebuah angkutan kota. Dia naik ke minibus yang hampir penuh sesak itu. Para penumpang seakan sudah tidak asing lagi dengan wajahnya. Bahkan, seluruh penduduk negeri juga akrab dengannya. Semua orang di negeri itu selalu menyapa, “Selamat sore Pak Presiden. Mau ke mana?”
Ya. Dialah Pak Dullah, sang presiden jalanan. Julukan presiden jalanan sudah melekat kuat pada dirinya. Semua itu bukan tanpa alasan. Semenjak dia menjabat sebagai presiden, kebiasaannya sebagai rakyat jelata tidak pernah berubah, dekat dengan rakyat. Ia tetap bergaul dengan rakyat jelata layaknya seorang tetangga dekat.
Bebas. Dekat dengan rakyat. Ia pergi kemanapun ia mau. Kadang dia terlihat berjalan di antara rumah penduduk, ngobrol di warung pojok, duduk bersama pedagang di pasar, membantu membuat rumah, dan masih banyak lagi. Ia menggunakan mobil kepresidenan hanya disaat kondisi mendesak saja. Di luar itu, dia lebih senang menggunakan angkutan kota. Berbagi rejeki dengan para sopir angkutan kota. Para menteri dan para pejabat lain menjadi segan dan akhirnya meniru. Akhirnya, tak satu pun masyarakat miskin yang tidak terbantu. Presiden benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Bukan penguasa.
“Rubahlah malam dengan cahaya nurani di tanganmu.”
Pesan terakhir sang ayah itu masih melekat kuat di dada Presiden Dullah. Pesan yang menimbulkan semangat. Semangat yang tumbuh lagi di tiap musim hujan menjelang. Semangat yang selalu segar di sore hari. Semangat dari sang ayah, yang hingga kini belum diketahui di mana rimbanya.
(Malang, 2009)
Catatan: Cerpen ini adalah salah satu tugas menulis di Kelas Menulis Kreatif Pesantren Media