Loading

Pengalaman baru tentu akan menjadi sesuatu yang amat mengasyikkan bagiku. Sering aku melakukan suatu hal yang baru, dan aku menjumpai ke-asyik-an tersendiri saat melakukannya. Merasakan sesuatu yang belum kupahami, berusaha bersikap dingin dengan masalah yang menghadang di depan, tantangan-tantangan baru yang mencekam sekaligus menyenangkan… Wah! Hidup ini indah dengan pengalaman baru!

Tapi apa jadinya jika pengalaman baru itu adalah sesuatu yang menyedot semua kesenangan, semangat, kekuatan, bahkan kesabaran! Waduh, ini pengalaman seperti apa, ya? Kita baca, yuk!

Rabu, 5 September 2012

Holiday’s over!

Hehehe… Sori teman-teman, aku tidak akan menuliskan kesedihan seperti tulisan sebelumnya. Tanggal 5 September saat itu, aku sudah memantapkan diri untuk berangkat sekolah, melaju menuju Bogor untuk menuntut ilmu di pesantren tercinta, Pesantren Media.

Aku sudah janji dengan Musa, dia akan menjemputku di rumahku dan kami akan melaju menuju Yogyakarta menggunakan mobil keluarganya. Yogyakarta? Belum tahu, ya?

Aku dan Musa memutuskan untuk ke Bogor dengan naik kereta. Ya, kereta! Ini akan menjadi pengalaman naik kereta pertama kalinya dalam hidupku! Hore!

Asal tahu saja, di Temanggung tidak ada stasiun kereta api, jadi jika ingin naik kereta, kami harus pergi ke Yogya atau Semarang. Ups, tolong jangan bilang Temanggung ndeso, ya… Aku nggak terima!

Mobil Musa datang ke rumah untuk menjemputku pada pukul 11.00 WIB. Semua sudah, aku sediakan, kecuali satu hal. Charger notebook-ku hilang! Ya Allah… kok bisa ya, hilangnya waktu aku sudah mau pulang? Apa charger itu tidak rela kalau aku pergi ke Bogor lagi? Apa sih yang dipikirkannya?

Setelah puas panik cukup lama, akhirnya aku putuskan untuk tetap pergi meskipun charger ‘nakal’ itu belum ketemu. Ibuku berjanji jika sudah menemukan charger itu, akan segera mem-poskannya ke Bogor. Mau bagaimana lagi?

Aku meninggalkan rumah dengan perasaan cukup berat. Adik-adikku terlihat sedih, ayahku mungkin sedih namun beliau pandai menyembunyikan perasaannya, sementara ibuku pasti sangat sedih, namun beliau adalah ibu tertabah yang ada di muka bumi ini bagiku. Dia mengecup pipi dan keningku untuk merelakan kepergianku. Aku pun tidak bisa mengalihkan pandanganku dari tubuhnya yang berjalan menuju rumah saat mobil Musa meninggalkan tempat terindah itu.

Sudah berakhir, Haw, jangan dipikirin terus. Konsentrasi belajar!

Kami pun melaju meninggalkan kampong halaman. Aku menatap keluar jendela, melihat warung makan favoritku, warnet kesayangan, took langganan, dan yang paling teringat adalah sawah hijau permai nan sejuk yang hanya ada di Temanggung, berlari ke belakang meninggalkanku. Eh, maaf, aku yang berlari meninggalkan mereka. Maaf, ya, kalian semua. Maaf juga untukmu, kampong halamanku. Tapi pergiku adalah tanda kasih sayangku padamu. Aku akan kembali dengan ilmu baru yang akan bermanfaat bagimu. Jangan nangis, ya, Temanggung? Okay?

Perjalanan Temanggung – Yogyakarta cukup jauh, mungkin sekitar dua jam perjalanan. Kami tiba di rumah Musa yang ada di Yogyakarta, tepatnya sebuah kampung kota yang disebut Gambiran. Aku tertegun melihat banyak perubahan. Hm, sudah banyak yang berubah, yah… Rumah itu kini diubah setengahnya menjadi perusahaan rental mobil. Ruang tamu disulap menjadi kantor. Di depan rumah itu, terdapat halaman luas yang di sana terparkir bermacam mobil mewah dari berbagai merk terkenal. Beberapa petak kosong, mungkin mobil-mobil itu ada yang disewa? Wah, berarti mobilnya banyak sekali. Maklumlah, orang kaya.

