Loading

Kami berjalan-jalan keliling kota menaiki sepeda bmx. Tak seperti biasanya kali ini tidak ada rasa lelah yang mengusik. Walaupun sudah sepuluh kilometer kami mengelilingi kota, tidak ada raut wajah yang mengutarakan rasa lelah. Kami berdua sangat menikmati suasana itu. Kami pergi ke bandara, melihat pesawat yang hendak pergi menuju belahan dunia lain yang belum pernah kami kunjungi. Dan disana kami berjanji akan tetap menjaga persahabatan kami.

Setelah melanjutkan perjalanan, kami berhenti lagi di sebuah ladang yang dipenuhi reptil-reptil. Tapi rasanya aku sedikit bingung karena sebelumnya aku tidak pernah melihat ada ladang di sekitar daerah ini. “Ah, sudahlah. Mungkin aku saja yang lupa kalau ada ladang di sekitar sini” berkata aku dalam hati. Kami menyusuri setiap pohon dan berharap ada bunglon atau ular yang dapat kami tangkap. Karena menangkap reptil adalah hobi kami, maka itu tidak ada sedikitpun rasa takut di dalam hati kami ketika menangkap reptil-reptil tersebut.

“Lif, disini kayaknya ada satu bunglon besar” kataku.

“Mana, sini aku tangkap” jawabnya.

Pertama kami tendang-tendang pohon itu agar binglon itu merasa takut dan akhirnya lari sehingga kami dapat mengikuti jejaknya. “Aku dapat” kata si Alif yang gembira sambil memegang bunglon yang tergolong cukup besar tersebut. Kami bergembira menikmati hari-hari yang indah dalam suatu ikatan persahabatan kami yang sangat erat tersebut.

Kami melanjutkan perjalanan ke Sungai Deli yang terkenal karena banyak orang yang berenang disana.

“Gek, renang yok” kata si Alif sembari membuka kaosnya.

“Males ah. Nanti tenggelam pula aku” jawabku dengan rasa takut.

“Udah, masuk aja. Arusnya gak deras kok” Bantahnya.

“Yaudahlah. Tapi nanti kalau aku yang tenggelam kau tolongin aku ya” jawabku menantangnya.

“OK, sip” jawabnya.

 

Awalnya aku merendamkan kakiku dan terasa sangat dingin. Air itu seperti ingin membekukan kaki-kaki kecilku. Lama kelamaan aku mulai merasa terbiasa dengan air dingin sungai itu. Tiba-tiba ada ombak menghantam kami dari sebelah timur. Kami langsung panik dan melarikan diri dari ombak yang ingin menelan kami. Suara ombak terdengar sangat keras. “Alhamdulillah, akhirnya aku bisa menyelamatkan diri kataku. “Tapi dimana si Alif?” tanyaku. Aku terus berteriak memanggil namanya dengan rasa risau akan menghilangnya sobat kecilku yang aku kenal sejak SD.

Dengan keras aku teriakkan namanya. Setelah berjalan 2 kilometer mencari si Alif, akhirnya aku menemukannya di tepi sungai. Dia terlihat sangat lemah dan tak berdaya. Spontan aku mencari bantuan. Aku mencari warga yang dapat menolong si Alif yang terbujur lemah di tepi sungai. Akhirnya kami mendapatkan pertolongan. Kami dibawa kerumah sakit.

Kami berada didalam mobil ambulance yang sama. Dia dibaringkan di atas tempat tidur sementara aku duduk disebelahnya sembari memegang handuk hangat di dalam mobil tersebut. Ditengah perjalanan, dia berkata “Gek, tenang aja kau. Aku Cuma sakit dipunggung nya”. Tiba-tiba dia pingsan.

Sesampainya dirumah sakit, kami mendapatkan perawatan intensif. 1 jam diobati, akhirnya aku merasa sehat. Aku ingin melihat bagaimana keadaan temanku. Si Alif berada di kamar yang berbeda denganku. Setibanya aku memasuki kamarnya, aku melihat seseorang yang seluruh badannya ditutupi kain. Ketika aku membuka kain tersebut agar dapat melihat wajahnya, spontan aku menangis karena melihat temanku yang sudah tidak bernyawa lagi. Tiba-tiba aku merasa lemas dan aku melihat seseorang menyiram air di wajahku.

Terbangun aku dari tidur panjangku. “Huh, untung aja cuma mimpi” kataku dalam hati. Sore harinya aku mengunjungi rumah si Alif untuk menepati janji jalan-jalan sore bersamanya. Sesampainya aku dirumah si Alif, dia berkata” Gek, jalan-jalan yok. Nanti kita beranang di Sungai Deli. Terkejut aku mendengar kalimat tersebut keluar dari mulutnya. Dan secara spontan aku teringat mimpiku tadi. Dan aku menjawab “sorry lif, kayaknya hari ini aku gak bisa ikut karena banyak urusan”. Dan aku mengingatkan kepadanya jangan ke Sungai Deli hari ini. [Rizki Yannur Tanjung, santri angkatan-3, jenjang SMA]

@anamgram

By anam

Ahmad Khoirul Anam, santri angkatan ke-2, jenjang SMA di Pesantren Media | Blog pribadi: http://anamshare.wordpress.com | Twitter: @anam_tujuh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *