Loading

Yosi merapikan baju yang dipakainya, lalu menarik tas slempangnya dan keluar kamar. Hari ini dia ada jadwal kuliah pagi, jadi mau tidak mau harus bangun pagi. Yah, sekarang sudah hampir delapan tahun berlalu dan Yosi sudah kuliah semester satu jurusan sastra Jepang. Alasan kenapa ia memilih jurusan itu sangat sepele, pengen ketemu Sasuke. Yosi tau itu kekanakan, Kak Bima bahkan hampir menarik uang sakunya sebulan karena memilih jurusan dengan alasan konyol. Lain dengan Kak Anne, tanpa tedeng aling dia langsung menjewer telinga Yosi sampai meraaah sekali. Untungnya ibu ngga marah, cuman nasehatin supaya konsisten sama pilihannya. Dan untungnya lagi, dia sangat konsisten dengan pilihannya.

Yosi duduk di kursi depan meja makan, sementara ibu masih sibuk dengan masakannya. Oh yah, selama delapan tahun ini banyak hal berubah. Kak Bima berubah, Kak Anne juga, ibu juga, dan Yosi juga berubah.

“Ibu, gorengnya biar Amilah aja yang lanjutin,”

Yosi memangku dagunya di tangan, memperhatikan gerak-gerik Kak Amilah yang sedang menggoreng tempe. Kak Amilah itu istri Kak Bima sejak satu tahun lebih yang lalu. Waktu tau Kak Bima menikahi Kak Amilah, Yosi senang sekali. Pasalnya, tidak hanya cantik Kak Amilah juga anggun, masakannya juga enak banget. Susu pisang buatannya yang paling bikin Yosi ketagihan, rasanya beda dan jauh lebih enak dari yang biasa Yosi beli di supermarket.

Kak Bima dan Kak Amilah sudah punya satu anak yang mau menginjak satu tahun, dua bulan lagi. Yosi gemas banget ngeliat tingkah Bintang yang tiap kali pipinya dicubit pasti nangis yang lucuuu banget.

“Kak Ami, aku mesen susu pisang, yah,”

“Bikin sendiri sono, minta mulu kerjaannya!” Yosi menatap garang Kak Anne yang tiba-tiba duduk di depannya. Selalu saja, Kak Anne dari dulu merecokinya terus.

“Apa sih Kak Anne, aku mintanya ke Kak Ami juga!”

“Kak Ami-nya lagi masak, Yosi.” Yosi cemberut begitu mendengar perkataan Kak Bima yang seolah memihak Kak Anne yang kini tersenyum menang padanya.

“Kak Bima ah, susu pisangnya Kak Ami itu enaaak banget… kalo kakak cobain pasti ketagihan, deh.” Yosi beralih menatap Kak Ami yang masih sibuk dengan penggorengan, “Kak Ami, bikinin aku susu pisang, yah, pliiis…”

“Iya, iya, nanti abis ini,” mendengar jawaban Kak Amilah, Yosi memeletkan lidahnya pada Kak Anne.

Ngomong-ngomong soal Kak Anne, sekarang dia sudah bekerja di salah satu rumah sakit di bagian penyakit dalam. Yang lebih mengejutkan Yosi, baru-baru ini Kak Anne di taaruf oleh seorang dokter magang yang ternyata lebih mudah dua tahun dari Kak Anne! Wajah ibu bahkan putih pucat saat tau Kak Fauzi, yang mentaaruf Kak Anne, lebih muda dua tahun. Yosi kira Kak Anne akan menolaknya, tapi dia menerimanya! Kak Bima sampai harus bertanya tiga kali untuk meyakinkan kalau Kak Anne memang menyetujui taaruf itu. Ck, ck, Kak Anne benar-benar diluar dugaan Yosi.

“Amilah, Bintang-nya udah bangun?”

“Belum, bu, nanti aja dibanguninnya, dari semalem nangis terus soalnya.” Kak Amilah meletakkan sepiring tempe goreng di meja sambil menjawab pertanyaan ibu.

Yosi melahap sarapannya penuh semangat ketika Kak Amilah meletakkan susu pisang kesukaannya di meja. Dia berterimakasih lalu meminumnya dalam beberapa tegukan. Seperti yang Yosi duga, Kak Amilah pasti punya resep rahasia supaya susu pisangnya lebih enak dari yang dijual di supermarket.

