“Ekonomi, sejarah, bukan !
Ya Allah, dimana aku menyimpannya ?”
Nailah bertanya-tanya. Hari itu sekitar jam 10 pagi, Nailah kebingungan mencari sesuatu di kamarnya. Sesuatu yang selalu dibawanya kemanapun ia pergi. Baik ke sekolah, toko buku, pasar, sampai ke kamar mandi. Dengan wajah yang bercucurkan keringat dan rasa cemas yang hampir membuatnya sakit kepala, Nailah membongkar semua isi rak buku di sudut kamarnya. Meskipun berkeringat, namun wajahnya tetap saja terlihat bersinar bak permata. Kulitnya yang putih bak mutiara dan lesung pipitnya yang membuatnya terlihat semakin manis. Ditambah dengan kerudung warna merah jambu dan jilbab yang menjulur dari tubuhnya. Membuatnya semakin cantik nan menawan. Sesuatu yang dia cari adalah sebuah “buku catatan”.
Gadis bernama lengkap Nailah Ramsya Sabila ini sangat suka menulis. Di Sekolahnya di SMAIT Nurul Fitri Bandung, ia terkenal dengan sebutan “author girl atau si gadis penulis”. Tulisan Nailah patut diancungi jempol. Dari kelas 3 SD, Nailah mulai tertarik menulis. Walaupun saat itu tulisannya belum seberapa. Setelah masuk SMP, baru ia serius menekuni bidang ini. Berkat kerja kerasnya, Nailah berhasil menjadi juara di berbagai perlombaan. Ya, bisa dikatakan ia sering kebanjiran tropi, medali, piagam dan lain-lain. Jika dilihat dari garis keturunan, Nailah sama sekali tidak mewarisi bakat keluarganya. Hanya dia yang berbakat menjadi penulis, sedangkan keluarganya lebih suka berbisnis dan bertani. Oleh karena itu, Nailah suka heran sendiri setiap memikirkan hal itu.
“Kimia, biologi. Ah, bukan juga !”
Dengan terburu-buru dan rasa cemas yang mengganggu pikirannya, Nailah masih mencari buku catatannya. Kali ini ia mencari di laci kecil di dekat rak buku. Sambil mengusap keringat Nailah terus mencari di tiap sudut laci. Yang ia temukan adalah kotak kecil yang berisi aksesoris, sarung tangan bergambar panda dan sebuah dompet.
“Ya Allah, di sini juga tidak ada.”
Nailah menghela nafas. Dengan rasa kecewa ia menutup laci. Mendorongnya secara perlahan. Sejenak ia terdiam berusaha mengingat dimanakah buku catatannya.
10 detik kemudian.
Brukk !!
Suara laci terdengar didorong dengan keras. Nailah menutupnya dengan semangat.
“Aha! Di bawah bantal. Ya, aku menyimpannya di sana.”
Nailah baru ingat buku catatannya ia simpan di bawah bantal panda kesayangannya. Sekitar jam 10 malam, Nailah berbaring di atas spring bed empuk sambil menulis di buku catatannya. Karena kantuk yang mendera dirinya, hingga membuatnya tidak konsentrasi menulis. Membuyarkan semua ide dan perasaan yang telah ia simpan di memori otaknya. Dengan memejamkan mata, tanpa sadar Nailah menyelipkan buku catatannya di bawah bantal. Nailah pun tertidur. Ia tidak sempat menyimpannya di rak buku.
oOo
Tanpa berpikir lagi, Nailah langsung ke spring bed berwarna hijau miliknya. Tempat di mana bantal panda berada. Kemudian ia mengangkatnya. Dan ternyata buku catatannya memang ada di sana.
“Alhamdulillah, akhirnya aku menemukanmu, Bukcat.
Kamu kemana saja? Dari tadi aku mencarimu.” Nailah berkata pada bukcatnya.
Nailah sangat gembira. Sampai-sampai ia mengomel pada bukcat. Bukcat adalah singkatan dari buku catatan. Nailah lebih senang memanggilnya seperti itu. Menurutnya, itu lebih simpel dan keren. Di tengah omelannya, tiba-tiba HP Nailah berbunyi. Sepertinya ada yang telepon. Nailah langsung mengambil HP di sakunya. Setelah dilihat ternyata memang benar ada telepon dari Khairina. Raut wajah Nailah berubah 180 derajat. Sekarang ia merasa cemas.
Dengan nada berat Nailah mengucapkan salam.
“Hallo, Assalamu’alaikum?”
“Wa’alaikumussalam wr.wb. Nailah kapan kamu ke rumahku? Aku sudah menunggumu dari tadi.” Dengan nada sedikit kesal.
