Loading

https://www.youtube.com/watch?v=ijrIQlDwoCA

Teru Teru Bozu

Namaku Naomi. Kami memang baru menikah dengan keadaan rumah tangga yang masih ramun juga kondisi ekonomi yang tidak begitu baik. Wajarlah, jarwo hanya seorang pawang hujan sementara aku membuka tempat jahit dirumah. Hari hari kami dihiasi oleh kesederhanaan, penuh dengan senyuman dan intimnya bahasa-bahasa non verbal yang indah.

Suara daun tertiup angin serta burung-burung berkicau yang indah menghiasi pagi hari yang cerah di desa yang kutempati sekarang ini. Saatnya aku menyiram tanaman hias di depan rumah kami yang sangat sederhana. Jarwo, suamiku terlihat sedang menggantungkan sarang burung di langit-langit teras rumah kami. Dia terlihat asik bersiul bersama burung peliharaannya.

Jarwo lebih tertarik untuk menghitung volume batu dengan rumus matematikanya. Seperti hobi filateli yang lain. Baginya filusuf tentang hidup tidak lepas dari ilmu matematika dan ajaran kejawen. Jarwo terlihat sangat serius dalam mengukur volume batu koleksinya.

“Braakkk…!” suara benda yang jatuh berantakan dari arah dapur terdengar jelas di telinga Jarwo. Tetapi Jarwo tidak menghiraukannya dan menganggap itu hal kecil yang dapat diselesaikan oleh ku. Dengan wajah yang sedikit muram, aku mencoba melihat betapa seriusnya suami ku mengukur volume batu miliknya tanpa menghiraukan apa yang terjadi di dalam dapur tadi.

Menikahi pria asing adalah sebuah aib bagi wanita Jepang. Apalagi dengan kondisi Jarwo yang seperti sekarang. Tidak… aku tidak pernah mengeluh. Tatapan hangat suamiku mampu melunturkan segala bentuk masalah yang ada di dunia.

Dia mendatangiku di ruangan tempat aku bekerja sebagai tukang jahit. Dia menyentuh dan melilitkan beberapa helai rambutku ke jari-jarinya.

“Ada apa?” tanyanya dengan lebut.

“Masalah itu lagi?” kali ini dia bertanya dengan sedikit serius.

“Aku tidak pernah menganggap ini sebuah masalah. Dan aku tidak pernah menuntut.” Jawabku dengan nada yang sedikit lebih tinggi daripada suamiku.

“Bukannya aku tidak mau mengalah. Tapi kamu mengerti kan. Aku tahu kamu tidak pernah merasa puas.” Bantah suamiku atas pernyataanku tadi.

“Ini bukan soal puas atau tidak. Ini soal rasa nyaman.” Jawabku sekali lagi.

Burung-burung masih berkicau dan angin masih bertiup diantara dahan-dahan pohon yang menghasilkan suara gemercik daun yang ditiup angin. Seseorang datang menggunakan sepeda ontel. Sepertinya dia ingin menemui suamiku.

 

“Permisi” kata orang yang menaiki sepeda ontel tadi.

“Silahkan” Jawab suamiku.

Suamiku mempersilahkan pria tadi masuk dan duduk di ruang tamu. Dan mereka memulai sebuah pembicaraan.

“Begini mas, saya Broto. Saya akan mengadakan acara” Kata si pria tadi.

“Terus?” jawab suamiku dengan santainya.

“Kata orang-orang, Anda bisa memindahkan hujan.” Kata si pria tadi.

“Ya, benar.” Jawab suamiku.

“Kira-kira minggu ini Anda ada acara, tidak?” tanya si pria yang terlihat seperti sudah berkepala 4 tadi.

“Hari apa.” tanya suamiku sekali lagi.

“Kalau hari selasa pahing?” kata pria tadi.

“Selasa pahing?” Tanya suamiku untuk memastikan kata-kata si pria tadi.

“Ya” kata si pria tua itu.

“Ya, bisa” jawab suamiku.

“Ya, bagus kalau begitu. Ini ada rokok sama ada sedikit rejeki untuk ganti bahan.” Basa basi si pria tadi.

“Sudah, tidak usah” suamiku menolak dengan lembut.

“Saya ikhlas mas, silahkan” si pria tadi berusaha agar suamiku menerima rejeki dari dia.

“Yasudah, ini nanti saja kalau sudah berhasil.” Suamiku menerima rokoknya tapi tidak dengan uangnya.

“Kalau ini buat temen ngopi” Kata suamiku.

“Yasudah kalau begitu. Saya pamit dulu mau meneruskan undangan ke desa sebelah.” Kata si pria tadi sambil permisi meninggalkan rumah kami.

 

Setelah pria tadi keluar dari rumah kami, suamiku langsung melanjutkan kegiatannya, mengukur volume batu. Tiba-tiba terdengar dari luar, ada dua wanita sedang menuju rumah kami. Kami mendengar suara mereka yang begitu nyaring ketika mengobrol. Suamiku yang mendengarnya langsung menghentikan kegiatannya. Suamiku pergi ke teras untuk menemui wanita yang memakai topi dan berjaket. Sedangkan aku menyambut dan menyuruh masuk wanita yang satunya lagi. Terlihat si wanita tomboy itu sibuk menelepon. Suamiku menyalam tangan si tomboy itu.

“Gimana kabarmu?” kata wanita tomboy itu.

“Baik.” Jawab suamiku.

“Sudah lama aku tidak kesini. Kamu masih senang mindah hujan?” tanya si wanita tomboy itu.

Suamiku mengangguk menandakan kalau si wanita toboy itu benar.

“Kamu itu dikasih otak pintar, kenapa masih kerja kayak gitu? Kalo kerja yang enak sedikit. Jadi guru les, atau mengajar di SD. Gajinya terjamin. Kamu gak usah mikir, nunggu orang kasih kerjaan mindah hujan. Atau kamu menjadi PNS saja. Kayak pacarku itu? Kalau masalah uang itu gampang. Kakakmu ini punya banyak. Paling setahun udah balik modal. Daripada bengong nunggu orang kasih sesaji kayak setan. Lama lama kok kamu kayak dukun.” Kata kakak suamiku yang bergaya tomboy itu.

Sementara si wanita tomboy itu menasehati suamiku, aku mengukur pakaian dari wanita yang satunya lagi yang ternyata adalah pacarnya kakak suamiku. Ya, mereka adalah lesbian.

Aku selalu mengerti tatapan kosong itu. Apalagi saat Maryati komat kamit membicarakan rumah tanggaku dengan Jarwo. Jelas dia sangat tidak suka. Aku tahu, pasti dia berkata di dalam hati “hei, lihat dirimu gendut, doktrinmu murahan”.

Beberapa waktu kemudian, seorang pria berpakaian rapi dan berparas Jepang datang dengan sebuah mobil. Hatashi Hakeda namanya. Dia adalah satu-satunya saudaraku disini. Sejak Green Peace Jepang mendelegasikan kami ke sini, pada awalnya kami hanya sukarelawan bencana alam. Tapi akhirnya kami menetap disini.

Aku mempersilahkannya masuk. Dia mengajakku untuk kembali ke kampung halaman. Tapi aku tetap teguh pada pendirianku kalau aku tidak mau pergi ke kampung halamanku di Jepang dengan alasan aku tidak ingin meninggalkan suamiku. Dan Hakeda memaklumi alasanku. Dan dia menyuruhku untuk menelpon dia bila aku berubah pikiran. Dan akhirnya Hakeda pamit pulang.

Sementara kami berdua bicara, ternyata suamiku melihat dan mendengar pembicaraan kami tadi. Suami ku nampak marah. Tidak seperti kebanyakan orang, bila suamiku marah, dia mengekspresikannya dengan menari dengan gerakan-gerakan aneh. Aku sedih ketika melihat suamiku menari karena marah.

Kini aku juga merasa sedih bercampur marah. Dan aku juga mengekspresikannya dengan tarian aneh. Ku hiasi lantai rumah kami dengan menebarkan kertas origami yang sudah dibentuk menjadi bentuk burung. Suamiku datang dan melihat semua gerakan anehku. Awalnya Cuma aku yang menari. Tapi akhirnya kami berdua membuat menari bersama dan membuat kolaborasi tarian dengan gerakan aneh. Disaat itu aku merakasan cinta suamiku. Aku sedikit dimanjakan ketika tarian itu berakhir.

Keesokan harinya dia berangkat kerja sebagai pawang hujan lagi. Sebelum dia berangkat, dia mencium keningku dan tersenyum kepadaku. Aku tahu, dia adalah teru teru bozu ku yang dapat melindungiku.

Beberapa waktu kemudian, ada sebuah motor parkir di depan rumahku. Si pengendara itu menghampiriku dan memberikan aku sebuah kertas yang digulung dan diikat dengan pita berwarna biru yang bertulisakan “Untuk cintaku Naomi-Jarwo”. Dan di atas jok motor sudah tersedia sebuah closet duduk baru yang aku inginkan selama ini. Karena rasa ingin nyaman ketika membuang kotoran dalam perutku, aku meminta suamiku membelikan sebuah closet baru. Dan kini sebuah closet baru sudah berada dihadapanku. Dan aku merasa sangat bahagia sekarang.

By Rizki Yannur Tanjung

Santri asal Medan, angkatan ke-3 jenjang SMA, kelas 2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *