Loading

“YOSI…!”

Yosi langsung duduk saat mendengar suara teriakkan di telinganya yang kini berdenging nyeri. Dia mendelik pada kakak perempuannya yang tidak mau kalah, membalas melotot.

“Mandi sana, telat sekolah tuh!” kata Kak Anne lalu pergi dari kamar Yosi dan membanting pintu kamarnya keras. Dalam hati Yosi berdoa semoga ibu mendengarnya dan Kak Anne dimarahi.

Yosi duduk di kursi meja makan lalu melahap sarapannya setelah ditegur ibu karena bukannya cepat sarapan malah memelototi Kak Anne garang.

“Pasti ribut lagi deh, Anne sama Yosi.” mendengarnya Yosi buru-buru melirik ke arah kakak laki-lakinya yang berjalan santai dan duduk di sebelahnya. Mulut Yosi sudah bersiap mengeluarkan unek-uneknya, tapi batal karena rencananya ia akan mogok bicara sampai Kak Anne meminta maaf padanya. Gara-gara teriakan kakaknya itu, telinganya berdenging sampai ia selesai mandi, dan sekarang telinganya merasa kesakitan.

“Lagian dibangunin kebonya minta ampun,” Yosi memeletkan lidahnya geram pada Kak Anne lalu cium tangan pada ibu dan Kak Bima. Sebelum benar-benar pergi Yosi kembali memeletkan lidahnya pada Kak Anne yang dibalas teriakan kesal.

Setiap harinya Kak Anne pasti selalu saja mencari gara-gara dengan Yosi. Walaupun penyebab utamanya mungkin karena penyakit susah bangunnya, tetap saja teriak di telinga Yosi sampai berdenging itu keterlaluan. Pernah dia disiram air segayung oleh Kak Anne sampai membuat kasurnya basah. Ibu marah-marah pada Kak Anne… juga Yosi. Bukan hanya itu, Kak Anne selalu mengambil camilan-camilan yang dibelinya dari hasil menabung, dia juga sering mengambil susu pisang kesukaannya, tanpa izin! Yosi tidak pernah suka kalau harus berhadapan dengan Kak Anne.

Berbeda dengan kakak keduanya, Yosi sangat menyukai kakak pertamnya, Kak Bima. Kak Bima baik hati dan ramah, murah senyum pula. Kalau Yosi meminta sesuatu seringkali dituruti walau tidak semuanya. Walaupun begitu Kak Bima selalu mengingatkan untuk tidak bersikap manja hanya karena apa yang diminta diberikan. Yosi selalu menyukai Kak Bima.

Yosi turun dari angkot yang berhenti tepat di depan gerbang sekolahnya. Dia berjalan langsung menuju kelasnya, ketika sampai di sana bel masuk berbunyi. Setelah menyapa beberapa temannya dia duduk di dekat jendela bersama Rika, teman terdekatnya di sekolah.

“Pelajaran siapa deh, sekarang?”

“Inggris,” jawab Yosi sekenanya. Rika punya kebiasaan selalu bertanya pelajaran apa padahal dia sudah tahu karena gurunya sudah masuk kelas. Kadang itu bikin Yosi jengkel.

“Aduh, mampus, belom ngerjain peer gua!”

“Heh?! Peer apa?” Yosi teriak berbisik, wajahnya sudah pucat. Dia tidak tahu kalau ada PR Bahasa Inggris.

“Yang bikin cerita, gua belon ngasih judul, mampus.” Rika sibuk dengan bukunya sementara Yosi makin pucat ketika mendengar suara Bu Susi yang meminta mengumpulkan PR.

Haduh, alamat piket kelas sendiri ini mah, rutuk Yosi dalam hati.

Yosi duduk di kursi di depan kelasnya. Beban untuk belajar di sekolah udah bikin pundaknya berat, piket kelas sendiri sebagai hukuman karena ngga ngerjain PR bikin tambah berat. Yosi menghela napas pasrah. Ini juga kesalahannya sendiri karena tidak mengingat PR Bahasa Inggris dan malah sibuk dengan komik Narutonya. Mau bagaimana lagi, semalam dia begadang buat baca 10 komik Naruto yang dipinjam dari temannya.

“Ah, lu mah, piket mulu tiap hari keknya,” ucapan Rika benar-benar memicu asap di kepala Yosi. “Lagian peer dilupain cuman gara-gara komik.” Yosi yang hampir meledak kembali adem mendengar kata-kata Rika barusan. Memang benar, komik itu gak seberapa sama hukuman piket kelas sendiri. Baca komik kan bisa dinanti-nanti.

“Tauklah, bete gua.” Yosi menaikkan kakinya dan memeluk lututnya. Dirasakan telinga kirinya sudah tidak sakit lagi. “Kak Anne rusuh si, ah. Telinga gua berdenging gegara dia.”

“Anak mamih lu, yah. Itu sih mending, adek gua bisa lebih parah kali.”

Yosi melirik ke arah Rika yang dengan santai memakan roti cokelat yang belepotan di bibirnya. Rika memiliki empat orang adik, tiga SD dan satu masih beberapa bulan. Di rumahnya pasti berisik sekali.

Ah, tiba-tiba Yosi jadi teringat ayah. Waktu masih ada ayah dulu, suasana di rumah juga selalu berisik apalagi setiap hari Sabtu dan Minggu. Kalau Yosi dan Kak Anne berantem, ayah juga selalu melerai dan dengan bijak menasehati mereka berdua tanpa memihak siapapun. Jadi kangen ayah, kan.

“Oh, gua punya ide!” Rika menatap heran temannya yang sudah berdiri sambil mengacungkan telunjuknya tinggi. Rika menggelengkan kepalanya, menyerah dengan tingkah Yosi yang seperti menggila. Bayangkan betapa malunya ia karena sekarang Yosi tertawa seperti nenek sihir sementara di kantin dia jadi tontonan.

“Kak Bimaku tersayang!” suara teriakan Yosi menggema di rumah. Kak Anne yang sedang menonton TV melemparinya dengan kacang. “Apa sih, Kak Anne, aku nyari Kak Bima juga!”

“Bimanya pergi. Kerja dia, yakali tiap hari di rumah.”

“Ibu mana, ibu?” Kak Anne menatap Yosi aneh. Kalau Yosi mencari Bima dan ibu itu artinya dia ada maunya. “Biasa aja kali, ngeliatnya, elah. Ibu dimana Kak Anne nyebelin?!”

“Ke rumah Tante Kena.” mendengar jawaban Kak Anne, wajah Yosi berenggut kecewa. “Ngapain cari-cari ibu sama Bima?”

Yosi melirik ke arah Kak Anne kesal tapi lama-kelamaan matanya mulai berair lalu tiba-tiba ia berlari ke arah Kak Anne dan memeluknya erat sambil menangis sesenggukan. “Ketemu ayah yuk, kak… Yosi kangen nih.”

Walaupun Yosi dan Anne sering bertengkar, tapi Anne tetaplah kakak Yosi. Ada saja saat-saat Yosi bisa jadi adik yang manis dan ada saja saat Anne bisa jadi kakak yang diandalkan oleh Yosi. Sama seperti sekarang, ketika ibu dan Kak Bima tidak ada di dekatnya sementara Kak Anne di depannya, Yosi tidak bisa keras kepala untuk terus bersikap tidak suka pada Kak Anne. Dan meski Kak Anne tidak seberpengalaman Kak Bima dalam menjadi kakak yang baik, tapi tepukan Kak Anne di pundak Yosi cukup membuatnya tenang dan perlahan ia berhenti menangis.

“Iya, nanti ketemu ayahnya, bareng Kak Bima sama ibu.”

“Enggak bisa sekarang aja, apa?” Yosi merajuk, masih dalam pelukan Kak Anne.

Mode kakak baik hati Kak Anne hanya sebentar, karena setelah bertanya begitu Yosi langsung kena jewer kakaknya yang bilang, “Ngga! Nanti Bima ngamuk karena pergi ke sana ngga sama dia dan ibu.”

“Aw, sakit! Ngga usah jewer juga kali Kak Anne jelek!” teriak Yosi lalu berlari ke kamarnya.

 

Malam itu, Bima mengalihkan matanya sebentar dari laptop saat mendengar ketukan di pintu kamarnya. Tanpa diberi aba-aba pintu terbuka dan Anne menampakkan wajah datarnya.

“Ngepain?” tanyanya basa-basi.

“Langsung aja, gua masih ada kerjaan nih.”

Memang benar, pekerjaannya menumpuk di kantor. Kalau tidak dibawa pulang dia harus lembur semalaman di sana. Dari pada lembur di kantornya, Bima lebih memilih lembur di rumahnya. Dia selalu khawatir kalau sehari saja tidak ada di rumah, masalahnya semua orang di sana perempuan, dan hanya ia laki-laki yang dapat mereka andalkan.

“Yosi tuh, dia pengen ketemu ayah katanya.”

Mendengar itu mau tidak mau Bima memutar tubuhnya dan melihat ke arah Anne yang sibuk memakan kacang di tangannya.

“Yosi gak pernah bilang ke gua, ah.”

“Lah, emang kakaknya dia cuman elu?” dalam hati Bima merutuki kebodohannya. “Tadi abis pulang sekolah dia nyariin lu sama ibu, tapi kalian ngga ada. Terus tiba-tiba dia nangis, katanya pengen ketemu ayah.”

Anne diam, menunggu reaksi Bima, tapi setelah beberapa detik berlalu tidak ada respon dari laki-laki itu. “Pokoknya kalo udah dijadwal bilang-bilang yah. Banyak praktek nih, bulan ini.” Anne kemudian pergi meninggalkan Bima dengan pikirannya.

Bertemu ayah memang bukan suatu perkara yang sulit, tapi tetap saja kalau Yosi yang mengatakannya Bima tidak bisa menolak. Apalagi setelah beberapa bulan, baru kali ini Yosi meminta bertemu ayah lagi.

Bima memijat dahinya pelan, rasanya sakit kepalanya bertambah gara-gara perkataan Anne yang tiba-tiba itu. Anne mau-mau saja kalau bertemu ayah, Bima juga sebenarnya tidak keberatan, yang sulit adalah meminta izin ibu sekaligus mengajaknya bertemu ayah. Dalam hati, Bima berdoa semoga tidak ada kejadian lain yang membuat kepalanya makin sakit.

Pagi harinya, Bima membantu ibu membereskan meja makan. Anne ada kuliah pagi sementara Yosi sudah pergi setelah merengek meminta uang saku padanya. Dia sendiri akan berangkat ke kantor sehabis sholat Jumat.

“Tante Kena kemaren gimana, Bu?” Bima memulai percakapan dengan ibunya yang sedang mencuci piring. Memang, kemarin ibunya pergi mengunjungi Tante Kena, adiknya ibu yang sakit di Bogor.

“Baik sih, alhamdulillah. Dianya aja yang ngga hati-hati sampe bisa kepeleset di kamar mandi gitu.”

“Katanya sampe demam?” tanya lagi Bima, memastikan. Sejak maraknya kematian karena jatuh di kamar mandi, Bima selalu was-was dengan kamar mandi.

“Ngga, udah diperiksa ke dokter, katanya baik-baik aja. Insyaallah tiga empat hari lagi juga sembuh.” Bima bernapas lega mendengarnya. “Bim, tolong taroin piringnya ke rak, nih.”

Bima meletakkan piring-piring, gelas, sendok dan mangkuk ke tempatnya. Lewat sudut matanya dia melihat ibu sambil menyusun kata-kata di kepalanya dengan sangat berhati-hati.

“Bu,”

“Apa?”

Bima menarik napas panjang, setelah mengucap basmalah salam hati ia kemudian bicara, “Ibu hari Minggu kosong, ga?”

“Minggu? Kenapa emang?” ibu melirik Bima sekilas, membuatnya salah tingkah. “Kebiasaan kamu, Bim, kalo mau ngomong sesuatu yah, langsung aja. Selalu bilang ke orang to the point tapi sendirinya ngga to the point, kan lucu.”

Bima diam, bingung harus membalas apa ucapan ibu. “Ibu Minggu kosong, kok. Kenapa emang?”

Bima menahan napas saat mengatakan, “Ketemu ayah, boleh?”

Hening cukup lama sampai akhirnya ibu membuang napas berat. Cucian piring di tangannya ia letakkan kembali ke wastafel, keran air ia matikan, lalu ia duduk di kursi meja makan setelah menuang air putih untuknya. Bima duduk di depan ibu, tidak mau lari dari obrolan yang memang sengaja dimulainya.

“Yosi pengen ketemu ayah, katanya.” kata Bima setelah mengumpulkan keberanian, untuk kesekian kalinya.

Bima menatap ibu yang diam memandangi gelasnya yang masih penuh dengan air. Ibu beberapa kali memutar-mutar gelas, tapi tidak mengalihkan pandangannya dari sana. Ia juga belum mau membuka mulut hingga beberapa menit ke depan.

Barulah setelah Bima batuk kecil, mengingatkan ibu kalau ia menunggu jawabannya, ibu angkat suara.

“Kapan terakhir kali kita jenguk dia?”

Hati Bima menciut ketika ibu yang dikenalnya lembut, ramah tapi juga tegas memanggil suaminya dengan kata ‘dia’. “Hampir satu tahun yang lalu.” suara Bima menyerupai bisikan saat itu, tapi dia tetap memberanikan diri untuk menatap ibu.

“Anne gimana?” tanya ibu.

“Kayak biasa.” Bima menunggu jawaban ibu. Jujur saja, dia berharap ibu mengizinkan karena sebenarnya dia juga merindukan ayahnya.

“Hari Minggu, kan? Sebentar aja, yah?”

“Iya!” Bima mengangguk seperti anak kecil ketika ibu mengatakannya. Dia terlalu senang ketika mendengarnya. Akhirnya, setelah hampir setahun lamanya ia dapat kembali bertemu dengan orang yang dirindukannya. Dapat kembali melihat wajah ayahnya.

 

Anne baru saja membuka kerudungnya ketika pintu kamarnya diketuk. Dia mempersilahkan orang yang mengetuk untuk masuk, dan seperti dugaannya, Bima muncul dari balik pintu. Melihat senyuman dipasang wajah Bima, sepertinya Anne tahu apa yang akan dikatakan kakaknya itu padanya. Mengetahui itu, Anne sangat senang.

“Ibu ngizinin.”

Hanya satu kalimat itu cukup membuat Anne melompat kegirangan dan memeluk Bima berterimakasih. Karena sama seperti Bima, sejujurnya Anne sangat merindukan ayahnya.

Pagi itu Anne berjalan cepat menuju ke kantin di kampusnya. Ia sangat terburu-buru. Pagi ini dia punya jadwal diskusi tugas untuk salah satu mata kuliah di kantin bersama beberapa temannya. Anne menargetkan diskusi selesai dalam dua jam, karena setelahnya ada acara yang harus dihadirinya meski perlu mengorbankan jadwal lainnya di hari Minggu ini.

Anne duduk di dekat Larissa, sementara di depannya ada Yogi dan beberapa temannya. Sejak mulainya diskusi Anne hampir setiap waktu melirik jam tangannya dan memeriksa hapenya, berharap waktu segera berlalu dan pesan Bima masuk ke hapenya.

Setelah dua jam yang sangat lama berlalu, hape Anne bergetar dan nama Bima tertera sebagai caller di layar hapenya.

“Halo, Bim, lu dimana? Gua bentar lagi keluar kampus nih.” Kata Anne tanpa berbasa-basi. Ia berpamitan dengan teman-temannya lewat gerak tubuh dan kembali bergegas melewati lorong-lorong gedung menuju pintu keluar. Langkahnya makin cepat saat tau ternyata Bima sudah menunggu di depan kampusnya.

Mobil sedan hitam milik Bima terlihat tenggelam diantara mobil-mobil lainnya. Anne langsung masuk ke mobil, duduk di samping Yosi yang asyik bercerita dengan Bima. Anne mencium tangan ibu dan mobil pun berjalan.

Yosi tampak sangat bersemangat karena akan bertemu ayah. Dan Bima, meski wajah ramahnya tampak sama dengan hari biasa tapi Anne yakin dia senang sekali karena sebentar lagi akan bertemu ayah. Anne sendiri, meski tidak secerewet Yosi yang mengumbar-umbar kegembiraannya, dia sangat senang karena setelah hampir satu tahun lamanya akan bertemu ayah kembali. Dia sangat merindukan sosok yang disayanginya itu. Sementara itu, wajah ibu yang datar, terlihat dari kaca spion mobil, membuat hati Anne cemas juga. Dia takut kalau-kalau ibu membatalkan izinnya dan mereka batal bertemu ayah seperti tiga bulan yang lalu.

