Loading

“Hentikan! Apa yang ingin kau lakukan? Aku ini Ayahmu.”

“Tidak. Kau bukan Ayahku! Aku tak pernah ingat mempunyai Ayah sepertimu.”

“Itu karena.. pasti karena penyakitmu. Ya, penyakitmu itu membuatmu melupakannya.”

Gadis itu tersenyum sinis. Berjalan mendekati lelaki separuh baya itu dengan sebuah pistol mengarah pada lelaki tua itu.

“Aku tidak lagi mempunyai seorang  Ayah sejak ia selalu menyakitiku dan juga ibuku.”

Dorr!Dorr!

“Arrgh.. Riana..”

Pria itu menyeret kedua kakinya dan berusaha menerjang Riana. Tapi, terlambat. Dia kalah cepat dengan Riana. Riana menendang pria itu berkali-kali hingga pria itu memuntahkan darah. Tak hanya sampai di situ, Riana menekan kaki berlubang milik pria itu. Darah merembes deras dari kedua kaki pria itu.

“Bagaimana rasanya sakit bukan? Ini belum seberapa, dibanding rasa sakit yang kau berikan pada ibuku. Kau bahkan dengan tega membunuhnya. Tanpa rasa bersalah kau membawa wanita lain setelah menguburkan ibu. Kau lelaki brengsek! Kau pantas mendapatkan ini.”

Riana mengambil pisau berukuran sedang dari balik jaketnya, dengan angkuh dia memperlihatkannya kepada lelaki itu. Merasa terancam keselamatan hidupnya, pria itu berusaha pergi dari sana. Dia mendorong kaki riana yang sejak tadi masih memijak kakinya. Dia merangkak, cepat. Berusaha melarikaan diri dari pembalasan Riana. Tapi, lagi-lagi, ia kalah cepat. Riana telah menangkap kepala lelaki itu. Ditariknya rambut pria itu dan menyeretnya. Riana membenturkan kepala lelaki itu ke lantai, berkali-kali hingga kepala pria itu berdarah.

Kesadaran pria itu perlahan terenggut, riana tak membiarkannya. Pisau yang dari tadi dipegang riana mengiris tangan pria itu perlahan. Pria itu menjerit, merasakan sakit yang luar biasa. Rasa kematian.

Perlahan tapi pasti, darah memancar setelah pisau itu melalui tangannya. Walau sia-sia, dia memandang riana. Menangis, meminta belas kasihan dari gadis itu. Gadis itu menatapnya kosong, lalu tersenyum sinis. Memegang tangan milik pria itu, lalu sedetik kemudian tangan milik pria itu dibuang gadis itu ke sudut ruangan.

Pria itu meronta, meraung merasa sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya.  Pria itu pasrah menunggu peuru panas menembus otaknya. Pria itu membuka matanya, sesuatu yang ditakutinya tak kunjung datang menghampiri.

“Seseorang mengajariku untuk tidak terburu-buru membunuh targetnya. Tenang saja, kau akan tetap mati di tanganku.”

Pria itu seperti kehilangan kewarasannya, ia meronta, berteriak-teriak, dan meraung. Begitulah akhir dari seoarang penjudi dan seorang pembunuh. Pembunuh Rachel, Ibu Riana.

[Ela Fajarwati Putri, Santriwati Pesantren Media angkatan ke3, kelas 2 jenjang SMA]

 

By Ela Fajar Wati Putri

Ela Fajar Wati Putri | santriwati angkatan ke-3 jenjang SMA, kelas 2 | Asal Pekanbaru, Riau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *