Sore tiba tanpa permisi. Sedangkan aku sendiri, masih terpaku menunggu bus yang akan mengantarkanku pulang. Hujan rintik, bus-bus lain yang berlalu lalang, dan rengekan anak kecil yang ingin memainkan ponselku menemani kebosananku dalam menunggu. Ini pertama kalinya aku naik bus pulang dari kota hujan ke kota semen sendirian. Sebagai seorang gadis sepertiku, dilanda takut oleh tantangan perjalanan adalah hal yang wajar. Tapi aku sudah terbiasa menghadapi kerasnya perjalanan. Semasa kecil, aku terpisah dengan orangtua kandungku. Orangtua angkatku sendiri senang merantau ke negara tetangga. Mentalku sudah kebal dengan perjalanan yang semacam ini.
Bus yang aku tunggu telah tiba. Ternyata hanya aku yang berangkat dari stasiun ini. Aku melihat nomer kursiku, dan aku terkejut bukan main. Aku duduk bersebelahan dengan seorang pemuda. Tapi kupikir aku memiliki wajah yang ahli dalam bersandiwara. Aku menahan keterkejutanku, dan berusaha tersenyum ramah. Selama perjalanan, aku merasa risih sekali. Tapi inilah resikonya. Sesekali membalas chat, karena di salam bus tidak ada colokan charger. Jadi aku harus menahan agar tidak terus-terusan menyalalakan ponsel. Sulit sekali, karena aku benar-benar bosan. Walau sesekali siaran orkes dangdut menghiburku. Ya, ayahku pecinta dangdut. Jadi aku sedikit hapal dengan lagu-lagu itu. namun bukan berarti aku mennyukainya.
Aku tertidur. Ternyata sudah tengah malam. Aku dibangunkan oleh seorang pemuda yang sudah berkeluarga. Ternyata dia adalah orang Madura. Dia membangunkanku dengan Bahasa Madura. Memang begitulah orang Madura. Mereka sangat menjaga bahasa mereka, dan tidak merendah pada zaman. Aku bangga pada mereka.
“He, tangi. Hedeh Lo’ngakan yeh? Toron kabbih lho, ngakan e bebeh. “ Aku tercengang. Untung saja aku sedikit banyak bisa mengerti bahasa Madura. Aku meihat sekitar bus. Sepi.
“Yok, ngakan! Eman, gratis,”
“Oh, yeh. Engkok toron. Suwon, eh.” Ucapku, sambil tersenyum malu. Dia mengantarku sampai ke ruang makan.
“Ngakannan e dinnak. Duli! Seng benyak yeh, mon ngakan.” Aku hanya tersenyum lagi, sambil berterima kasih. Aku bersyukur karena Allah meenemukanku dengan orang yang baik. Aku makan tapi tak lahap. karena sayurnya terlalu banyak.
Setelah makan, aku kembali ke bus. Beberapa menit kemudian, bus berangkat melanjutkan perjalanan. Aku kembali tidur. Bukan karena aku ngantuk, tapi sekedar mengisi kebosanan. Karena aku bisa mendapatkan hiburan dalam mimpi.
Ketika aku bangun, ternyata sudah jam tujuh lebih. Aku lupa belum solat. Aku akhirnya tayammum, lalu solat dengan posisi duduk. Aku gelisah, tak sabar rasanya ingin melepas kepegalan yang sudah semalaman suntuk membebani. Aku masih terus mengabari kakakku setiapkali tiba ke kota yang lain. Hingga saatnya, kota yang aku aku tunggu. Lamongan.
Namun saat tiba di daerah kota Lamongan, aku menghubungi kakakku tidak bisa. Dia sama sekali tidak membalas pesan dariku. Aku panik dan takut untuk turun. Aku masih menunggu balasan dari kakak, dan memutuskan untuk tidak turun. Sampai tak terasa, bus sudah tiba di kota Gresik. Aku berniat turun, tapi aku masih takut. Sampai beberapa menit kemudian, tibalah di Surabaya. Ya, ampun. Aku panik bukan main. Aku terus mengirim pesan, tapi tetap tak ada balasan. Karena aku tiga tahun pernah berkeliling Surabaya, aku sedikit banyak mengetahui alur tempat ini. kenalanku juga lebih banyak di sini, dibandingkan daerah manapun yang pernah aku kunjungi. Jadi aku sama sekali tidak takut turun di sana. Aku turun di SMAN 8 Surabaya, dan langsung memanggil temanku untuk menjemputku. Setelah sampai di rumahnya, aku meminjam ponsel temanku untuk menelpon kakakku. Ternyata ponsel kakakku tak dibawa. Sebelumnya kakakku memberikan nomer ponsel orang lain. Kakakku seharian mencariku sekitar Gresik-Lamongan. Dari nadanya, aku dapat menyimpulkan bahwa dia panik. Aku merasa bersalah dan bodoh. Bagaimana bisa aku tidak berani menurunkan kaki ke Gresik atau Lamongan. Padahal kakakku sudah menungguku.
Kakakku bergegas menjemputku ke Surabaya. Sampai rumah, aku dimarahi Ibuku.
Pengalaman yang sangat berarti, walau sangat menyusahkan. Dengan semua yang sudah terjadi, aku bisa mengukur sejauh apa keberanianku. Ya, di saat aku merasa aku sudah cukup berani, Allah memberiku satu tantangan yang membuktikan bahwa keberanianku masih bukan apa-apa. Tantangan perjalanan hidup masih lebih menyusahkan dan keras. Dan aku haus akan pengembaraan itu. Ini semua masih bab awal dalam pelajaran.
Natasha