Anne duduk bersama Yosi dan ibu di kursi tunggu sementara Bima sedang mengurus perizinan. Tidak lama Bima kembali bersama seorang sipir, menuntun mereka menuju tempat yang telah ditentunkan. Mereka masuk ke sebuah ruangan kosong lalu duduk bersama di sana. Anne sesekali melirik ke arah pintu, berharap segera terbuka dan menampilkan wajah yang dirindukannya.

Waktu terus berlalu tapi pintu belum juga terbuka, membuat Anne cemas. Bima yang juga merasa curiga berinisiatif untuk bertanya dan keluar ruangan. Yosi duduk bersama ibu, masih sibuk menceritakan kisahnya yang mungkin akan ia ulang ketika bertemu ayah nanti.

Sudah cukup lama berlalu sejak Bima keluar tapi tak ada tanda-tanda ia akan kembali. Bingung dengan kondisi, Anne hampir saja memutuskan untuk keluar ruangan tapi terhenti ketika Bima kembali dengan wajah berderai air mata.

Kemudian waktu seolah terhenti ketika ia mengatakannya, “Ayah… udah gak ada.”

 

Lusi duduk menangis di depan gundukan tanah basah dengan nisan suaminya terukir di sana. Dia dapat mendengar teriakkan histeris Yosi yang memanggil-manggil ayahnya, tangisan tertahan Anne yang memeluk Yosi. Dia juga merasakan elusan tangan Bima yang bergetar di pundaknya. Dia tidak menyangka ini akan terjadi. Dan dia lebih tidak menyangka ini sangat sakit rasanya. Kehilangan orang yang dicinta.

Hari ini rencananya ia dan anak-anaknya akan bertemu dengan suaminya, yang sudah sejak dua tahun lalu mendekam di penjara karena kesalahan yang dibuatnya sendiri. Tapi dia tidak pernah menyangka kalau itu akan menjadi terakhir kalinya ia bertemu dengan suaminya.

Sama seperti anak-anaknya, Lusi juga merindukan sosok itu. Tapi dia tidak pernah berani untuk menjumpainya karena amarah yang terus menggelora. Amarah karena kecewa atas apa yang diperbuat suaminya.

Dua tahun yang lalu, suaminya, Hendri, dipenjara karena kasus pencucian uang yang jumlahnya tak terkira. Alasannya pun tidak sebijak sikapnya sehari-hari. Untuk biaya operasi Yosi dan ginjalnya. Meskipun dengan alasan itu, Lusi tidak mau menggunakan uang haram dan membuat hidup Yosi dibayangi uang itu. Dan terbukti, meski tanpa uang hasil korupsi, Yosi bisa sembuh atas kerja keras Bima dan Lusi.

Dalam dua tahun kondisi Yosi kian membaik, tapi Lusi jarang memberi izin anak-anaknya termasuk dirinya sendiri untuk bertemu dengan Hendri. Terhitung lima kali mereka bertemu dalam dua tahun.

Dan hari ini, untuk terakhir kalinya Lusi melihat wajah Hendri, begitupun anak-anaknya. Sekarang, yang perlu dilakukannya hanya memaafkan perbuatan Hendri dan melupakan masa lalu. Ia masih punya tanggungan untuk masa depan anak-anaknya kelak.

Lusi bisa mendengar tangis senggukan Yosi, sementara Anne sudah mulai tenang walau masih sesenggukan. Dan anak tertuanya masih melingkari tangannya di pundak Lusi tanpa bergetar lagi.

Lusi menggenggam tangan Bima, seolah meminta kekuatan darinya. “Bima, bantu ibu, yah, jaga adik-adik kamu?”

Bima langsung mencium tangan Lusi, dirasakannya air mata keluar dari anak tertuanya. “Iya, Bu, iya. Pasti, Bu.”

 

willyaaziza, 29 September 2016 4.22 pm

[ZMardha]

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *