Mungkin kita masih ingat dengan pepatah, “Siapa menabur angin, ia akan menuai badai”. Siapa saja yang menaburkan benih-benih permusuhan, maka ia akan menuai bencana. Begitu pun, siapa saja yang menaburkan cinta dan kasih sayang, sangat boleh jadi akan menuai bahagia. Nggak bisa dirasakan sekarang, siapa tahu di masa depan akan menikmatinya. Bahkan mungkin ketika kita mulai lupa dengan apa yang telah kita lakukan di masa lalu.
Sobat muda muslim, suatu pagi saya mengobrol dengan seorang tetangga depan rumah. Namanya Pak Wahyu. Punya empat anak dan satu cucu. Rambutnya pun sudah dipenuhi uban. Di tengah obrolan ringan pagi itu, beliau menyampaikan tentang peristiwa unik yang dialami kakeknya.
Sang kakek sendiri hidup di sebuah desa di kawasan Bandung. Pekerjaannya sebagai buruh tani. Ia mencangkul sawah milik orang lain dan juga membajaknya menggunakan kerbau. Disiapkan sedemikian rupa agar lahan sawah itu siap ditanami padi.
Dinikmatinya pekerjaan itu dengan tanpa beban. Saat istirahat melepas lelah, sang kakek membiarkan anak-anak kecil bermain dengan kerbau-kerbau yang biasa digunakannya untuk membajak sawah. Maklum anak-anak paling senang dengan mainan seperti itu. Hiburan yang tentunya bisa dinikmati secara gratis. Selain itu, sering juga mengajak makan anak-anak. Rame-rame di sawah.
Nah, ada satu anak yang selalu menemani pekerjaannya. Hampir setiap hari si anak itu naik kerbau dan ikut nangkring di atas alat pembajak yang bagian bawahnya terbuat dari baja untuk menggaruk tanah sawah. Di bagian atas alat itulah si anak suka nangkring. Kelihatannya menikmati sekali.
Singkat cerita, sekitar dua puluhan tahun kemudian, ada kabar bahwa ia diminta datang oleh seseorang ke kota. Lengkap dengan alamat yang diberikan oleh seseorang itu. Setelah bertemu dan bercerita, rupanya si anak yang sering nangkring di kerbau dan alat pembajak itu sudah menjadi orang yang sukses. Waktu itu ia menjadi pilot di sebuah perusahaan asing.
Pak Wahyu, tetangga saya itu, lalu menceritakan bahwa sang kakek diminta mengutarakan keinginannya oleh anak itu. Lalu, sang kakek menjawab, “Keinginan saya dari dulu sih, ingin kesampaian naik haji,” jelas kakeknya polos.
Tanpa diduga, keinginan itu dipenuhi oleh si anak yang suka makan bersama dengannya di sawah dan sering nangkring di alat pembajak itu semasa kecilnya dulu. Akhirnya sang kakek menunaikan ibadah haji dengan dana sepenuhnya dari si anak yang sudah jadi pilot itu. Alhamdulillah.
Wah, seperti di negeri dongeng ya? Tapi, ternyata ini benar-benar kisah nyata. Bayangkan, hanya memberikan ‘sedikit’ cinta untuk membiarkan anak itu bermain menikmati kesukaannya, di kemudian hari menuai bahagia yang tak disangka-sangka. Bahkan mimpi pun mungkin tidak. Ini sekadar kisah kecil.
Sobat muda muslim, dalam kehidupan kita saat ini pun hal seperti itu bisa juga terjadi. Hal yang paling mudah yang bisa kita lakukan tentunya memberikan cinta kita kepada teman dan keluarga kita. Cinta kita kepada sahabat dan keluarga bisa diwujudkan dalam bentuk yang sangat luas. Mulai dari sekadar perhatian, kepedulian, tanggung jawab, bahkan memberikan materi. Meski kecil, seringkali dianggap sebagai sebuah hadiah tanda cinta yang sangat besar.
Kita akan mengingat apa yang telah orang lain lakukan kepada kita. Kita akan mencatat kebaikan-kebaikannya selama ini kepada kita. Cinta yang diberikannya suatu saat akan menuai bahagia buat dirinya. Saya sendiri merasa berhutang budi kepada seorang kenalan yang telah mendukung saya untuk melanjutkan studi. Bukan cuma dukungan secara lisan, tapi agar saya tergerak untuk merealisasikan niat saya itu, ia memberikan sejumlah uang untuk biaya kuliah di awal tahun. Subhanallah, sampe sekarang insya Allah saya selalu mengingatnya dan berdoa untuk kebaikan dan cintanya kepada saya. Ia pernah bilang, “Membantu orang untuk kebaikannya, sudah cukup bahagia bagi saya.”
Ya, memang ada nilai yang tak bisa digantikan oleh materi, yakni perasaan bahwa kita bisa menolong orang lain meraih kebahagiaannya. Dengan cinta kita. Dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Dan… itu pun akan membuat kita bahagia. Bisa saat ini, entah merasakannya pada suatu saat dimana kita bahkan sudah hampir lupa dengan apa yang telah kita berikan kepada seseorang dengan taburan cinta kita. Kita akan menuai bahagia. Insya Allah.
Sobat muda muslim, meski demikian faktanya, bukan berarti niat baik kita jadi nggak ikhlas ketika menolong seseorang. Ingin ada pamrih yang kita harapkan. Sehingga ketika kita sudah menolong sekian orang, kemudian tak seorang pun dari yang kita tolong enggan menghargai kita, kita jadi menghitung-hitung apa yang telah kita keluarkan untuk menolong mereka. Nggak boleh seperti itu. Semoga kita dijauhkan dari pikiran seperti itu. Niat kita menolong, ya menolong. Ikhlas karena Allah. Bukan karena yang lain. Toh, Allah tidak akan pernah salah dalam mengkalkulasi amalan kita. Nggak mendapatkan bahagia di dunia, ya insya Allah di akhirat. Karena yang penting kita sudah menaburkan cinta kepada makhlukNya. Betul kan?
Sabda Rasulullah saw.: “Barangsiapa yang melapangkan suatu kesulitan di dunia bagi seorang mukmin, maka Allah pasti akan melapangkan baginya suatu kesulitan di hari Kiamat.” (HR Muslim)
Semoga kita senantiasa bisa menaburkan cinta kepada siapa saja. Kebahagiaan yang kita dapatkan dari itu hanyalah ‘efek samping’. Jika pun tidak mendapatkan, bukan berarti kita rugi. Insya Allah tetap mendapat pahala, karena kita memberikan cinta dan menolong sesama. Allah swt. pasti tahu apa yang sudah kita kerjakan. Yakin itu.
Salam,