“Mengapa kamu selalu menggunakan pensil, tiap kali menulis?” Kak Rahani selalu bertanya begitu. Aku sampai kehabisan akal untuk menjawab pertanyaan itu. Aku melirik sinis ke arahnya. Dia terkesiap. Kak Rahani takut sekali kalau aku sudah marah.
Malam itu, aku menyelesaikan tulisanku. Meski tinggal ending-nya, aku harus teliti dengan kata-kata yang aku tuliskan. Pak Jul, dosen mata kuliah Karya Sastra sangat teliti dengan tiap kata, bahkan tiap huruf yang dituliskan oleh mahasiswanya. Tidak boleh ada tiga kali kesalahan tiap kali mengerjakan tugas yang beliau berikan. Tapi, paling tidak, Pak Jul satu-satunya dosen fakultas sastra yang mengizinkan aku, mengumpul tugas yang selalu dikerjakan dengan pensil. Itulah, salah satu alasan mengapa aku tetap betah dengan mata kuliah beliau.
Kak Rahani menenggak teh muda kesukaannya. Tidak manis, tidak terlalu pahit, rasanya seperti jambu mengkal. Hampir semua kesukaannya, sama persis dengan Mama. Bahkan, hanya dalam urusan minum teh.
Aku ikut-ikutan menenggak minumanku. Secangkir latte ekstra susu. Aku suka sekali makan dan minum yang manis-manis. Apalagi hangat. Bagiku, makanan dan minuman yang manis serta hangat, dapat membantuku mencari inspirasi tiap kali mengerjakan semua tugas mata kuliah. Terlebih, tugas Pak Jul yang tidak pernah absen setiap minggunya.
“Masih minum Latte eksta susu, Non?” Kak Rahani tidak pernah bosan menerkaku dengan pertanyaan yang berulang-ulang. Bahkan aku sampai ingin muntah mendengarnya. Aku terus menenggak latte-ku perlahan, sambil menikmati gemerlap bintang di atas sana. Ada bintang jejer tiga yang sering aku dan teman-temanku cari, sepulang muroja’ah, ketika aku masih SMA dulu. Tepatnya, waktu aku masih pesantren.
Aku kembali menulis. Kak Rahani menghujaniku dengan tatapan yang membuatku risih. Aku menoleh ke arahnya,
“Apa?”
“Setidaknya, kamu bisa kan menjawab pertanyaan ‘kakakmu’ ini?” Kak Rahani menunjuk batang hidungnya. Aku menghela nafas,
“Kenapa Kakak selalu bertanya berulang-ulang sih?” aku meletakkan pensilku di atas meja kecil, berwarna putih di hadapanku.
“Karena kamu tidak pernah menjawabnya, barang sekali pun.” Kak Rahani memperbaiki letak kaca matanya. Aku sedikit geram.
“Aku udah pernah menjawabnya.”
“Kapan? Aku bahkan lupa waktunya. Apalagi jawabannya.” Matanya menerawang. Mungkin, memang salahku karena terlalu sibuk kuliah. Hingga jarang meluangkan waktu dengan Kak Rahani yang sekarang menjadi pengusaha butik.
“Mungkin, salah Kakak karena ingin selalu bersamamu. Mendengar semua curhatanmu, seperti dulu ketika kita masih sama-sama di pesantren.” Kak Rahani mendongak. Mencoba menyibak awan hitam di atas sana. Aku jadi merasa bersalah. Umurku dan umur Kak Rahani memang hanya beda satu tahun saja.
“Bukan begitu…” aku memutar bola mataku. Kak Rahani masih menerawang ke atas sana. Lagi-lagi aku dibuat menghela nafas, oleh kakak perempuanku itu. Aku sadar, sudah lama sekali jawaban atas semua pertanyaannya itu, aku jawab ketika aku dan Kak Rahani, sama-sama duduk di bangku SMP.
“Oke, oke! Pertanyaan yang pertama, atau yang terakhir yang harus aku jawab?”
Kak Rahani menggeret bangkunya, ke samping bangku yang sedang aku duduki. Wanita ber-iris mata abu-abu gelap itu, berpangku tangan. Wajahnya dekat sekali dengan wajahku. Bahkan, aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Aku memundurkan kepalaku cepat-cepat.
“Keduanya.” Kak Rahani tersenyum. Aku menekuk lutut di atas kursi. Aku memutar otak untuk menemukan jawaban pertama Kak Rahani.
“Aku suka aroma karbon pensil yang dapat aku hirup ketika aku menggoreskannya di atas kertas buram ini. Aku bosan memandangi layar silau di dalam monitor computer. Tapi, aku tidak pernah bosan menulis dengan pensil, tiap kali aku mengerjakan tugasku.”
Kak Rahani tersenyum.
“Kamu hebat sekali mengemukakan alasan. Pantas saja kalau kamu masuk ke dalam Fakultas Sastra Indonesia.”
Aku menerawang langit hitam di atas sana. Aku tersenyum, lalu mengamati isi cangkirku.
“Lalu, kenapa kamu begitu suka Latte ekstra susu?”
Aku menghabiskan sisa Latte dalam cangkirku.
“Karena manis.”
Kak Rahani mengerutkan dahi. Aku tertawa kecil.
“Menulis itu, ibarat Latte ekstra susu, Kak. Semakin manis kita menuliskan kata-perkata di sana, semakin nikmat goresannya untuk dinikmati. Latte ekstra susu itu begitu manis, tapi kita tidak boleh lupa dengan rasa asli latte yang agak pahit. Begitu juga tulisan. Kita bisa menulis fiksi apa saja yang menurut kita manis dan mengatur bagaimana jalan ceritanya. Semua manusia ingin hidup dengan manis tanpa ada kepahitan di dalamnya. Tapi, kita tidak boleh melupakan hidup yang ada kalanya terasa pahit. Tapi, dengan manis, kita bisa menghilangkan pahit itu.”[] [Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, angkatan ke-2, jenjang SMA]