“Iya,sebentar lagi. Tadi aku mencari bukcatku.” Jawab Nailah.
“Bukcat? Apa hilang lagi?” Tanya Airin dengan heran.
“Aku, aku lupa menyimpannya. Hehe. “ dengan terbata-bata.
“Kamu ini kebiasaan, ya.”
“Mmm, tapi sekarang sudah kutemukan,ko”.
“Syukur, Alhamdulillah. Sekarang kamu cepat ke rumahku!”
“Iya.” Jawab Nailah dengan entengnya.
“Nggak pake lama,ya!”
“Siip.”
“Yang benar?” Airin menggoda.
“Iya, Airin yang cantik dan manis. Sekarang tutup teleponnya,ya! Kalau tidak ditutup, kapan aku berangkatnya?” Nailah merasa kesal.
“Oh iya. Ya sudah aku tutup, ya? Assalamu’alaikum?”
“Wa’alaikumussalam wr.wb.”
oOo
Huuff.
Nailah menghela nafas . Seperti perkiraannya. Airin pasti mengomel karena ia tidak kunjung datang ke rumahnya. Hari ini Nailah berencana akan mengantar Airin ke pameran foto. Airin adalah sahabat Nailah. Dia sangat menyukai seni terutama fotografi. Orangnya baik hati, cantik dan pintar. Namun, sedikit cerewet dan kadang jahil. Ia juga sekolah di SMAIT Nurul Fitri, Bandung. Tempat dimana Nailah sekolah. Bahkan sekelas pula dengannya. Oleh karena itu, semakin hari mereka semakin akrab dan tidak heran selalu terlihat bersama. Di sekolah, mereka terkenal dengan sebutan “author and photographer SMAIT Nurul Fitri”. Haha.
Setelah selesai menghela nafas, Nailah memasukkan HP dan buku catatan ke dalam tas selempang miliknya. Tak lupa Nailah bercermin untuk merapikan gamis dan kerudungnya. Sedikit kusut. Namun it’s not problem. Dengan sesegera Nailah keluar dari kamarnya.
“Bukcat, HP, bolpoint, dompet, dan boneka panda.”
Sambil berjalan menuju pintu depan rumah, Nailah memeriksa kembali barang-barangnya. Setelah semuanya lengkap ia mampir dulu ke dapur. Kebetulan, adiknya yang bernama Kaisah sedang membuat roti bakar.
“De, kakak minta roti bakarnya,ya?” Tanya Nailah.
Sambil mengambil roti yang baru saja selesai di panggang. Baunya sangat lezat. Dengan kepulan asap di atasnya. Membuat aromanya semakin menusuk hidung. Roti bakar dengan isi coklat dan meses.
“Iya, ambil saja,ka. Memangnya kakak mau pergi ke mana ?” Tanya Kaisah.
“Biasa, ke rumah Airin.”
“Pasti mau mengerjakan tugas?”
“Tidak. Kakak mau mengantarnya ke pameran foto dekat sekolah.” sambil membuka kulkas. Kemudian mengambil sekotak susu coklat.
“Ini susunya,ka.”
“Oh iya. Syukran ya, de. Kakak hampir saja lupa.”
Sambil memasukkan roti bakar dan susu coklat ke dalam tasnya. Nailah membawa itu semua untuk bekal di perjalanan.
“Kalau begitu, kakak berangkat dulu ya, de. Jaga rumah baik-baik, ya!”
“Iya, ka. Hati-hati di jalan ya!”
“Oke. Assalamu’alaikum?”
“Wa’alaikumussalam.”
Jam 10.30, dengan tergesa-gesa Nailah pergi ke rumah Airin. Ia tidak ingin Airin tambah marah. Untung rumah Airin tidak terlalu jauh. Butuh naik angkot 1 kali untuk sampai di sana. 15 menit kemudian Nailah sampai di gang rumah Airin. Dengan nafas yang terengah-engah ia melangkahkan kakinya menuju rumah Airin.
oOo
“Hiuhh. Alhamdulillah sampai juga .”
Masih dengan nafas yang terengah-engah. Nailah menarik nafas yang panjang. Kemudian melepasnya.
Huuuft…
Nailah sampai di depan rumah Airin. Terlihat Airin tengah menunggunya di pintu gerbang sambil melihat-lihat jam tangannya. Nailahpun menghampirinya. Dengan santun ia mengucapkan salam. Lesung pipitnya terlihat sangat manis saat itu.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Jawab Airin yang masih melihat ke arah jam tangannya.
“Airin ! Panggil Nailah dengan nada suara yang sedikit keras.
“Eh, Nailah!” Airin sedikit terkejut.
