Salahkah aku bila memilih jalan ini? Penyesalan kini menyiksa batinku. Aku hanya ingin menyalurkan ilmuku saja di sini. Lihatlah anak-anak ini, kasihan sekali. Selama ini apakah mereka diberi ilmu dengan sempurna? Atau orang-orang itu hanya mengajar sekenanya setelah itu berlalu? Tidak sadarkah mereka telah melantarkan hak asasi anak-anak malang ini. Hak mereka untuk berilmu lebih luas.
Apakah aku adalah satu-satunya harapan mereka di sini. Hei, ketahuilah anak-anak ini selalu riang bila melihatku. Mereka bahkan ingin berlama-lama denganku, tak ingin aku pergi. Tatapan mereka teduh seakan mengatakan, “Ustad, tetaplah di sini. Bantu kami untuk meraih mimpi!”.
Aku adalah guru baru di sini. Satu-satunya orang yang dikucilkan. Dewan guru di sini menganggap aku orang yang aneh. Mungkin karena aku berbeda dengan mereka. Bukan aku tak mau bergaul dengan mereka. Hanya saja aku tidak suka dengan cara mereka bergaul, entah itu dari segi topik yang diobrolkan, atau candaan. Pembicaraan mereka yang sangat tak berpendidikan, juga gurauan mereka yang sama sekali tak mencerminkan akhlak seorang guru. Bahkan tak pantas bila kuceritakan dalam sebuah karya sastra.
Semakin lama semakin terpojokkan. Cemohan, sindiran kian ramai menghiasi hari-hariku. Tatapan sinis yang menghujam batinku, serta fitnah-fitnah yang tak patut terus menyerang, berusaha untuk membuatku takut. Awalnya aku tak begitu menghiraukan fitnah-fitnah yang mereka sodorkan. Namun satu fitnah yang tak dapat aku hindari dampaknya. Wow! Bahkan fitnah itu mampu membawaku ke ketua yayasan!
Aku menghadap Pak Fandi dengan jantung yang hampir saja lepas. Berharap agar tak diperbesar saja. Beliau memaki tanpa ampun. Aku diam tak berani berkata. Mukanya merah padam. Mukaku kupastikan pucat pasi.
“BAGAIMANA INI BISA TERJADI! ANDA ADALAH ORANG BARU, DAN SAYA SANGAT MENGHORMATI ANDA! TERNYATA ANDA SERIGALA BERBULU DOMBA! TAK TAHU MALU! BERZINA TAK TAHU TEMPAT! DI MANA OTAK ANDA SAAT ANDA BERBUAT MESUM?”
Nadanya bergetar hingga ke sel-sel saraf tubuhku.
Plakk!!
Pak Fandi membanting beberapa lampiran foto ke atas meja. Kuamati lamat-lamat. Terperanjat. Hei, itu aku kan? Lalu, itu seperti… USTADZAH FINA! Tapi sejak bila aku dan Ustadzah fina berpelukan? Bertatap muka saja aku canggung. Kulihat lagi foto itu. Sekali kuamati sekitarnya. Dan aku ingat, itu disaat aku berpas-pasan dengannya. Oh, sekarang aku mengerti mengapa waktu itu Ustadzah Fina sengaja mempermainkanku dengan berjalan mengikutiku. Aku kanan, dia kanan. Aku kiri, dia kiri. Baiklah, sekarang aku percaya bahwa wanita merupakan fitnah bagi laki-laki.
“INI! JELASKAN USTADZ FARID! “! Suaranya belum mereda. Namun yang aku bingung, mana Ustadzah Fina?
“ss..saya.. sama sekali tak berzina dengan Ustadzah Fina Pak! Saya berani sumpah demi Allah.” Akhirnya aku berani angkat bicara.
“TAK PERLU BERDUSTA. KEMARIN,SEBELUM USTADZAH FINA KELUAR DARI SINI, DIA SUDAH JUJUR DAN MENGATAKAN SEGALANYA TENTANG PERZINAAN KALIAN BERDUA.”
APA? Ustadzah Fina keluar? Jadi dia menjebakku dan menipu Pak Fandi bahwa aku telah berzina dengannya. Lalu dia pergi tanpa beban? Licik!
“PAK FARID, SAYA PUTUSKAN, ANDA SAYA PECAT!” Belum selesai keterkejutanku, Pak Fandi menambahkannya lagi. Bukan terkejut lagi, tapi sudah syok. Pak Fandi makin muntab. Aku terpaku.
Seusai kejadian itu, fitnah itu semakin merajalela. Dasar manusia sok suci. Kalau saja Pak Fandi tahu kelakuan mereka.untung saja membuka aib seseorang itu dosa, jika tidak, sudah kuadukan semua perbuatan mereka yang banyak menyiksa anak-anak yang ada di sini. Aku tak bisa berbuat. Tamat sudah riwayatku di sini. Entah harus mengatakan apa nanti aku pada anak-anak itu.
“Ustad, ada apa?” Fitri, gadis cilik yang cantik, licah, penuh semangat. Memecahkan lamunanku.
“Ndak, sayang ayo ngaji!” Ajakku lembut. Maafkan Ustad sayang. Ustad belum bisa membantu kalian meraih mimpi. Hanya Dia yang mampu membantu kalian. Ujarku dalam hati.
Ya Allah, berat hati hamba untuk meninggalkan mata teduh ini. Namun Kau belum meridhai. Subhanallah , teduhnya mata mereka. Pantulan cahayanya mulai menggurat mimpi di setiap kedipan matanya. Dan semangat yang mereka simpan di balik bulu mata mereka yang lentik menjulang. Harapan-harapan itu mulai tumbuh. Tak mungkin kumusnahkan semua dengan satu langkah menjauh.
Aku tak berdaya. Aku tak bisa terus di sini. Namun aku masih ingin terus bersama dengan para pemilik mata teduh ini. Kegundahan membanjiriku. Bertahan tiada harapan. Pergi namun berat hati. Allah, pada-Mulah hamba berserah diri.
[Natasha, Kelas 1 SMA, Pesantren Media]