“Kamu berangkat kerja kapan, Bim?” tanya ibu pada Kak Bima yang masih sarapan.

“Nanti, abis sholat Jumat, bu.”

Ngomong-ngomong soal pekerjaan, Kak Bima sekarang sudah menjabat sebagai manager di salah satu perusahaan. Hasil kerja Kak Bima yang bagus dan disiplin membuatnya di promosikan sebagai manager, dan kata Kak Bima, kalau jadi mungkin dia bisa naik ke jabatan yang lebih tinggi. Tapi Kak Amilah menolak rencana Kak Bima buat menjabat lebih tinggi, dia bilang jabatan yang lebih tinggi amanahnya lebih banyak lagi, waktu yang diluangin buat pekerjaan makin banyak juga, takutnya waktu buat keluarga malah berkurang. Yosi sih setuju-setuju aja selama uang sakunya ngga berhenti ngalir tiap bulan. Hehe…

“Yosi, kamu berangkat kuliah kapan? Bareng sama kakak sekalian aja, yuk.” ajak Kak Bima.

“Loh, emang kakak mau kemana, katanya berangkat kerjanya nanti siang?”

“Ada janji sama temen.” jawab Kak Bima seadanya lalu bersiap menuju ke garasi, hendak memanaskan mobilnya tapi dihentikan oleh Kak Amilah yang berkata, “Tunggu Mas, sekalian nitip beli keperluan Bintang, yah, udah pada mau abis soalnya.”

“Ngga bisa nanti aja, sekalian belanja bulanan, Mil?” usul Kak Bima pada Kak Amilah yang menghilang di balik pintu kamar, tidak lama Kak Amilah muncul.

“Udah pada mau abis, Mas, belanja bulanan masih berapa hari lagi, keburu abis yang ada.” kata Kak Amilah sambil memberi selembar kertas pada Kak Bima yang mau tidak mau diterima.

“Tauk nih, Kak Bima, kasian nanti ponakan aku, dimakan Darth Vader baru tau rasa.”

“Darth Vader mulutmu. Udah sana berangkat, telat nanti!”

“Iya Kak Anne cerewet!”

 

Bima memarkir mobilnya di depan sebuah tempat makan cepat saji lalu masuk ke dalamnya. Dilihatnya Fauzi sudah duduk di salah satu kursi, Bima langsung menghampirinya.

“Assalamualaikum, Kak, mau pesen makan dulu?”

“Ngga usah, udah makan tadi di rumah. Gimana, yang kakak minta kemaren udah dapet?”

Fauzi mengeluarkan sebuah folder dari dalam tasnya lalu diserahkan pada Bima. Itu adalah kumpulan villa di Bogor yang dijual. Fauzi mendapatkannya dari salah seorang temannya yang bekerja sebagai agen properti.

Bima melihat-lihat foto-foto villa yang ada. Rencananya dia ingin menginvestasikan sebagian hartanya dengan membeli sebuah villa keluarga. Dia sudah mendiskusikan hal ini dengan Amilah yang disambut baik olehnya. Selain itu dia juga sedang mempersiapkan kebutuhan Bintang sampai kuliah nanti. Soal Yosi, Bima membagi tugas dengan Anne yang sudah berpenghasilan cukup dari pekerjaannya sebagai dokter. Ibu sendiri kadang menolak uang pemberian Bima dan Anne karena menurutnya itu masih belum diperlukan. Pasalnya, toko kue milik ibu sudah berkembang pesat dan kini memiliki satu cabang di Bogor yang dikelola Tante Kena. Sekarang ibu juga sedang sibuk mendiskusikan rencananya membuat panti asuhan dengan Amilah dan Yosi yang sangat menyambut baik rencananya.

“Kak Bima, saya ingin sekalian membicarakan perihal pernikan dengan Anne nanti.” ucapan Fauzi mau tidak mau membuat Bima menatapnya tegas. “Taaruf sudah dilakukan hampir tiga minggu, abi saya meminta pernikahan segera dilangsungkan.”

“Kalau soal itu kakak juga setuju, tapi keputusan ada di tangan Anne. Biar kami bicarakan dulu. Dan soal pekerjaan, kapan magang kamu selesai?” tanya Bima to the point seperti biasanya.

“Sekitar dua tiga bulan lagi, Kak.”

