Aku duduk sendiri di bangku ini menimang bayi, sambil menikmati sisa-sisa segelas es jeruk yang sudah dibuat khusus untukku. Diam, menunduk malu, atau barangkali aku bingung. Aku teringat dengan setahun lalu saat teman-temanku begitu sibuk menyambut kehadiran bayi yang sedang dikandung Ustadzh Nadia. Padahal usia kandungannya masih beberapa minggu.
“Kenapa kamu tersenyum-senyum gitu, Din?” Tanya Ustadzh Nadia keheranan.
Wajahku memerah melihat bayi yang baru lahir ini. Ku angkat kepala dan kukatakan kepada Ustadzh Nadia, “Hmm, Aku seneng aja Ustadzh. Aku ke inget waktu Ustadzh hamil muda dulu. Semuanya sibuk nyiapin keperluan bayi. Padahal kita nggak tahu kapan lahirnya.” Kutimang bayi lucu dan menggemaskan ini dengan perasaaan senang menyelimuti hati.
(Ustadzh Nadia membuaka bungkusan kue yang dibawanya dari Bandung) “Iya, ya Din. Semua seneng banget waktu tahu Ustadzh hamil. Ustadzh inget banget deh, waktu itu 5 temenmu datang ke rumah ini. Terus mereka berebut untuk ngasih nama yang bagus buat Irfan. Oh ya, ngomong-ngomong temen-temenmu pada kemana, Din?”
“Lulus sekolah tahun kemarin, mereka milih ngelanjutin di kota. Paling pulangnya akhir bulan, Ustadzh.”
“Hmm, gitu ya? Sudah sini dulu Irfannya, mau ditidurin dulu. Kamu tunggu disini ya, makan aja kue ini dulu.” (Ustadzh Nadia memberikan piring yang berisikan kue bolu khas Bandung).
“Baik, Ustadzh.” Kuambil potongan kue itu. Kunikmati setiap gigitan itu dengan pikiran yang mengarah ke tahun lalu. Aku teringat akan teman-temanku yang sedang menuntut ilmu di kota. Aku teringat kekonyolan-kekonyolan yang kami buat bersama kalau lagi ngumpul.
“Assalamu’allaikum”
Suara salam memecahkan lamunan nostalgiaku. Kufokuskan perhatianku yang tadinya mengawang-ngawang menuju kearah sumber suara salam tersebut. Setelah kutemukan sumber suara tersebut, kulihat Anita dengan pakaian mini berdiri didepan pagar.
Bukannya menjawab salam, aku malah mengucap “Astagfirullah”. Aku nggak nyangka, Anita menggunakan baju seminim itu. Belum pernah kulihat dia seperti itu sebelumnya. Aku menghampirinya dan dengan emosi yang membludak ku lanyangkan sebuah tamparan tepat di pipinya.
Ustadzh nadia keluar dari rumah dan melihat apa yang barusan terjadi.
“Kamu ini kenapa? Apa salah ku, kau tampar begini?” Tanya Anita dengan nada yang cukup tinggi.
Nggak mau kalah, akupun menjawab pertanyaan Anita dengan nada yang tinggi juga. “Kamu yang kenapa? Dimana rasa malumu sebagai muslimah?”
“Ini kan lagi ngetren. Masa aku harus ngikutin gaya kamu berpakaian? Nggak banget, ketinggalan jaman tahu.”
“Anita, asal kamu tahu aja ya. Baju yang kata kamu ketinggalan jaman ini, lebih bisa melindungimu dari kejahan yang nggak diinginkan dari pada baju kekurangan bahan itu”
“Sudahlah, aku nggak mau denger lagi. Aku mau pulang.” (pergi meninggalkan Aku dan Ustadzh Nadia tanpa mengucap salam).
Setelah Anita meninggalkan kami berdua, Ustadzh Nadia mendekatiku. Dan mengajakkua duduk kembali.
“Dinda, kamu itu tidak perlu menampar Anita jika kamu mau menasehatinya. Kalau kamu sanyang sama dia. Cobalah dulu dengan cara baik-baik. Islam tidak pernah mengajarkan umatnya dengan kekerasan, lho.”
Perkataan Ustadzh Nadia, ada benarnya juga (pikirku dalam hati). Disatu sisi aku ingin yang terbaik untuk Anita. Tapi, disisi lain aku kasar dalam menasehatinya.
Bersambung…
[Nurmaila Sari, santri angkatan ke-2, Pesantren Media]