Dia baru sadar ternyata di hadapannya ada Nailah. Dia pikir orang yang mengucap salam tadi adalah orang lain. Karena sebelum Nailah sampai, ada beberapa orang yang melintas di hadapannya sambil mengucap salam.
“Airin afwan ya, aku telat. Kamu pasti marah sama aku ?” Tanya Nailah kepada Airin.
“Mmm, kamu memang telat. Telat banget. Tapi aku tidak marah,ko.” Jawab Nailah.
“Yang benar? Alhamdulillah.” Nailah terlihat sangat lega.
“Kalau begitu, ayo masuk ! Ahlan wa syahlan, ukhti.”
Nailah pun masuk ke dalam rumah Airin. Rumah Airin cukup besar, megah, dan bergayakan ala Timur Tengah. Dengan kubah berornamen di bagian jendela. Karpet Persia berkombinasikan warna coklat tua, merah marun dan kuning gading. Bantal penuh beads dekoratif di sudut-sudut ruang. Kaca patri yang penuh motif dan warna di ruang keluarga. Lampu gantung, table ware, serta aksesori ruang dari kuningan, shisha, dan botol-botol dekoratif. Juga lilin dan dupa-dupaan yang menjadi pelengkap untuk penyemarak suasana. Nailah sudah tak asing lagi dengan rumah ini. Setiap dua minggu sekali ia selalu mampir.
“Airin, apa kamu sudah siap?” Tanya Nailah.
“Mm, sudah. Barang-barang yang aku bawa sudah kumasukkan ke dalam tas.” Jawab Nailah.
“Kalau begitu, ayo sekarang kita berangkat!”
“Loh, tapi aku belum menyiapkan minuman untukmu.”
“Sudah, tidak apa-apa. Daripada nanti terlambat.” Tambah Nailah.
“Iya juga sih. Memangnya kamu tidak haus?”
“Haus sih pasti. Tapi nanti saja di jalan.”
“Okelah. Kita pamit dulu ke Ummi, yu?” ajak Airin.
Setelah pamitan kepada Ummi Airin, jam 11 mereka langsung berangkat. Hari ini adalah hari yang sangat dinanti Airin. Hari dimana ia akan melihat foto hasil jepretan fotografer di seluruh negeri ini. Bahkan bisa langsung bertemu dengan mereka. Ini adalah impian Airin sejak kecil. Ia memang suka dengan fotografi. Oleh sebab itu, ini adalah moment yang tepat. Airin harus pergi ke pameran foto itu. Harus.
oOo
Jam 11.55 WIB, Airin dan Nailah sampai di tempat pameran. Mereka memutuskan untuk sholat dzuhur dahulu. Pameran diadakan di sebuah gedung yang berada sekitar 3 km di sebelah utara SMAIT Nurul Fitri. Setelah sholat, Airin dan Nailah masuk ke tempat pameran. Suasana di sana sangat ramai. Ratusan foto terpasang dengan megah di dinding ruangan. Membuat Airin dan Nailah terkagum-kagum. Airin tak mau ketinggalan untuk mengabadikannya. Terutama foto-foto saat sesi wawancara dengan para fotografer. Pameran itu dibuka dari jam 13.00 – 21.00 WIB.
oOo
Jam 8 malam.
Ini saatnya Nailah dan Airin untuk pulang. Sebelumnya mereka shalat isya daulu di masjid . Rencananya mereka akan dijemput oleh teh Husna, kakaknya Airin. Tapi ternyata beliau tidak bisa menjemput mereka. Ummi dan Abi Nailah juga tidak bisa karena sedang di Banten. Sedangkan orang tua Airin sedang ada urusan. Oleh sebab itu, Nailah dan Airin harus pulang sendiri. Nailah memutuskan untuk menginap di rumah Airin.
Di bawah pohon mangga di depan gedung tempat pameran, Nailah dan Airin berdiri untuk menunggu angkot. Ada sedikit rasa takut dalam hati mereka. Apalagi anak perempuan tidak baik ke luar malam hari. Angkotpun tak kunjung datang. Airin melihat ke arah jam tangannya. Jam 20.20 WIB. 20 menit sudah mereka menunggu. Di saat dinginnya malam, sang rembulan enggan untuk menampakan sinarnya. Suasana jalan raya yang tidak begitu ramai. Hanya 3-4 kendaraan yang melintas setiap menitnya.
“Aduh, Rin. Angkotnya belum datang juga. Bagaimana nih?” Tanya Nailah cemas.
“Sabarlah. Mungkin sebentar lagi.” Masih melihat ke arah jam tangannya.
“Tapi lama banget. Sudah 20 menit kita menunggu.”
“Iya, aku tahu.” Jawab Airin dengan entengnya.
“Memangnya kamu tidak takut atau bosan?”