“Kamu berencana jadi dokter tetap, bukan?”

“Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya harus meneruskan perusahaan abi. Jadi sehabis magang saya akan langsung menggantikan abi di perusahaannya.”

Bima menatap Fauzi, menilai kesungguhannya sebelum akhirnya membuang napas dan menutup folder berwarna kuning di tangannya. “Kakak sudah putuskan mau beli villa yang mana, kira-kira prosesnya berapa lama?”

“Katanya seminggu sudah bisa diserahkan surat-suratnya. Nanti saya dan teman saya ke rumah kakak, memberikan surat-suratnya.”

“Ditunggu yah, Fauzi.”

 

Anne langsung duduk dari tidurnya begitu mendengar apa yang dikatakan Kak Amilah padanya. Yosi yang sengaja mencuri dengar dari balik pintu langsung masuk tanpa izin dan memasang telinga lebar-lebar untuk mendengar cerita Kak Amilah.

“Aku heran deh kak, bisa-bisanya Kak Fauzi kepincut sama kakak yang garangnya kayak harimau.”

“Sembarangan kamu, Yos!”

“Abis udah aku bilang juga Kak Anne galaknya ngga ketulungan, tetep aja suka. Pake pelet yah, kak?”

“Astagfirullah halazim, Yosi. Jaga omongan kamu!”

Yosi diam begitu mendapat teguran dari Kak Amilah. Dilihatnya Kak Anne yang langsung bergelung dengan selimut. Baru pertama kali Yosi melihat tingkah Kak Anne yang aneh begitu.

“Kak Amilah, kalau ternyata Fauzi bukan jodoh aku, gimana?” tanya Anne pada Kak Amilah yang duduk di kursi belajarnya.

“Kamu pikir kakak tahu kalau Mas Bima memang jodoh kakak sebelum menikah dulu?” Kak Amilah bertanya balik pada Anne yang diam-diam menyetujuinya juga. “Istikhoroh, Ne, minta petunjuk Allah.”

“Istikhoroh kak, minta petunjuk Allah. Minta juga sekalian Kak Fauzi emang jodoh kakak, biar uang saku aku bertambah.” Anne memelototi Yosi yang langsung lari terbirit-birit karenanya. Heran, bisa-bisanya Anne punya adik mata duitan seperti Yosi yang kerjaannya cuman baca komik mulu.

“Aku coba istikhoroh aja, kali yah, kak?” Kak Amilah mengangguk sambil tersenyum menenangkan lalu pergi dari kamar Anne.

Anne beralih duduk di kursi belajarnya, membuka toples kacang polong sambil mengingat-ingat kapan ia pernah bertemu Fauzi. Rasanya dia tidak pernah sekalipun melihat Fauzi di rumah sakit tempatnya bekerja ataupun tempat kuliahnya dulu. Bagi Anne, pertama kalinya bertemu Fauzi adalah saat laki-laki itu datang bersama orangtuanya meminta bertaaruf.

Hah, rasa-rasanya Anne ingin malam segera datang agar ia bisa bercerita pada Allah selama yang ia mau.

Tiga hari berlalu sudah sejak kedatangan Kak Amilah ke kamar Anne. Dia juga sudah beristikhoroh dua kali. Meski begitu, malam itu Anne tetap memutuskan untuk duduk di samping Kak Bima di depan TV.

“Bim,” Bima menanggapi Anne dengan gumaman. “Menurut lu Fauzi gimana?”

“Baik, berpendidikan juga. Dia hafal Quran juga,”

“Kalo menurut lu gua sama dia cocok, gak?”

“Cocok-cocok aja,” jawaban Bima yang terlalu apa adanya membuat Anne kesal sendiri.

“Seriuslah Bim, gua lagi mempertimbangkan buat merit sama dia juga.”

Bima menutup laptop di pangkuannya lalu memutar badannya menghadap Anne. “Udah istikhoroh?” Anne mengangguk, ia langsung beristikhoroh malamnya saat Kak Amilah mengusulkan. “Dapet jawabannya?”

