Loading

Rabu, 5 Maret 2014. Hari dimana kami (santri dan guru Pesantren Media) akan pergi ke Islamic Book Fair (IBF) di Istora Senayan, Jakarta Selatan. Namun pada hari itu juga, aku harus menjemput ayahku yang datang ke Jakarta untuk menghadiri acara keluarga. Aku bingung harus memilih yang mana, antara pergi ke IBF dan menjemput ayahku.

Awalnya aku memilih untuk tidak ikut pergi ke IBF karena waktu yang kepepet untuk menjemput ayahku. Tapi setelah berfikir panjang, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke IBF lalu pas pulangnya, aku langsung menjemput ayahku di Pangkalan Damri di sebelah Botani Square. Aku fikir, aku akan tepat waktu menjemput ayahku karena pesawatnya berangkat jam 12 siang dan tiba di Jakarta sekitar jam 14.30. Dan aku juga berfikir nanti pasti pesawatnya delay, jadi ayahku bisa tiba di Jakarta sekitar jam 4 sore. Dan pasti ayahku akan menaiki Damri ke Bogor jadinya kemungkinan dia tiba di Bogor adalah sekitar waktu Maghrib.

Kami (santri dan guru Pesantren Media) berangkat dari pesantren sekitar jam 7 pagi. Lalu kami naik angkot 15 ke Pangkalan Trans Jakarta (TJ) di Bogor. Kami berangkat naik bus TJ ke Jakarta pada jam setengah delapan pagi. Di dalam bus, aku tertidur karena bosan dengan pemandangan macet di sepanjang jalan. Kira-kira aku tertidur sekitar 1 jam dari 2 setengah jam perjalanan.

Sesampainya di IBF, aku membeli sebotol teh sosro dengan harga yang tidak murah yaitu 10 ribu. Dalam hatiku berkata “Oh, mak… Pingin naik haji Bah abang ini.. Jual air teh aja macam jual air zam-zam, mahal kali pun”. Tapi karena tenggorokanku yang sudah kering seperti padang pasir, maka aku membeli air teh itu. Lalu si Abdul bertanya kepadaku “Kak, berapa harganya” sambil menunjuk kearah teh botol yang sedang ku pegang. “5 ribu” jawabku. Abdul langsung membeli air. Namun dengan merk dan rasa yang lain namun lebih murah yaitu hanya 8 ribu. Padahal air yang dibeli Abdul, harusnya lebih mahal daripada minumanku. Aku merasa kesal dengan penjual itu. Tapi apa boleh buat, “Yaudahlah biarlah mau dikembalikan pun gak bisa” dalam hatiku.

Setelah kerongkonganku dibasahi dengan air manis itu, masing-masing kelompok berpisah aku bersama kak Musa, Ihsan, dan Difa. Kami berjalan menyusuri toko-toko buku di IBF aku menemukan buku yang menurutku seru namun harganya yang tidak seru. Yaudahlah biarkan aja buku itu dibeli orang lain.

Setelah capek menyusuri toko-toko buku itu, kami beristirahat di tempat duduk penonton di dalam stadium. Setelah beistirahat sebentar, kelompokku pergi mencari buku lagi. Namun aku lebih memilih untuk duduk di tempat duduk yang menurutku sudah nyaman itu. Setelah 15 menit aku duduk di situ, kak Musa mengirim SMS kalau mereka mengundang perutku yang berisi cacing yang sedang demo. Dalam hatiku “ Alhamdulillah, akhirnya cacing liar di perutku akan berhenti demo”.

Setelah selesai makan, Ust Oleh memberikan waktu sekitar 1 jam lagi untuk menyusuri IBF. Sementara kelompok lain mencari buku, kami malah masuk ke tempat pameran replika benda warisan Rasulullah dan para sahabat. Disana kami berfoto, membaca, dan pastinya diselingi dengan candaan yang kami lakukan di dalam sana.

Setelah capek berkelana di IBF, kami pulang ke alam masing-masing. Hahah, maksudku kami pulang ke Pesantren Media, sekolah tercinta (haseek). Kami pulang naik TJ. Beberapa akhwat dan ustad Oleh sudah naik duluan, sementara ikhwannya dan beberapa akhwat belum naik TJ. Setelah sekitar setengah jam menunggu, ternyata Difa, Qois dan Ustad Uci kebelet buang air kecil. Sementara kami masih menunggu benda besar yang mempunyai jalurnya sendiri itu untuk mengantar kami ke Stasiun kota.

Dan setelah sekitar 1,5 jam menunggu, kami naik TJ tanpa ustad Uci, Qois dan Difa. Sekitar 45 menit di perjalanan kami tiba di Stasiun kota. Sementara ustad Oleh besarta beberapa Akhwat menunggu kami untuk pulang sama-sama. Kami yang belum sholat, sholat dulu di musholah Stasiun Kota. Lalu kami membeli tiket dan pulang. Awalnya di dalam KRL itu sepi, tapi setelah melewati beberapa stasiun, tempat kami berdiri menjadi semakin sempit dan sempit lagi. Yang awalnya kami bisa jongkok ataupun duduk di lantai karena tidak mendapatkan tempat duduk, maka kami harus berdiri. Karena kami pulang pada jam karyawan pulang kerja juga, maka kami seperti ikan sarden yang harus berhimpitan di dalam gerbong itu. Aku merasa seperti seekor cicak karena aku menempel di dinding gerbong karena sangkin  sempitnya.

Sesampainya di Stasiun Bogor, kami sholat Maghrib dulu. Lalu mereka pulang, sementara aku harus menjemput ayahku yang berada di Pangkalan Damri. Lalu aku pulang ke Pesantren Media bersama ayahku.

Itulah ceritaku pada saat berkunjung ke IBF. Sementara aku harus menjemput ayahku. Dua pilihan dan satu jalan keluar. Sebuah hari yang sangat melelahkan, membingungkan, dan menyenangkan. Terima kasih sudah membaca.

[Rizky Yannur Tanjung, santri jenjang SMA, Pesantren Media]

By Farid Ab

Farid Abdurrahman, santri angkatan ke-1 jenjang SMA (2011) | Blog pribadi: http://faridmedia.blogspot.com | Alumni Pesantren MEDIA, asal Sumenep, Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *