Liputan Khusus Diskusi Aktual Pesantren Media
Rabu, 25 Desember 2013
Tanggal 25 Desember, mungkin menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu bagi banyak orang di seluruh dunia, terutama bagi umat nasrani. Karena pada hari ini umat nasrani merayakan hari raya agama mereka, yaitu Hari Natal. Mendekati bulan ini, beberapa sudut pertokoan mulai ramai dengan hiasan natal. Supermarket-supermarket yang mulanya sepi-sepi saja, kini dihiasi dengan pernak-pernik natal. Media massa pun tidak ketinggalan ikut memeriahkan hari raya ini dengan menayangkan acara-acara spesial natal.
Secara mendadak juga, di televisi atau media-media lainnya akan dipenuhi oleh aksesoris-aksesoris natal seperti pohon natal, pakaian merah khas sinterklas, ataupun hal-hal bernuansa salju. Perayaan seperti itu biasanya akan berlanjut lagi dengan meriahnya peringatan tahun baru pada malam tanggal 31 Desember.
Bertepatan dengan momen tersebut, Pesantren Media mengambil tema yang berjudul -Natal dan Tahun Baru, Mengapa Umat Islam “Dipakasa”- pada Diskusi Aktual minggu ini, 25 Desember 2013. Untuk memimpin diskusi ini telah dipilih Neng Ilham dan Teh Ira sebagai moderator dan saya sendiri, Ahmad Khoirul Anam sebagai notulen.
Tema mengenai natal dan tahun baru nampaknya memang menjadi hal yang sangat penting untuk dibahas, karena saat ini banyak Umat Islam yang keliru atau belum tahu mengenai aturan Islam dalam perayaan seperti ini. Bahkan kita sering memperhatikan seorang muslimah berkerudung menjabat salah seorang temannya yang beragama nasrani sambil mengucapkan “selamat natal ya…”
Hal tersebut membuktikan bahwa Seakan-akan tanggal 25 Desember merupakan perayaan bersama. Maka opini-opini baru pun bermunculan. Beberapa pengusung, sepertinya membenarkan dan mempersilahkan agar kaum muslim bisa ikut serta. Apalagi para tokoh-tokoh agama yang didukung oleh jaringan islam liberal, menjadikan ini topik hangat di tengah-tengah masyarakat. Acara televisi pun demikian. Sepertinya perayaan natal dan tahun baru, telah menjadi pesta bersama.
Padahal Rasulullah SAW bersabda:
”Sungguh kamu akan mengikuti (dan meniru) tradisi umat-umat sebelum kamu bagaikan bulu anak panah yang serupa dengan bulu anak panah lainnya, sampai kalaupun mereka masuk liang biawak niscaya kamu akan masuk ke dalamnya pula”. Sebagian sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, orang-orang Yahudi dan Nasrani-kah?” Beliau menjawab: ”Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari dan Muslim)
Dan kita sebagai Umat Islam, seharusnya sudah tahu dan mengerti bagaimana Islam telah melarang kita dalam mengikuti atau menyerupai orang-orang kafir, termasuk dalam hal perayaan natal dan tahun baru ini. Islam hanya memiliki dua hari raya, yaitu Idul Fitri, dan Idul Adha.
Baik, diskusi pun dimulai. Tak ada prolog, bahkan sebaris kalimat pembuka pun tak ada dari kedua moderator, karena nampaknya pembukaan dari Ustadz Oleh di depan tadi sudah cukup jelas.
Kurang lebih 10 orang mengangkat tangan, menandakan sebuah pertanyaan untuk dibahas. Kemudian pertanyaan dibacakan satu persatu.
“Mengapa pemerintah tidak menanggapi permintaan MUI? Dan mengapa ucapan selamat natal selalu digabung dengan ucapan selamat tahun baru, apakah ada hubungan diantara keduanya?” Dua buah pertanyaan tersebut berasal dari Qois.
“Mengapa Umat Muslim selalu dipaksa pakai Accesotis natal, sedangkan mereka, orang kafir tidak mau dipaksa pake jilbab saat ramadhan?” Pertanyaan unik ini dari Ihsan.
Pertanyaan selanjutnya dari Fadlan. “Apa solusi untuk Umat Isam yang di kantor-kantor agar karywan yang muslim tidak memakai accessories atau pakaian khas natal?”
Selanjutnya dari Fathimah, “apa tindakan pemerintah mengenai pegawai yang dipaksa menggunakan pakaian natal? Dan Bolehkah kita memanfaatkan waktu libur tahun baru untuk pergi ke tempat wisata, apakah itu termasuk merayakan tahun baru?”
Kemudian dari Nissa, “mengapa tradsi seperti itu berjalan dari dulu hingga sekarang tanpa ada solusinya? Padahal itu jelas-jelas tidak boleh? Apa hukumnya bagi Umat Muslim yang merayakan tahun baru, apakah ia berdosa, walaupun sederhana merayakannya? Dan apa bedanya Memperingati dengan merayakan?”
“Sebenarnya apa tujuan mereka memaksa pegawainya memakai aksesoris natal?” Pertanyaan ini ditanyakan oleh Tya.
Selanjutnya dari Putri, “apakah cuma di Indonesia saja karyawan-karywana orang muslim dipaksa menggunakan aksesoris natal? Dan Apakah termasuk meraykan ketika seorang ayah mengajak anknya melihat kembang api perayaan tahun baru di jalan bermaksud menghibur?”
“Apa hukumnya orang muslim yang melakukan pengajian besar dalam rangka memperingati tahun baru?” Dari Mayla.
Kemudian dari Via, “apakah boleh mengucapkan selamat tahun baru?”
Pertanyaan yang terakhir adalah dari Mayla, “apa sikap kita ketika tahun baru, apa yang sebaiknya kita lakukan?”
13 Pertanyaan dari peserta diskusi telah dibacakan, selanjutnya adalah sesi pembahasan.
Apa sikap kita ketika tahun baru? Itulah pertanyaan pertama yang akan dibahas.
“Biasa aja,” demkian Qois menjawab dengan singkat.
Kemudian Mila menambahkan, “ada 3 yang dapat kita lakukan, yang pertama adalah megucapkan syukur kepada Alah SWT karena telah menyampaikan umur kita hingga akhir tahun ini, kemudian menginstrpeksi diri, dan setelah itu adalah membersihkan diri.”
Tak mau ketinggalan, Fadhlan menambahkan, “yang pasti tidak boleh merayakan tahun baru, lebih baik melakukan hal-hal yang penting seperti mengaki, membantu orang tua, dan masih banyak lagi kegiatan bermanfaat lainnya.”
Sepertinya 3 jawaban tersebut sudah cukup untuk menjawab pertanyaan dari Mayla, karena tidak ada lagi yang ingin menambahkan atau menyanggah, maka moderaotr pun meminta untuk melanjutkan diskusi ke pertanyaan selanjutnya.
Apa bedanya memperingati dengan merayakan?
Mua pun menjawab, “kali memperingati biasanya hanya sekedar peringatan, sedangkan kalo merayakan biasanya ada pestanya.”
Sedangkan menurut Via, “merayakan dan memperingati memang beda, namun keduanya selalu berkaitan, orang yang merayakan suatu hal pasti secara tidak langsung ia juga memperingatinya.”
Jawaban yang lain lagi datang dari moderator, Neng Ilham. “Memperingati dengan merayakan jelas berbeda, kalo memperingati biasanya selalu identik dengan suatu upacara-upacara keagamaan, sedangkan merayakan hanya sekedar merayakan seperti contohnya maulid nabi.” Demikian menurut Neng ilham.
Masing-masing orang tentu memiliki pendapat yang berbeda satu sama lain. Dan masing-masing pasti merasa jawabannya yang lebih tepat, namun jika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, jawabannya adalah sebagai berikut.
Memperingati adalah mengadakan suatu kegiatan untuk mengenang atau memuliakan suatu perisitwa, seperti didirikannya sebuah tugu. Sedangkan merayakan adalah memuliakan suatu hari raya.
Sedangkan menurut Ustadz Oleh Solihin, “Perayaan itu biasanya memang sengaja dilakukan dan sudah diniatkan sejak awal, sedangkan peringatan itu hanya mengambil momennya saja, atau bertepatan dengan waktunya.”
Itulah beberapa jawaban dari berbagai pendapat yang dirasa sudah cukup untuk menjawab pertanyaan mengenai perbedaan perayaan dengan peringatan. Diskusi pun berlaih ke pertanyaan selanjutnya.
Apakah termasuk merayakan ketika seorang ayah mengajak anknya melihat kembang api perayaan tahun baru di jalan dengan maksud menghibur anaknya?
Via menjawab, “tergantung niatnya lah, tapi memang lebih baik lagi menghibur anaknya dengan cara lain, agar menjauhi dari hal-hal yang berkaitan dengan perayaan tahun baru atau natal.”
Sedangkan menurut Ira, tidak boleh, karena dalam sebuah hadits disebutkan kaum muslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir.
Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan,”Kaum muslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik.” [Ibnu Tamiyyah, Iqtidla’ al-Shiraath al-Mustaqiim, hal.201-202].
Maka sudah jelas bagi kita, Umat Islam dilarang menyaksikan perayaan-perayaan orang kafir. Kecuali jika keluar rumah dengan keperluan, dan hanya lewat, juga tidak berniat untuk menyaksikan perayaan tersebut, maka itu dibolehkan, tapi alangkah baiknya jika berdiam diri di rumah saja, untuk menghindari hal-hal yag dilarang. Allah juga berfirman,
“Dan mereka (mukmin) yang tidak menyaksikan hari raya orang-orang kafir musyrik.” [TQS Al Furqan (25): 72].
Pertanyaan dari Putri telah terjawab, yaitu mengenai keluar untuk menyaksikan perayaan tahun baru. Pertanyaan yang akan dibahas selanjutnya adalah, Apa hukumnya bagi Umat Muslim yang merayakan tahun baru, apakah ia berdosa, walaupun sederhana merayakannya?
Tidak perlu panjang lebar, jelas sekali hal tersebut berdosa, Islam hanya memiliki 2 hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, dan kita dilarang merayakan di luar hari raya tersebut. Apalagi jika sampai ikut-ikutan perayaan orang kaffir, maka itu termasuk tasyabbuh bil kuffar, atau menyerupai orang kafir. Rasulullah Bersabda,
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.”[HR. Imam Ahmad].
Bahkan, Bulan Maret 1981, hingga hari ini MUI telah Memfatwakan: 1) Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas. 2) Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram. 3) Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Dan tak terasa, waktu sudah mulai habis, dengan waktu yang ada, maka tidak mungkin cukup menjawab semua pertanyaan yang telah masuk. Maka hanya satu pertanyaan lagi yang akan dibahas, sebelum waktu habis.
Apa solusi untuk Umat Isam yang di kantor-kantor agar karywan yang muslim tidak memakai accessories atau pakaian khas Natal?
Sebenarnya, ada banyak solusi yang dapat diambil, seperti keluar dari pekerjaan itu. Mempertahankan akidah jauh lebih penting dari pada pekerjaan. Kita harus dapat membuktikan keislaman yang kuat, jangan sampai orang-orang kafir berhasil mempengaruhi pemikiran Umat Islam.
Salah satu misi orang kafir adalah agar Umat Islam mengikuti jejak mereka. Seorang muallaf yang sebelumnya beragama kristen, bernama Ireni Handono pernah mengatakan bahwa orang kristen memang sengaja mengucapkan selama Idul Fitri kepada Umat Islam, tujuannya hanyalah agar Umat Islam bersimpati dan ikut juga mengucapkan selamat natal kepada orang kristen.
Di dalam al-Quran, Allah juga berfirman: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka… (QS al-Baqarah: 120)
Jadi, tegaskan kepada orang-orang non-muslim, bahwa kita menolak mengikuti perayaan natal dan tahun baru. Juga tegas menolak mengucapkan selamat kepada mereka. Disebabkan karena islam telah melarangnya. Tetapi bukan berarti islam intoleran. Islam menghargai dan mendudukkan perlakuan yang adil dalam muamalah kepada agama yang lainnya. Sebagaimana ketika kisah Khalifah Umar ra. yang memberikan peringatan kepada walinya dengan menggoreskan segaris tanda di tulang dengan pedang kepada seorang walinya, disebabkan karena rumah seorang yahudi tergusur akibat kebijakan yang zalim.
[Ahmad Khoirul Anam, Santri angkatan ke 2, jenjang SMA, Pesantren Media]