Buku nonfiksi yang diterbitka Sarah Crichton Books, New York pada tahun 2007 ini kemudian diterbitkan kembali Penerbit Bentang pada tahun 2008 ini menceritakan seorang anak 12 tahun yang dipaksa untuk menjadi mesin pembunuh dan pengguna narkoba. Ishmael Beah lahir di Siera Leone, Afrika pada tahun 1980. Ia anak kedua dari tiga bersaudara.
Ishmael Beah atau penulis buku ini menceritakan kisah-kisah yang telah ia lalui di medan perang ketika masih berumur 12 tahun. Untuk mengobati sakit migrainnya, ia mengkonsumsi narkoba dan kokain.
“Kami mulai saling menembak. Aku tidak tahu dimana posisi Alhajji, tapi saat aku menembak, ia merangkak ke arahku. Aku hampir menembaknya, tapi aku mengenali wajah Rambo nya yang kotor. Kami kembali bekerja, membunuh semua orang yang terlihat. Kami tidak menyia-nyiakan satu peluru pun. Kami semua jago menembak, dan ukuran tubuh kami memberi keuntungan, karena kami dapat bersembunyi di bawah semak-semak paling kecil dan memnbunuh semua orang yang mencari-cari dari mana arah datangnya peluru. Untuk dapat menguasai desa, aku dan Alhajji menembakkan sisa RPG sebelum kami memasukinya.”
Ishmael Beah yang dulunya seorang anak kecil biasa, akhirnya terpaksa menjadi tentara anak-anak karena perang saudara yang melanda negrinya.
Buku ini mengisahkan kehidupan ketika ia masih kecil, kemudian ditinggal mati oleh keluarganya. Untuk bertahan hidup, hanya ada dua pilihan; menjadi tentara salah satu pihak, atau mati.
Buku ini menceritakan banyak kejadian sadis yang dialami oleh sang penulis. Ia dicuci otaknya agar membunuh para pemberontak karena mereka telah membunuh semua anggota keluarganya. Pada akhirnya, sang penulis kembali normal lagi karena dimasukkan ke tempat rehabilitasi di Free Town.
Kelebihan buku ini sangat rinci menceritakan semua yang dialami oleh penulis. Penulis menggunakan bahsa yang mampu dibayangkan oleh pembaca bagaimana kengerian yang dialami oleh penulis. Buku ini juga memaparkan kronologi seca lengkap. Hanya saja buku ini tidak ada daftar isi, sehingga pembaca agak kesulitan untuk membacanya.
[Dihya Musa AR, santri jenjang SMA, Pesantren Media]