“Semalem mimpiin dia, tapi takut salah,”

“Sholat lagi, minta keyakinan ke Allah. Hari Rabu depan Fauzi dateng, lu putusin apa jawabannya. Gua udah ngasih restu, ibu dan Yosi juga. Tinggal lu nya aja, Ne,”

 

Lusi menatap foto berukuran besar dengan frame keemasan di dinding ruang keluarga di rumahnya. Meski sudah berlalu hampir sebulan, tapi ia tidak bosan menatap foto keluarganya itu. Di tengah Lusi duduk sambil menggendong Bintang, diapit oleh Anne dan Fauzi yang berbusana pengantin. Di belakangnya ada Yosi yang menggandeng Bima juga Amilah.

Dalam hati Lusi bangga melihat anak-anaknya kini yang sudah tumbuh dewasa, meskipun dulu sempat dirundung masalah. Bima tumbuh menjadi sosok yang semakin dewasa dan bijaksana, ia bisa menempatkan dirinya menjadi anak, kakak, suami, juga ayah yang baik. Anne juga meski sering meledak-ledak, ia selalu bisa memposisikan dirinya di situasi dan keadaan tertentu yang bisa diandalkan. Dan Yosi, anak bungsunya itu makin ceria dan penuh semangat tiap harinya, meski begitu ia mulai menjadi dewasa.

“Assalamualaikum, ibu, Anne bawa makanan nih.” setelah menyalami Lusi, Anne langsung masuk ke dapur dan memindahkan makanan ke piring. “Cicipin yah, bu, Mas Fauzi bilang kemaren makanannya keasinan.”

“Yeee, Kak Anne, masa ibu dijadiin tempat nyicip sih?” Yosi yang tiba-tiba mucul di dapur langsung menyambar sepiring tumis kangkung yang semula untuk ibu. “Aduh kak, ditambahin apa sih kangkungnya sampe pedes kayak gini?”

“Coba ibu cicip,” Lusi menyendok kangkung dan memakannya, memang ada rasa pedas yang kurang alami. “Kamu nambahin lada berapa banyak sih, Ne, jadi pedes gini,”

“Masa? Kayaknya aku ngga nambahin yang aneh-aneh deh tadi.”

“Laporin ke Kak Fauzi, ah, Kak Anne gak bisa bikin tumis kangkung! Hahaha…” ledekan Yosi membuat Anne bersiap membalas, tapi dihentikan Lusi.

“Udah Ne, biarin aja adik kamu. Masak lagi sana, jangan pake lada kangkungnya,”

“Iya, iya,”

Anne membereskan makanan yang ada lalu keluar rumah. Anne dan Fauzi memang pisah rumah, tapi rumah mereka tepat di samping rumah Lusi jadi tidak perlu repot. Lusi masih ingat sekali betapa tidak setujunya Anne saat Fauzi mengusulkan untuk pindah rumah. Anne berhari-hari curhat padanya karena tidak setuju dengan keputusan Fauzi yang memang terbilang mendadak.

Lusi sendiri tidak setuju dengan keputusan Fauzi untuk pindah rumah, tapi begitu ia tahu alasan Fauzi pindah rumah karena ada Amilah yang jelas bukan mahramnya, Lusi ikut-ikutan setuju untuk pindah rumah. Dia makin setuju saat tahu Fauzi akan pindah ke rumah sebelah yang hanya berjarak beberapa langkah kaki saja. Setelah dibujuk, Anne juga setuju untuk pindah rumah. Dalam hal ini, Yosi yang paling senang karena dia akan jarang dimarahi Anne.

“Bu,” Lusi memusatkan perhatiannya pada Bintang yang ada digendongan Amilah. “Boleh titip Bintang bentar? Amilah mau beli pempers dulu, udah abis.”

Dengan senang hati Lusi mengambil alih cucunya dari Amilah yang langsung keluar membeli pempers. Bintang sudah genap satu tahun seminggu yang lalu, dia juga lebih sering tertawa dari pada menangis.

“Eh, Binbin sama ibu, makin tembem ih, pipinya.” Yosi menowel pipi Bintang yang memang tembem dan bikin gemas. “Kak Ami-nya mana, bu?”

“Lagi beli pempers.”

“Yosi mau gendong Binbin, boleh?” kata Yosi menawarkan. Tiap kali mau menggendong Bintang, Anne pasti melarangnya. Bima juga melarang Yosi menggendongnya, katanya Yosi belum bisa melakukannya.

“Jangan, ah, dilarang kakak-kakak kamu, juga.”

“Yah, ibu, mereka kan lagi pada keluar sekarang.” bujukan Yosi tidak menggetarkan Lusi. Lagi pula sekarang ia sedang menikmati menjadi seorang nenek yang menggendong cucunya, jadi Lusi memilih mengabaikan Yosi dan bermain dengan cucu pertamanya.

Hari sudah malam ketika Lusi duduk di sebelah Bima yang sibuk dengan laptopnya di ruang TV.

“Bim, kamu bisa ambil cuti hari jumat sampai ahad, minggu depan, gak?”

Bima mengalihkan atensinya pada ibu. “Bisa sih, kenapa emangnya, bu?”

“Villa yang kamu beli di Bogor dulu, ibu pengen liburan ke sana minggu depan.”

Bima memandang ibunya heran, jarang-jarang sekali ibu meminta liburan seperti ini. “Boleh sih, Bintang juga udah mulai bisa dibawa pergi kalau cuman ke Bogor. Tapi Anne sama Yosi gimana?”

“Ibu udah nanya ke mereka, kok. Yosi bisa, Anne sama Fauzi juga bisa.”

“Yaudah, nanti Bima urus, yah, bu.”

“Sekalian Bim, sebelum ke Bogor, mampir ke ayah kamu. Ibu kangen.”

Bima menatap ibunya tidak percaya, sejak ayahnya di penjara, tidak pernah sekalipun ibu meminta untuk bertemu ayah. Ini pertama kalinya ibu yang meminta duluan untuk ke makam ayah. Dan Bima tidak mungkin menolaknya.

 

Bima dan Fauzi mengeluarkan barang-barang dari bagasi sesampainya mereka di villa pagi buta ini. Ibu, Yosi dan Anne sengaja berangkat jam dua pagi, mengejar matahari terbit. Padahal Amilah sudah bilang berkali-kali kalau mereka bisa melihat matahari terbit esok harinya, tapi mereka terlalu keras kepala hingga keinginannya sulit ditolak. Fauzi sendiri sudah angkat tangan untuk membujuk Anne setelah mendengarnya bercerita tentang matahari terbit yang akan dilihat sesampainya di villa dengan terlalu semangat.

Alhasil, mau tidak mau Amilah harus membawa Bintang yang masih tidur, dan terkantuk-kantuk mengemasi perlengkapan mereka untuk di villa.

“Zi, pindahin koper yang merah sama tas itu ke kamar atas sebelah tangga yah, buat kamar ibu sama Yosi. Kamar kamu di sebelahnya.” pinta Bima sambil menunjuk koper dan tas yang dia maksud.

“Boleh yang di bawah aja, kak? Anne gampang capek akhir-akhir ini.” Fauzi ingat Anne yang sampai harus beristirahat di kamar di rumah sakit karena kelelahan. Kalau saja temannya, Larissa tidak menghubungi Fauzi, mungkin Anne akan semalaman berada di sana dan membuatnya khawatir.

“Yang di bawah buat kakak, takut Bintang coba jalan sendiri, makanya di bawah. Ada sih kamar di bawah tapi lebih kecil, gapapa?”

“Gapapa, kak.”

Setelah meletakkan barang-barang ke kamar ibu dan Yosi, lalu ke kamarnya, Anne memaksa Fauzi untuk melihat matahari terbit bersama. Sebelum sampai ke luar villa, dia bertemu dengan Bima yang kesulitan menggendong Bintang yang sedang menangis. Setelah menawarkan diri untuk menjaga Bintang, Bima langsung berjalan ke kamarnya sementara Fauzi keluar villa.

“Loh, Zi, Bintang kok sama kamu, Mas Bima-nya mana?”

“Kak Bima ke kamar tadi, mbak.”

“Haduh mas…” Amilah berlalu meninggalkan Fauzi dan Bintang, sementara dari kejauhan Anne memberi isyarat agar Fauzi mendekat ke arahnya.

“Bagus banget mataharinya! Wuhuuu…” teriakan Yosi menyisakan senyuman di wajah Fauzi. Memang, sunrise-nya tampak indah sekali dari villa ini.

Samar-samar, Fauzi mendengar suara ibu mertuanya berkata, “Akhirnya, matahari terbit menyapa keluarga kita yah, Mas Hendri.”

 

willyaaziza, Bogor 6 Oktober 2016, 10.38 p.m

[ZMardha]

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *