Mala menegakkan sandaran kursinya, berharap bisa melihat buku apa yang sedang di baca oleh penumpang di depannya. Ia menyipitkan matanya,
“Budidaya Kupu-Kupu”
Penumpang itu menoleh secara mendadak, mendengar gumam Mala. Mala kikuk ketika bola mata mereka beradu. Ia merasa kenal.
“Mala?” wanita berkerudung ungu muda bercorak bunga-bunga kecil itu, tersenyum lebar. Mala memutar bola matanya. Mencoba mengingat, siapa wanita yang duduk di dapannya itu.
“Fila?” Mala menebak dengan ragu. Wanita itu menggeleng. Bahasa tubuhnya memberi isyarat, untuk menebak siapakah dia sebenarnya. Mala mengerutkan dahi.
“OH AKU INGAT! KAMU FILI! KEMBARANNYA FILA KAN?” Mala histeris kegirangan ketika ia merasa tebakannya kali ini tidak lagi meleset. Penumpang di sekitarnya terlonjak kaget dan se-per-sekian detik, mereka menghakimi Mala dengan tatapan mereka masing-masing. Mala membungkam mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Menahan malu karena kespontanannya itu.
Fili tertawa kecil.
***
“Jadi, sekarang kamu lagi sibuk apa aja?” Mala menyeruput Latte-nya dengan straw bermotif garis-garis biru-putih. Fili tersenyum sejenak,
“Aku lagi sibuk nyelesain buku keduaku. Sambil ada usaha kecil-kecilan.”
“Usaha? Usaha apaan, Fil? Jangan bilang, budidaya kupu-kupu.”
Fili tertawa kecil. Ia terlihat begitu anggun, dengan kerudung hitam yang teruntai hingga menutupi perutnya, serta gamis kotak-kotak ungu-hitam yang bagian tangannya ada sedikit bordiran kupu-kupu kecil. Style yang berubah total dari waktu ia SMA dulu.
“Bukan, Mal. Aku punya butik di dekat rumah. Baru 4 bulan, sih…”
“Punya butik, dibilang usaha kecil-kecilan. Emang kok kamu ini! Berubah banget.” Mala mencubit pelan tangan Fili.
“Eh, by the way pengen dong diajak main ke rumahmu. Sekalian, pengen liat-liat apa aja yang dijual di butik kamu.” Mala menyeruput Latte-nya sampai hanya meninggalkan buih coklat muda di dalam gelasnya. Fili pun menghabiskan coklat hangatnya pelan-pelan.
“Oh, dengan senang hati!”
Mereka keluar dari cafeteria, sambil sedikit bernostalgia tentang masa SMA mereka.
***
“Ini butik kamu, Fil?” Mala memerhatikan satu persatu baju yang tergantung di sana. Jari jemarinya memilah-milah gamis-gamis cantik yang dijual pada butik tersebut.
“Iya. Ada apa? Kamu kepengen nutup aurat?” Fili duduk pada bangku hitam yang tidak jauh dari Mala. Mala duduk di samping Fili,
“Kayaknya aku belum siap deh kalau disuruh pakai begituan. Pakai kerudung pendek aja, aku udah kegerahan banget!”
Fili menyodorkan Al-Qur’an yang halamannya sudah terbuka. Mala gelagapan menerimanya,
“Apaan nih, Fil?”
“Coba kamu baca arti surah An-Nur ayat 31 dan surah Al-Ahzab ayat 59. Halamannya udah aku tandain kok.”
Pandangan Mala jatuh ke atas ayat-ayat suci Al-Qur’an. Entah rasa apakah itu. Mala merasa ada sesuatu yang masuk ke dalam hatinya yang sudah lama terasa kering.
“Sebentar ya, Mal. Aku mau ke dalam dulu.” Fili masuk ke dalam rumah, melewati pintu belakang butik yang langsung menyambung dengan kediamannya. Mala mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya pada ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak terlalu bisa ia baca.
Meski Fili memintanya untuk hanya membaca artinya, tapi Mala begitu tertarik dengan tulisan-tulisan arab di sana.
“Mala!”
Mala sedikit terlonjak. Gadis berkuncir kuda tersebut hanya bisa tersenyum kecut ketika melihat pemandangannya. Matanya menerawang pada bayang masa lalu. Mala mendekati wanita muslimah yang begitu anggun dengan gamis merah jambu, dengan gradien biru laut di bagian kaki dan pergelangan tangannya.
“Ada apa denganmu, Fila?”
Fila tersenyum sambil menggegam kuat tangan Mala. Fili tersenyum kecil sambil mengusap air matanya yang hampir menetes. Sedang Mala hanya bisa terkesiap dengan kondisi teman lamanya tersebut.
“Sebuah kecelakaan menimpaku, Mal. Mobil yang aku kendarai, tertabrak dengan sebuah kontener ketika perjalanan dari Balikpapan-Samarinda. Aku divonis mengalami lumpuh permanen. Kakiku sempat membusuk, karena keduanya kemasukan pecahan kaca. Jadi, aku diamputasi.” Fila tetap tersenyum menceritakannya. Ada cahaya pada kedua bola matanya, yang membuat ia begitu tegar.
“Fil, aku mau belajar Islam. Aku mau menutup aurat.” Suara Mala bergetar. Saudara kembar tersebut berlonjak gembira sekali,
“Alhamdulillah… Apa yang membuatmu bisa secepat itu mengambil keputusan, Mal?” Mata Fili sudah dibanjiri air mata haru. Fila berkaca-kaca. Sedang Mala, terduduk di atas lantai di depan Fila.
“Fili, Fila, sudah lama aku merasa kering dan hampa. Entah apa yang sedang aku cari. Padahal aku sudah puas dengan kekayaanku. Ke luar kota, ke luar negeri untuk merancang design interior. Itu semua sudah cukup untuk kebahagiaan hidupku. Tapi, selalu saja ada yang kurang. Aku mencarinya ke sana ke mari, tapi belum juga aku temukan. Fili, ketika aku membaca ayat-ayat di dalam kitab yang bahkan, aku sendiri sangat jarang menyentuhnya. Aku merasa ada sesuatu yang berhembus ke dalam jiwaku. Aku merasa tenang. Tenang… sekali.”
Mala bergeming sejenak.
“Fili, ketika aku melihat kamu mengenakan pakaian itu. Aku memandangmu, anggun sekali. Jujur, aku risih dengan pakaianku ketika duduk bersamamu. Terlebih lagi, ketika aku melihat Fila juga mengenakannya. Aku…”
Mala terisak. Fili menghampiri Mala dan memeluknya dengan hangat.
“AKU MERASA KOTOR, FIL! AKU DIBERI NIKMAT SEHAT DAN SEMPURNA, TAPI AKU BELUM MELAKSANAKAN PERINTAH TUHANKU! AKU MALU KETIKA TERNYATA BEGITU HINA AKU DI HADAPAN TUHANKU.”
Mala melemah,
“Aku… ingin seperti kalian. Dapat aku lihat cahaya ketenangan dan kebahagiaan di dalam binary mata kalian. Aku tidak ingin terus-menerus merasa hampa…”
Fili tersenyum dan melepaskan pelukannya perlahan. Gadis anggun di hadapan Mala tersebut, menghapus air mata Mala.
“Allah selalu punya cara untuk membuat hamba-Nya kembali dekat kepadanya. Allah selalu punya cara agar hamba-Nya menemukan ketenangan, apabila hamba-Nya itu mencarinya. Dan kini, Allah berkehendak mempertemukanku dan Fila denganmu. Semoga, kamu akan istiqomah untuk menjalankan perintah Allah dengan cinta. Bukan dengan paksaan.”
Mala mengangguk pelan. Ia berdiri perlahan. Tangannya mulai memilah-milah gamis-gamis cantik yang tergantung pada lemari hitam di pojok ruangan.
“Jadi, untuk pemula seperti aku, diskonnya besar dong!”
Suasana mencair, dengan tawa ketiganya.[][Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, jenjang SMA, angkatan ke-2]