Namaku Daus, umurku 79 tahun. Aku berasal dari bogor. Orang biasa memanggilku Abah Daus. Rumahku di dekat Komplek Laladon Permai. Seperti biasa, pagi-pagi sekali sekitar pukul 06.00 WIB ku kayuh becakku, menuju tempat yang ku anggap sebagai tempat strategis untuk mendapatkan uang. Di depan jalan seruni. Ya… disanalah tempatnya. Tapi kadang-kadang aku nongkrong, di depan puskesmas Laladon. Aku menarik becak sejak jamannya presiden soeharto sekitar tahun 60-an. Tadinya aku menarik becak di Jakarta, aku pindah ke Bogor karena di Jakarta, becak sudah tidak diperbolehkan beroperasi.
Dalam usia rentaku ini, sebenarnya ada keinginanku untuk berhenti menarik becak. Tapi ketika aku melihat becakku, rasanya tak tega jika becakku aku simpan. Karena suka duka sudah banyak aku jalani bersama becakku itu. mulai dari banyak penumpang sampai sama sekali nggak ada penumpang satupun.
Ya, mungkin karena udah tua itu, tenagaku sudak tak sekuat dulu. Bila dulu aku bisa sehari mendapatkan 50.000 tapi sekarang bisa 20 atau 25-an. Menurutku tidak apa-apa, asalkan bisa buat makan dan merokok. Karena buatku itu sudah cukup.
Aku nggak pernah berputus asa, disetiap sujudku… ku selalu meminta kepada yang Maha Kuasa agar aku selalu diberikan ketabahan dalam menjalani hidup, tetap tawadhu dan dicukupkan dalam hal kebutuhan sehari-hari.
Pak sahir adalah teman setiaku menarik becak, nasibnya sama denganku. Awalnya dia juga menarik becak di kota Jakarta, tapi karena kataku tadi, becak sudah tidak diperbolehkan lagi beroperasi. Maka kami pindah ke bogor. Rumahnya di sebrang komplek laladon permai. Usianya lebih muda 11 tahun dari aku. Dia berasal dari tegal, jawa tengah.
Sekarang mungkin sampai akhirnya tenaga kami sudah tidak ada lagi, kami akan terus mengkayuh becak itu. karena becak itu adalah yang menghidupi keluarga kami. [Ilham Raudhatul Jannah, Santri Pesantren Media]
Catatan: Tugas Reportase di Kelas Menulis Kreatif Pesantren Media