Kami beristirahat sejenak di dalam rumah, lalu kami melaksanakan shalat jama’. Sepertalian sepatu kemudian, kakak perempuan Musa yang kesekian (saudara Musa banyak banget, jadi susah mengingat ini yang keberapa), namanya Zegovine, menyerahkan dua lembar karcis pada Musa, karci kereta kelas bisnis. Katanya nih, namanya itu terinspirasi dari nama negara dimana kaum muslim pernah dibantai di sana, yakni Bosnia & Herzegovina. Musa segera membacanya sekilas, dan dia mendapati bahwa kereta akan berangkat pukul 4 sore. Aku sebenarnya juga hendak melihatnya, tapi aku saat itu malas melakukannya.

Kami melakukan kecerobohan. Menurut karcis, kereta berangkat pada pukul 4, sementara kami berangkat dari Gambiran pada pukul 4 kurang 20 menit! Wew, telat nggak yah?

Ngebut, itulah yang dilakukan oleh kakak sepupu kami, Mas Saiful, yang mengantar kami ke Stasiun Tugu Yogyakarta dengan mobil APV (yes, numpang mobil mewah lagi!). Apa Mas Saiful ini nggak takut mobil mewah ini nabrak, ya?

Kami sampai di Stasiun Tugu sangat dekat waktunya dengan jadwal keberangkatan. Mas Saiful menyuruh kami untuk berlari agar tidak tertinggal kereta, dan kami pun mematuhinya. Saat sampai di pos pemeriksaan, kami sangat terkejut!

Suasana di luar Stasiun Tugu Yogyakarta

Teman-teman, ternyata karcis yang dipesan oleh Mbak Ovin (begitu biasanya Zegovine dipanggil, dan ‘Mbak’ adalah sebutan untuk ‘Kak!’ perempuan dalam Bahasa Jawa) adalah untuk kereta yang sudah berangkat sejak jam 7 pagi tadi! Kami lemas seketika. Kami bertanya, apakah tiket bisa dikembalikan dengan uang, dan katanya tidak bisa. Padahal, per tiket untuk Stasiun Tugu-Stasiun Pasar Senen harganya Rp125.000! Tiket yang sudah dipesan oleh Mbak Ovin adalah Fajar Utama, kereta yang berangkat pagi, sementara jam 4 itu adalah waktu sampai kereta di Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Yah… berarti kereta yang harusnya kami naiki sudah sampai Jakarta, dong! Dalam kesimpulan lain, kami salah beli tiket!

PUK!

Ayo, suara apa itu, ada yang tahu? Ya, kalian benar! Itu adalah suara menyakitkan saat aku dan Musa secara bersamaan menepuk jidat kami masing-masing.

Nasib…nasib…

Kami akhirnya memesan tiket yang akan berangkat pada pukul 7 malam, dan harganya sudah mencapai Rp185.000! Uang kami pun langsung mencapai garis marjinal, dan krisis moneter nampaknya telah menyerang dompet kami secara spontan.

Kami kembali ke Gambiran untuk minta uang, dan kejadian hampir telat pun kami ulangi. Kami nyaris terlambat kereta, karena kami berangkat dari Gambiran pada pukul 7 kurang 20 menit.

Setelah turun mobil, kami segera berlari menuju tempat pemeriksaan. Kami pun masuk, dan diteriaki oleh satpam agar cepat, karena kereta sudah hampir berangkat.

Saat kami naik kereta, kamu mulai panik lagi. Kami sempat kesulitan saat mencari tempat duduk kami, karena kereta saat itu sudah penuh. Bagaimana tidak, kami adalah dua pembeli karcis terakhir kereta Senja Utama kelas bisnis yang berangkat pukul 7, yang artinya setelah kami sudah tidak ada penumpang lain lagi. Kereta penuh!

Kami kira kami salah kereta. Setelah mondar-mandir maju-mundur dari gerbong ke gerbong seperti bocah ilang[1], kami sempat mengira kami salah naik kereta. Whacks? Salah kereta? Kereta ini kan akan berangkat beberapa detik lagi?

Tapi Alhamdulillah, kami ditunjukkan oleh seorang pelayan kereta (namanya pramugari juga bukan, sih?) tempat duduk kami. Fyuh, lega! Kami duduk di sana, dan beberapa saat kemudian, kereta berjalan.

Oh, seperti ini ya, rasanya naik kereta?

Tapi, saat itu aku tidak begitu menikmati perjalanan, karena sudah capek sekali rasanya. Apalagi, kami naik kereta pada malam hari yang siapapun tahu, malam itu gelap. Apa yang mau dilihat malam-malam begini? Hehehe…

Aku segera memejamkan mataku, dan tidur ayam pun dimulai. Eh, sebetar, tahu tidur ayam? Ini nih gaya paling nggak nyaman untuk tidur, tapi diamalkan oleh orang se-kereta.

Aku terbangun beberapa kali, dan terakhir terbangun menjelang pukul 4 pagi. Setelah lama ‘tidur ayam di kereta’, akhirnya kami sampai juga di Stasiun Pasar Senen Jakarta. Meskipun saat itu masih sangat pagi, namun stasiun sudah ramai dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan berbeda masing-masing.

Suasana di Stasiun Pasar Senen Jakarta di pagi hari

Kami segera mencari mushola terdekat, dan melaksanakan shalat shubuh. Rencananya, kami akan naik kereta Jabodetabek dari Stasiun Pasar Senen ke Stasiun Bogor. Melihat loket masih tutup, kami pun duduk manis dan menunggu loket buka, agar kami bisa membeli tiket menuju Bogor.

Kami menunggu selama berjam-jam, namun loket tidak kunjung buka. Kami mulai bosan, namun kami berusaha untuk tetap sabar menunggu.

Menunggu itu sesuatu yang sangat menyebalkan. Karena tidak ada yang bisa aku lakukan saat itu, akhirnya aku bermain-main dengan seekor kucing gila yang berlari-lari sendiri di stasiun.

Kesabaran kami pun akhirnya habis. Musa memutuskan untuk bertanya kepada seorang satpam yang kelihatannya baru saja muncul. Dan kabar yang dia dapat cukup mengejutkan! KRL tidak melewati Stasiun Pasar Senen sejak tanggal 1 hingga 30 September! Oh tidak, lalu apa guna kami menunggu di stasiun yang sesak ini selama berjam-jam? Aku melihat jam. Pukul 7 pagi. Berarti, kami sudah menunggu selama kurang lebih tiga jam-an. Waktu yang sangat lama!

Aduh, kenapa nggak nanya dari tadi aja, ya?

Kami pun diarahakan oleh satpam untuk pergi ke Stasiun Cikini, karena stasiun itulah yang terdekat dengan Pasar Senen, dan KRL pasti lewat sana. Kami bingung lagi. Bagaimana cara kami mencapai Stasiun Cikini? Tapi tampaknya Musa saat itu benar-benar mengamalkan sebuah pepatah yang sangat terkenal; malu bertanya sesat di jalan.

Musa nanya sana, nanya sini. Kami sempat ditawari naik taxi ke Bogor.

“Jakarta – Bogor berapa?” Musa bertanya pada supir taxi itu.

“Tiga puluh lima, dik. Ayo!”

Kami tidak sebodoh itu. “Tunggu, 35 ribu?”

Supir taxi itu tertawa keras sekali. “Bensinnya aja lebih dari 35 ribu!”

Masih harus jaga pose, meski lagi kesasar di Jakarta

Kami meninggalkan supir taxi itu karena harga jasanya sudah pasti 350 ribu., dan pergi keluar stasiun. Musa kembali bertanya, dan ternyata kami dapat mencapai Cikini dengan menaiki metro mini. Tapi, metro mini yang mana?

Aku sempat mengutuk orang-orang Jakarta itu dalam hati, karena tampaknya mereka selalu menyesatkan kami. Kami berulang kali mondar-mandir stasiun karena setiap orang yang kami tanya member petunjuk yang selalu bebeda, padahal kami hanya ingin tahu satu hal. Metro mini mana yang melaju menuju Stasiun Cikini?

Setelah bersusah payah, akhirnya kami berhasil menemukan metro mini yang tepat, yakni metro mini berangka 17. Kondektur metro mini itu kalau kasarnya ngomong sih aku lebih suka menyebut dia korban MK-Ultra, percobaan CIA yang mengambil anak-anak dan remaja untuk disiksa demi diambil keuntungan, yakni pengendalian pikiran! Mata kondektur itu tampak kosong, gerakannya pula statis namun tidak enak dilihat, seperti robot saja.

Metro mini itu seperti bus, dan kelakuannya pun sama seperti kebanyakan bus di Indonesia. Sebelum penumpang sempurna naik, bus sudah melaju. Sebelum penumpang sempurna turun, bus juga sudah pergi meninggalkan polusi mematikan di belakangnya.

Kami mulai curiga saat metro mini melaju terlalu lama, dan akhirnya berhenti di sebuah terminal. Kami pun bertanya kepada kondektur korban MK-Ultra tersebut. Di mana Cikini-nya?

Tidak terduga, ternyata Cikini sudah jauh terlewat. Musa benar-benar geram dengan kondektur itu. Dia bahkan sempat mengumpat saking marahnya. Kami akhirnya ditunjuk untuk menuju ke stasiun terdekat, yakni Stasiun Manggarai.

Terpaksa, kami jalan kaki lagi.

Selama berjalan, kami melihat hiruk pikuk kota Jakarta Sang Ibukota dalam jam sibuk. Orang-orang berjalan seperti robot, tidak ada yang mengucapkan sapa satu sama lain, dan tidak ada kehangatan di jalanan yang mulai panas. Ironisnya lagi, di tengah orang-orang sibuk dengan pakaian rapi dan aroma wangi, tergeletak puluhan gelandangan yang tidak memiliki tempat tinggal dan terpaksa hidup di jalanan.

Inilah dampak dari sistem kapitalis. Semua orang seolah disibukkan dengan urusan pribadi saja. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi sudah sangat susah, bagaimana bisa mereka berfikir untuk setidaknya beramah-tamah pada orang yang belum mereka kenal?

Padatnya KRL ekonomi Jabodetabek saat jam berangkat kerja

Kami akhirnya menemukan Stasiun Manggarai. Kami membeli dua karcis bisnis, karena tidak mau mengambil resiko berhadapan dengan bahaya kejahatan yang memangsa dalam keramaian kereta ekonomi. KRL ekonomi Jabodetabek setiap pagi dan sore sangat padat, karena itulah saat orang berangkat dan pulang kerja.

Suasana di Stasiun Manggarai

Kami sempat berganti kereta, karena kereta pertama hanya berhenti sampai Stasiun Depok. Tepat pukul 10, akhirnya kami sampai juga di Stasiun Bogor.

Suasana di dalam KRL bisnis yang sedang menuju ke Bogor

Aku turun dari KRL sambil merenung. Ah, seandainya kami naik bus langsung dari Temanggung seperti saat kami pulang kemarin, kami pasti tidak akan selelah ini. Sebenarnya, benda pembawa sial apa sih yang aku bawa dari rumah, sehingga kami selalu saja berhadapan dengan ketidakberuntungan selama perjalanan ini? Aku sempat menanyakan hal itu pada Musa, dan jawabannya sangatlah menarik.

“Itu adalah ujian dari Allah untuk kita, apakah kita akan tetap pergi berjuang menuntut ilmu setelah dihadapkan dengan berbagai halangan. Dan nampaknya, kita berhasil.” [Hawari, @hawari88, santri Pesantren Media, jenjang 1 SMA]

Catatan: tulisan ini adalah bagian dari tugas menulis catatan perjalanan di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media


[1] Anak hilang (Jawa)

By Administrator

Pesantren MEDIA [Menyongsong Masa Depan Peradaban Islam Terdepan Melalui Media] Kp Tajur RT 05/04, Desa Pamegarsari, Kec. Parung, Kab. Bogor 16330 | Email: info@pesantrenmedia.com | Twitter @PesantrenMEDIA | IG @PesantrenMedia | Channel Youtube https://youtube.com/user/pesantrenmedia

3 thoughts on “Nasib Oh Nasib…”
  1. ceritanya keren…
    kamu harus bersyukur bisa tersesat. itu pengalaman yang paling membahagiakan…
    kamu jadi tau jakarta itu seperti apa.
    suatu saat nanti pasti kamu akan tersenyum bahkan mungkin tertawa menginat pengalamanmu ini…

Tinggalkan Balasan ke Hawari Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *