Loading

kartun-berkerudung1

“Nadila? Bagaimana bisa?”
Sepanjang hari ini, aku habiskan hanya untuk menggerutu dan menangis di dalam kamar. Aku tidak mau bertemu dengan siapa-siapa. Mama dan kakak laki-lakiku sudah berulang kali mengetuk pintu kamarku. Tapi, aku sama sekali tidak mengubrisnya.
Meski lapar, karena belum sarapan dan makan siang. Tapi, gemuruh serta tornado yang bergejolak di dalam hatiku, terasa begitu dahsyat.
Kemarin, aku baru saja medapat kabar bahwa Nadila, sahabatku mengagumi seorang pria yang juga aku kagumi. Padahal dia tahu benar bahwa aku juga mengagumi pria tersebut. Bahkan, dia selalu mendengarkan keluh kesahku, tentang pria tersebut. Tentang aku yang sabar menjadi screat admirer. Tapi… argh! Tega sekali!
***
Aku menegak air mineral hingga kerongkonganku tidak lagi terasa kering. Meski ramai, aku akui, tanpa hadirnya Nadila, kantin terasa begitu sepi.
Laki-laki berperawakan tinggi dan agak berisi, kulitnya kuning langsat, matanya agak sipit tapi tidak seperti orang chineese, memesan semangkuk sop iga dengan jeruk hangat sebagai minumnya. Aku merasa, wajahku bersemu merah.
Dia. Laki-laki yang sedang aku kagumi beberapa bulan terakhir ini. Senyumnya yang menari-nari di dalam otakku, membuatku kadang tidak konsen belajar bahkan ia mengganggu rutinitasku yang lainnya.
Rasa itu mulai tumbuh ketika aku dan dia sering berjumpa pada acara festival sekolah, dua bulan yang lalu. Waktu itu, aku ditunjuk sebagai ketua panitia akhwat. Sedang dia, dipilih menjadi coordinator acara. Tentu saja, itu membuat kami sering berinteraksi dan berjumpa.
Meski sekolahku berlebelkan sekolah Islam. Tapi, laki-laki dan perempuannya tidak terpisah. Bisa dibilang, hampir sama dengan sekolah umum. Hanya saja, di sekolahku di wajibkan berkerudung.
Pada awal-awal acara festival, aku masih merasa biasa dengan perjumpaanku dengannya. Tapi, ketika hari ketiga festival, tepatnya, ketika rapat panitia pelaksana, rasa itu mulai tak menentu. Lesung pipinya yang membuat ia tampak begitu manis ketika tersenyum, mampu menyandra hatiku. Waktu seakan berputar lambat… sekali.
“Hai!”
Aku tersedak. Sedang Ayu, terbahak melihatku yang batuk-batuk di hadapannya.
“Ayu! Kamu itu emang ya, bikin orang kaget aja!” aku menepuk-nepuk dadaku agar tidak lagi batuk.
“Hahahaha… Habisnya, melamun aja sih dari tadi. Ngelamunin apa sih?” gadis keturunan keraton tersebut mencolek daguku. Aku bergidik, geli.
“Kok tumben sih enggak sama Nadila?” gadis yang mengenakan contact lense abu-abu itu, merebut es jeruk yang sedang aku sedot.
“Update dikit bisa keles!” aku kembali merebut es jerukku darinya. Ayu merebutnya kembali dariku.
“Ya ampun, Ayu! Kamu tu ya, keturunan keraton, mobil ada tiga, rumah gedongan, minum aja masih nebeng! Beli kek!” aku teriak-teriak di telinga kirinya. Ayu malah terbahak medengar ocehanku.
“Yaelah, baru juga minta minum! Pelit amat.”
Kami terdiam sejenak.
“Eh, emang kenapa sih kok kamu enggak sama Nadila?” Ayu serius. Aku memutar bola mataku,
“Nadila ngecengin Erik.” Aku mesem-mesem. Ayu kaget bukan kepalang,
“What?! Nadila lope-lope with Erik?! Oh, my God! O-E-O.” Ayu mendengus kesal. Aku mengerutkan dahi,
“O-E-O?”
“Orange Eat Orange.”
Aku terbahak mendengar istilahnya, ‘orange eat orange’ yang sewajarnya adalah ‘jeruk makan jeruk’. Aku tertawa sampai suaraku hilang tenggelam dengan kegelian yang menyeruak di dalam perutku. Ayu manyun,
“Yowes, aku ngomong boso jowo wae!”
Aku masih sedikit tertawa, walau tidak separah tadi. Ayu masih manyun karena dia merasa ke-bahasa-Inggris-an-nya tidak dihargai. Aku tahu, Ayu tidak sungguh-sungguh marah kepadaku.
“Tapi, seriusan Nadila ngecengin Erik?” Ayu kembali pada ekspresi awalnya. Aku menghabiskan ssa es jeruk di dalam gelasku.
“You think? Makanya punya otak upgrade dikit, Baby…”
“Kayaknya enggak mungkin deh. Kamu tahu kan, Nadila itu alim banget! Kerudungnya aja panjang gitu.”
“Masa’ seorang Gea bisa salah informasi sih?” aku menunjuk batang hidungku. Ayu masih tidak percaya,
“Kamu yakin? Emang sumber informasinya dari mana?”
Bel tanda masuk kelas berbunyi. Aku buru-buru beranjak meninggalkan kantin. MasyaAllah! Sekarang kelas Matematika! Aku belum ngerjain tugas!
***
Berdiri di luar kelas sepanjang pelajaran Matematika berlangsung, adalah hal paling memalukan dan membosankan yang pernah aku alami. Ini adalah kali pertamanya, aku bergabung dengan anak-anak malas belajar dan jarang mengerjakan PR di luar kelas. Tapi, Nadila?
Aku heran bukan kepalang ketika melihat Nadila juga keluar kelas. Dan itu tandanya, dia juga tidak mengerjakan tugas. Meski penasaran, tapi aku gengsi untuk menegurnya. Rasa sakit di dalam hati ini masih begitu perih. Aku sama sekali belum bisa memaafkannya.
“Gea…” Nadila mendekatiku. Aku buang muka dan membelakanginya.
“Sebenarnya ada apa? Bukankah, selama ini kita baik-baik saja? Apa Nadila ada salah yang tidak Nadila sadari?” suaranya begitu lembut. Dia tidak hanya aku anggap sebagai sahabat yang begitu baik, tapi saudari yang selalu memberiku nasihat dan selalu ada untukku. Tapi, tidak untuk kali ini. Aku menggeleng,
“Enggak ada apa-apa.”
“Lalu?”
Aku bersahabat dengannya semenjak kami duduk di bangku sekolah dasar, kelas tiga. Itu berarti, aku dan Nadila sudah bersahabat selama sembilan tahun. Aku tahu benar, mana Nadila yang tulus, dan mana Nadila yang tidak jujur kepadaku. Dan kali ini, ia benar-benar tulus merasa bersalah, walaupun Nadila sama sekali tidak tahu dimana letak kesalahannya.
Aku tidak tahan lagi menahannya. Tiap kali menahannya, ubun-ubunku seperti mau meledak.
“Kamu kenapa sih enggak jujur aja sama aku?” Aku menahan suaraku agar tidak terlampau keras. Nadila mengerutkan dahi,
“Apa aku pernah berbohong kepadamu?”
Nadila membuatku ragu atas informasi yang aku dapat, dari seorang tukang gossip sekolah yang infonya biasanya selalu benar. Tapi, aku masih merasa begitu sakit ketika mengingat berita itu.
“Kamu suka kan sama Erik? Aku udah tahu semua busuknya kamu, Nad! Kamu nyuruh aku supaya enggak jatuh cinta duluan sebelum aku menjadi halal bagi suamiku nanti! Tapi apa? Ternyata, itu supaya kamu bisa jatuh cinta sama Erik kan? Jago banget ya, kamu nikung sahabatmu sendiri! Kita udah sahabatan selama sembilan tahun, Nad! Buat apa kamu selama ini pergi-pergi ke pengajian lah, ikut ROHIS lah, pakai kerudung panjang-panjang lah, kalau ternyata…”
“Cukup, Gea!” tangis Nadila pecah. Suasana sekolah tiba-tiba berubah menjadi sepi. Ini kali pertamanya, aku mendengar ia menjerit seperti itu. Apakah aku terlalu menyakitinya? Tapi, dia juga menyakitiku.
“Sejak kapan, Gea yang aku kenal jadi begitu percaya dengan fitnah seperti itu? Sejak kapan, Gea yang aku kenal jadi begitu tidak percaya kepadaku? Sejak kapan, Gea yang aku kenal ternyata menilai aku se-begitu rendahnya?” Nadila terisak. Aku terkesiap. Baru kali ini Nadila menyebut dirinya dengan sebutan ‘aku’. Nadila melemah,
“Gea, Allah Maha Tahu atas segala yang telah terjadi. Wallahi, Gea! Nadila tidak pernah ada niat sedikit pun untuk menyukai laki-laki yang sahabat Nadila suka. Karena Nadila tahu, itu akan menyakiti Gea. Nadila malah berusaha agar cinta Gea bisa ditempatkan dengan benar. Agar ketika ada sesuatu yang terjadi di suatu hari kelak, Gea tidak akan merasa sakit. Nadila menyuruh Gea untuk tidak dulu jatuh cinta, karena apabila ada orang lain yang mengisi hati laki-laki yang Gea cintai kelak, Gea tidak sakit hati. Nadila hanya ingin… Gea bahagia. Itu saja…”
Aku tidak kuat. Aku tidak bisa melihat Nadila menangis se-begitu derasnya. Aku memeluk Nadila erat-erat. Aku percaya, Nadila tidak mungkin menyakitiku. Nadila paham benar dengan cinta hakiki yang selalu ia jelaskan kepadaku. Meski, acap kali aku tidak mau mendengarnya.

“Maafkan Gea… Gea terlalu cepat percaya kepada orang lain, tanpa menanyakan kebenarannya terlebih dahulu kepada Nadila…”

Nadila mengangguk dalam pelukanku.
“Gea minta maaf sudah menyakiti Nadila… Inni Uhibbuki Fillah” aku sedikit terisak.
“Nadila juga… Ahabbakillah ahbabtani fii ” suara lembutnya yang begitu tulus mebuatku tenang. Nadila sahabat terbaik yang pernah aku kenal.
“Berati enggak ada yang O-E-O” logat jawa itu memecah keharuan di teras kelas XI IPA 1. Nadila melepaskan pelukanku perlahan,
“O-E-O?”
“Orange Eat Orange! Hahaha…” aku dan Ayu terbahak bersama. Nadila tertawa kecil.
“Gea, tempatkanlah cinta dengan sebaik-baiknya. Cinta adalah fitrah yang telah diciptakan oleh Allah dengan begitu indahnya. Dengan cinta, kita dapat bersahabat, bersaudara, mencintai orang-orang yang tepat untuk kita cintai. Tapi, banyak orang yang menyalah artikan fitrah ini. Gea, sungguh indah jika Gea mengerahkan segala cinta Gea kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta hakiki yang tidak ada akhirnya. InsyaAllah, Gea akan selamat dari cinta yang menjerumuskan Gea dari kemaksiatan. Dan… InsyaAllah tidak akan ada O-E-O.”
Tawa pecah di tengah-tengah kami. Aku mengerutkan dahi,
“Eh, kalian enggak ngerjain tugas juga ya?”[] [Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, jenjang SMA kelas 2, angkatan ke-2]

By noviani

Noviani Gendaga | Santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, kelas 3 | Asal Samarinda, Kalimantan Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *