Sebagian orang memang menjadikan tangga popularitas sebagai pijakan pertama untuk meraih tujuan seperti kekayaan dan kekuasaan. Lho emang bisa? Ya bisa. Pernah nggak, kalian ngebayangin orang yang tenar misalnya seperti Lionel Messi, pemain sepak bola di klub Barcelona yang dibayar minimal 4 Miliar rupiah per pekannya. Wih, ini minimal loh! Belum maksimalnya. Memang harga yang nggak murah. Satu bulan aja bisa dapet 16 M. Apalagi kalau setahun.Wow… hitung sendiri aja ya. Nah, ini namanya tangga popularitas untuk meraih kekayaan.
Sedangkan tangga popularitas untuk meraih kekuasaan contohnya bisa kita lihat pada pertarungan antara Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta. Capres dan cawapres 2014 di negara ini. Ada yang tahu kenapa sih mereka ngebet banget pengen dapet kursi di RI-1? Kayaknya semua orang tahu deh kalau kekuasaan itu memang menyenangkan. Udah pasti mereka itu pengen dapet kekuasaan. Istilahnya, siapa yang dapet suara terbanyak, dia pemenangnya. Nah, kalau udah dapet itu kekuasaan, kekayaan pun bakalan nyusul. Nggak bakal susah buat ngedapetinnya.
Coba lihat, para penguasa/pemimpin di negara kita. Rumahnya udah besar, mewah, punya belasan mobil, pake gadget canggih, ada juga yang punya hotel dan tempat perbelanjaan, bahkan walaupun tuh penguasa ada yang mendekam di jeruji besi tapi gayanya tetap modis, stylist malahan ruang tahanannya udah kayak hotel aja. Beda banget sama tahanan pada umumnya.
Terus gimana sama artis ya? Secara artis itu kan terkenal, dipuji banyak orang, banyak penggemarnya dan selalu menjadi sorotan publik. Ternyata sama aja loh. Artis yang sering banget nongol di tv tentu lebih banyak pula pendapatannya dibanding artis yang cuma sesekali nongol di tv. Malahan ada loh yang sehari aja dapet 300 juta. Dari hasil manggung di 3 stasiun televisi cuma sehari doang. Wuih… apa nggak capek ya? Pasti capek lah. Malahan bisa sampai sakit kalau pola makan sama waktu buat istirahat tertunda atau malah tersita. Bisa gawat kan? Bisa-bisa uang yang didapat bisa abis buat biaya berobat. Banyak artis yang bisa mengatasi hal ini. Tapi nggak sedikit juga yang nggak kuat.
Sama halnya dengan para penceramah, ustadz-ustadz yang ada di tv. Ustadz Seleb. Konon bayarannya per jam bisa tembus di angka Rp 17 juta atau bahkan lebih? Wow… mahal banget ya! Kok bisa sih? Yaiyalah tahu nggak sekarang itu kan ceramah udah menjadi bagian dari bisnis dan hiburan. Kalau dihubungin sama ketenaran si penceramahnya. Secara si penceramah namanya dibesarkan lewat tv. Parahnya, sekarang ini justru beberapa ustadz udah punya tarif sendiri. Misalnya ngisi ceramah di acara ini,tarifnya segini ditambah harus dijemput. Padahal yang disampaikan cuma seputar ibadah yang biasa dilakukan. Ada yang pake dalil, lengkap. Ada pula yang nggak pake. So, sama aja ini mah menjual ayat-ayat Allah. Padahal cuma buat dapet duit doang. Dapet kekayaan. Duit yang banyak!
Kenyataan ini makin parah dengan anggapan masyarakat sekarang yang nganggep kalau populer itu ya suatu kebanggaan dan harus dibanggain. Misalnya, mau ngadain acara pengajian yang ditunjuk ceramahnya itu adalah ustadz yang terkenal. Misalnya Ustadz Seleb. Sampai nggak mikirin berapa bayaran yang harus dikeluarkan kalau ngundang itu ustadz. Sederhananya gini, berapa pun biayanya yang penting ustadznya yang terkenal.
Nah, itu tadi adalah contoh-contoh yang nunjukin kalau popularitas itu bisa menjadi sarana untuk mendapat kekayaan dan kekuasaan. Sayangnya, menjadi populer itu sebenernya nggak bagus juga. Apalagi kayak tadi, CUMA BUAT DAPET KEKAYAAN DAN KEKUASAAN. Menjadi populer juga ada bahayanya loh. Bisa membuat kita sombong dan riya (pengen dilihat orang).
Basyr bin al-Harits al-Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang. Beliau juga berkata, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah orang yang ingin tenar.”
Ibrahim bin Adham mengatakan, “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.”
Gimana, masih mau menjadi tenar bin populer bin famous?
#Gaulislam edisi 350/Tahun VII (9 Ramadhan 1435 H/ 7 Juli 2014)
[Siti Muhaira, santriwati kelas 3 jenjang SMA, Pesantren Media]