“Aku juga bosan. Tapi mau bagaimana lagi, selain menunggu dan berdo’a kepada Allah.” Jawab Airin.
Nailah terdiam. Ucapan Airin memang benar. Selain menunggu dan berdo’a , apalagi yang bisa dilakukan. Nailah memperhatikan di sekelilingnya. Pohon besar dan bangunan kosong di seberang mereka. 5 menit kemudian, akhirnya angkot yang mereka tunggu datang juga. Nailah dan Airin masuk ke dalamnya. 3 penumpang ikhwan dan 2 akhwat. Nailah dan Airin merasa lega. Akhirnya mereka bisa pulang juga.
Eits !
Tapi tidak semudah itu. Nailah dan Airin harus jalan kaki terlebih dahulu sebelum sampai di rumah Airin. Jam 21.00 WIB, mereka menyusuri jalan kecil yang gelap. Lampu rumah-rumah dimatikan pertanda si pemilik sudah tidur. Suara burung hantu terdengar dengan jelasnya. Dedaunan melambai-lambai di tiup angin. Rembulan bersembunyi di balik awan. Udara dingin dan gerak-gerik pohon menambah suasana semakin mencekam.
Nailah melihat ke depan. Dilihatnya ada pemakaman. Kemudian Ia berhenti berjalan. Tubuhnya gemetaran. Airin kaget mengapa Nailah seperti itu.
“Hey, Nailah. Ayo jalan! Kenapa berhenti?” Tanya Airin.
Nailah masih saja diam. Ia tidak menjawab pertanyaan Airin.
“Nailah ! Kamu kenapa?” Airin memanggil untuk kedua kalinya.
“Itu lihat di depan. “ jawab Nailah.
Airinpun melihat ke arah depan.
“Kuburan?” Airin keheranan.
“Iya.” Sambil menganggukkan kepala.
“Kenapa? Kamu takut?” Airin meninterogasi.
Kemudian Airin tertawa. Haha.Nailah hanya bisa diam. Sekujur tubuhnya terasa kaku. Nailah memang orangnya sedikit penakut. Ia juga tidak suka dengan film horror. Maka tak heran ia seperti itu. Bahkan kepada orang yang tidak dikenalnya juga. Apalagi saat isu penculikan merebak. Ia tidak berani pulang sekolah sendirian.
“Nailah, ayo kita jalan!”
“Ti, tidak. “ jawab Nailah sambil menganggukkan kepala.
“Kenapa? Kamu takut lewat kuburan?” Tanya Airin.
“Emm,aku..” Nailah terbata-bata.
“Hey, Nailah! Kamu jangan takut dengan hal-hal seperti ini. Kamu tahu Rasulullah saw suka ziarah ke makam pada malam hari. Lalu kenapa kamu takut? Takut orang yang sudah meninggal?”
Nailah hanya terdiam membisu. Tubuhnya masih teras kaku.
“Nailah, nanti kamu juga seperti itu. Setelah tiba waktunya, aku, kamu dan yang lain akan dikubur di liang lahat. Kita hanya boleh takut kepada Allah. Kamu tahu azab Allah sangatlah pedih?”
Nailah mengganggukan kepala. Pertanda ia sudah mengetahuinya.
“Nah, itu tahu. Lalu kenapa kamu masih takut ?”
“Tapi, biasanya di kuburan itu angker apalagi malam hari.”
“Astagfirullah. Jadi kamu percaya sama cerita-cerita itu?” Tanya Airin dengan kesal.
“Ya, tidak.” Nailah membantah.
“Lalu bagaimana dengan setan? Apa kamu takut?”
“Tidak. Aku tidak takut. Kenapa harus takut? Jika takut sama setan itu perlu dipertanyakan keimanannya.Walaupun setan itu mengalir di sepanjang aliran darah kita, namun mudah dikalahkan. Dengan taat, berdo’a dan selalu mengingat Allah. “
“Nah, itu kamu ngerti. Apa sekarang masih takut?” Airin penasaran.
“Harusnya tidak.” Bantah Nailah.
“Kalau begitu, ayo kita jalan !” sambil menarik tangan Nailah.
“Iya. Bismillah.” Nailah menguatkan hatinya. Ia tidak boleh takut lagi lewat kuburan. Ya, tidak boleh takut.
Merekapun berjalan melewati kuburan itu. Nailah berpegangan tangan dengan Airin. Setelah melewati kuburan, Nailah baru sadar ternyata lewat kuburan itu tidak buruk. Ini adalah pengalaman yang beharga bagi Nailah. Tidak boleh takut sama setan.
[Siti Muhaira, santriwati Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini adalah bagian dari tugas menulis di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media.