Namaku Naila. Aku seorang siswi kelas 2, disalah satu SMP, Bogor. Aku anak tunggal. Kedua orang tuaku pekerja keras. Mereka bekerja siang dan malam. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mungkin lupa akan aku anaknya. Pergi sebelum aku bangun dan pulang saat aku hendak tidur.
Setiap hari, hampir tidak ada waktu yang dapat mereka sisihkan buat ngumpul bersamaku dirumah. Tak jarang mereka memakai waktu libur untuk bekerja. Aku hanya mereka beri materi. Mungkin mereka kira, aku bisa bahagia dengan materi yang mereka berikan kepadaku. Tidak… (jeritku dalam hati).
Mereka salah besar,aku sangat menginginkan kebersamaan, kasih sayang , dan perhatian dari mereka. Aku ini bukanlah benda mati. Aku ini adalah anak yang masih membutuhkan orang tua.
Jujur, aku sangat iri dengan teman-temanku yang bisa berkumpul dengan keluarganya setiap hari. Reni misalnya, dia adalah anak yang baik dan juga pintar. Kehidupannya memang tidak mewah, tapi keluarganya selalu menyisihkan waktu untuk berkumpul bersama. Sangat berbeda dengan keluargaku.
“Wa’allaikum salam, Bu Guru.” Aku tersadar dari lamunanku, ku kemaskan semua buku pelajaran kedalam tas.
(Bu guru meninggalkan ruang kelas) “Hey…” suara lembut Tasya menyapa dari belakang.
Kubalas sapaannya (sahabatku) dengan senyum terbaik yang aku miliki.
“Tadi, kamu ngelamun lagi ya, Nai?”
“Hmm, enggak kok.” aku berusaha untuk menipunya. Walau sebenarnya aku tahu kalau dia tidak bisa ku tipu.
Dia tersenyum, seraya berkata “Aku sudah lama mengenalmu, Nai. Jadi kamu tidak bisa berbohong padaku.” Kemudian dia berjalan keluar kelas.
“Apa lagi sih yang kamu lamunin? Ortu? Emangnya mereka kenapa lagi?” tanya Tasya seraya melambaikan tangan sebaga kode ‘mengajak pulang.’
“Iya, nih. Semalam, mereka bilang mau keluar kota lagi.” Jawabku tak bersemangat.
“Kemana lagi? Bukannya bulan lalu ortumu sudah keluar kota? Kalau enggak salah untuk penelitian air bersih di sulawesi selama tiga hari ya?.”
“Bener. Sekarang mereka mau meneliti air bersih lagi, di papua dan ini waktunya satu bulan.”
Akhirnya kami sampai juga di depan gerbang. Kami berpisah, mobil jemputan sudah menunggu dari tadi. Sebelum masuk mobil, Tasya berkata “ceritanya disambung nanti saja ya lewat telepon.”
oooOOooo
Hari sudah malam, tugas-tugas yang menumpuk pun sudah selesai kukerjakan. Sekarang apa lagi yang akan ku kerjakan? Biasanya jam segini, kalau aku belum mengantuk, aku menunggu mama dan papa pulang kerja dan berharap mereka membawa makanan hangat untuk menghangatkan badan. Tapi, sekarang aku sudah sangat mengantuk dan orang tuaku sedang tidak dirumah.
“Lebih baik aku menelepon Tasya. Aku mau kasih tahu, kalau mama dan papa sudah berangkat hari minggu sore (kemarin)” pikirku dalam hati, untuk update ke tasya.
(Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi. Tut… Tut…)
“Aduh kenapa ya si Tasya, tumben-tumbenan dia matiin HP. Biasanyakan aktif mulu. Apa aku telepon rumahnya aja ya?” pikirku lagi.
oooOOooo
“Asssalamu’allaikum, saya Naila. Bisa bicara dengan Tasya?”
“Allaikum salam, maaf non. Non tasyanya, lagi nggak ada dirumah” Bi Ani menjawab dengan suara pelan.
“Kira-kira Tasyanya kemana ya, Bi? Tadi saya telepon. Tapi, HPnya mati.”
“Dia lagi di rumah sakit Kasih Sayang, Non. Sabtu kemarin, kecelakaan waktu mau pulang dari sekolah”
Aku terdiam dan tanpa kusadari telepon sudah ku tutup.
Aku langsung naik ke kamar untuk mengganti baju. Kemudian aku minta tolong Pak Nanang mengantarkanku ke rumah sakit kasih sayang.
“Ini sudah malam, Non. Sudah waktunya tidur, lagi pula paling cepat kita sampai di rumah sakitnya jam setengah sebelas. Dan besok Non Naila bisa kesiangan kesekolahnya.” Ujar Pak Nanang hawatir.
“Nggak apa-apa, Pak. Sekarang ini keadaannya lagi darurat. Besok itu, nanti saja diurusin. Yang penting sekarang kita jalan, sebelum semuanya terlambat.” Jawabku dengan nada tinggi dan cepat.
oooOOooo
Perjalanannya panjang dan cukup lama. Selama perjalanan aku diam di mobil sambil mengarahkan pandanganku keluar jendela. Pak Nanang terus memandangi wajahku yang murung, sedih, nggak percaya menjadi saru dari kaca depan. Dan tidak jarang Pak Nanang berusaha menghiburku. Tapi tidak ku tanggapi.
Perjalanannya cukup lama, aku mulai jenuh. Ditambah lagi macet yang cukup panjang, dan menambahkan kesal dan resah kedalam kejenuhanku.
Tiba-tiba. Teleponku berbunyi, seseorang memanggilku dengan nomor yang tidak dikenal. Aku mengangkat telepon, dari kejauhan terdengar suara isak tangis Bi Arni (pembantuku).
Aku penasaran kenapa Bi Arni meneleponku? Dan kenapa dia menangis?
Aku langsung menanyakan kepadanya “Ada apa, Bi? Kenapa nelepon sambil nangis gini?”
“Non Naila, orang tua Non Naila.”
“Kenapa? Apa yang terjadi dengan mereka?” jawabku tegang.
“Orang tua non naila, meninggal dunia. Mereka tewas karena di sangka musuh oleh salah satu desa yang sedang terlibat perang saudara.” Jelas Bi Arni sambil berusaha menahan tangis.
Aku terdiam, terdiam cukup lama. Aku teringat akan impianku untuk bersama mereka, diperhatikan dan disayang oleh mereka. Semua itu, tidak akan bisa lagi terwujud.
Dan kemudian aku berteriak sekuat tenaga meneriakkan nama MAMA, PAPA.
Namun tiba-tiba, Bi Arni memanggilku dari arah yang nggak ku ketahui. Saatkubuka mataku perlahan, tugas yang baru kuselesaikan semalam berserakkan di atas meja belajar.
Belum sadar benar, terdengar lagi suara Bi Arni “non, bangun non. Ini sudah pagi, nanti non telat masuk sekolah kalau nggak bangun.” Aku diam kebingungan. “kalau masih tidur juga, nanti di tinggal bis jemputan loh” lanjut Bi Arni.
Aku tersenyum kecil. “Oalah, ini Cuma mimpi toh?” ujarku dalam hati.
[Nurmaila Sari, jenjang SMA, angkatan ke-2, pesantren Media]