6 bulan kemudian…
Aku duduk termenung, memikirkan nilaiku yang akhir-akhir ini menurun. Aku tak tahu apa penyebabnya. Semua cara telah ku lakukan tapi tak ada gunanya. Kriing… Kriing… Kriing… Suara telepon memecahkan lamunanku. Ku lihat ayah menghampiri dan menjawab telepon yang berbunyi.
“Hallo, Assalamu’allaikum….” Jawab ayah dengan santai.
“Apa…. Kok bisa? Sudah di cek???” jawab ayah dengan nada tinggi. Muka ayah tampak memerah bak kepiting yang baru direbus. Merah membara bak menyiimpan sejuta amarah. Aku tak tahu apa yang sedang ayah bicarakan di telepon. Tapi, dapat ku ketahui kalau ayah sedang marah besar. Aku penasaran, dengan siapa gerangan ayah berbicara. Tak pernah ayah semarah ini sebelumnya.
Tak lama kemudian ayah berbicara lagi “Itu salahmu, Ndra. Bebrapa tahun belakangan ini ku lihat kau sering pergi keluar kota. Kau pergi berdua dengan istri, dan Anita kau tinggalkan di rumah bersama pembantu…”
Aku terkejut, tak tahu apa yang terjadi. Apa gerangan yang sedang terjadi dengan keluarga Om Indra? Tampaknya ada masalah yang serius menimpa keluarga Om Indra. Rasa penasaranku membuatku pindah posisi duduk ke ruang tv, agar dapat terdengar pembicaraan.
Namun, usahaku gagal. Ayah menyadari kehadiranku. Ayah langsung meminta untuk melanjutkan pembicaraannya nanti saja. Ayang minta Om Indra datang ke desa untuk bicara dan menenangkan diri katanya.
Rasanya, senang sekali mendengan Om Indra mau kedesa. Dan aku yakin, Anita pasti ikut. Dan ini kesempatan ku untuk minta maaf secara langsung padanya.
Bersambung…
[Nurmaila Sari, santri angkatan ke-2, Pesantren Media]