Loading

Pahlawan Tak dikenal

Cibatok adalah nama tujuan pertamaku sebelum mudik ke Banten. Lokasinya masih di Bogor, tepatnya di Leuwiliang. Di cibatok itu adalah kampung halamannya kakekku. Sebenarnya aku nggak mau ke sana, pengen langsung pulang ke Banten aja. Tapi karena itu permintaan nenekku tercinta, ya sudahlah, “dilakoni aja”.

Ngobrol dengan nenek-nenek dan kakek-kakek, temanku bilang capek kalau ngobrol sama mereka. Katanya suka nggak nyambung, kuno, nggak ingat waktu dan membosankan. Kok bisa ya? Padahal menurutku lebih seru kalau ngobrol dengan orang tua kayak nenek-nenek atau kakek-kakek. Karena biasanya cerita-ceritanya menceritakan pengalamannya yang menarik, yang belum tentu ada orang yang pernah mengalaminya. Seperti pengalaman Abah Anim.

Hal yang paling aku senangi saat pergi ke Cibatok adalah ngobrol-ngobrol dengan Abah Anim. Beliau adalah pamannya Kakekku. Beliau dikaruniai umur yang panjang dan tubuh yang masih kuat oleh Allah. Pendengarannya pun masih sempurna.

Biasanya saat ngobrol itu beliau menceritakan pengalamannya saat ikut berperang melawan penjajah. Ternyata beliau adalah seorang veteran. Veteran yang terlupakan. Veteran yang tak dikenal. Bangga? Tentu ada. Tapi kadang aku suka kesal juga menerima kenyataan kehidupan Abah Anim yang susah.

Banyak veteran di Indonesia disia-siakan hidupnya. Dulunya veteran itu mati-matian berjuang melawan penjajah, ketika sudah merdeka, mereka sia-siakan veteran-veteran itu. Banyak dari veteran Indonesia hidupnya tak layak, sangat memprihatinkan. Bahkan ada yang sampai kelaparan. Miris mendengarnya.

Abah Anim adalah seorang petani. Katanya sih musim-musiman punya uangnya. Karena tidak semua hasil tanamannya laku terjual dan tidak selalu berhasil panen. Kalau hujan terus-terusan biasanya busuk.

 

Antara Jakarta dan Rangkas

Pulang ke Banten bisa melalui dua jalur. Bisa lewat Rangkas (berarti melewati leuwiliang) dan lewat Jakarta. Mudik kali ini aku lewat Rangkas, soalnya kalau lewat Jakarta harus mutar lagi sedangkan aku sedang ada di Cibatok. Capek. Belum nanti ngebayangin “ngetem” dan macet. Fiyuh!

Lewat Jakarta ataupun Rangkas sebenarnya sama aja. Ada untung dan ruginya. Kalau Jakarta untungnya adalah jalannya yang tidak rusak, jadi perjalanan pun lancar. Nggak enaknya kalau sudah macet, aku harus cari sesuatu yang harus aku lakukan supaya nggak bosan nunggu macet itu. Kalau aku sebangku dengan perempuan sih biasanya ngobrol. Tapi kalau sama lawan jenis, jangankan ngobrol, menengok ke orangnya aja aku nggak mau. Biasanya kalau kayak gini keadaannya, aku memilih tidur. Pernah juga mengisinya dengan baca buku atau baca Al-Quran.

Lewat Jakarta juga yang tidak aku sukai adalah pemandangannya itu. Gedung semua. Saling berlomba-lomba untuk meninggikan bangunan kaca itu. Apa hebatnya ya punya gedung seperti itu. Membuat udara panas. Membuat keringat terus-meneus mengucur akhirnya jadi sakit kepala.

Kalau lewat Rangkas enaknya adalah bisnya langsung ke Pandeglang nggak melewati serang. Jadinya perjalanan terasa sebentar. Kalau lewat Jakarta kan mutar, harus melewati tangerang dan serang dulu. Ditambah kalau lewat rangkas itu, mata tidak terasa pusing karena sepanjang perjalanan aku disuguhi pohon-pohonan dan tanaman yang hijau nan menyejukkan.

Cuma nggak enaknya adalah jalannya yang rusak, banyak yang berlubang dan banyak kelokan akhirnya menjadi hambatan untuk sampai di Pandeglang. Kelokan ini juga yang buat kesabaranku kadang tak terkendali. Kalau udah sebal biasanya aku menggerutu habis-habisan di dalam hati. Habis gimana ya… lagi enak-enak tidur tiba-tiba ada kelokan jadinya aku harus menahan badanku agar tidak jatuh atau kena badan orang lain. Apalagi kalau teman sebangkuku adalah laki-laki. Ih nggak deh! Kalau lewat rangkas dijamin, sepanjang perjalanan aku nggak akan pernah bisa tidur. Hihihih. Suka pengen ketawa sendiri kalau ingat keadaan di bis.

 

Kebablasan

Sedari tadi bergelut dengan jalan yang rusak dan kelokan, cukup membuat badanku lelah sekali ditambah aku sedang berpuasa akhirnya lemas juga menghinggapi. Ketika sampai di Pandeglang Kota, aku turun dan menaiki mobil jurusan ke Labuan. Tadinya pengen naik bis besar lagi ke Menes. Tapi ternyata nggak ada bis besar yang lewat sana. Akhirnya naik bis mini.

Sebetulnya aku nggak mau naik bis mini ini, sudah tahu sih gimana serakahnya supir dan kondekturnya. Padahal kursi sudah terisi penuh, tapi masih aja dimasukkin penumpang-penumpang lain. Jadinya sesak dan pantat terasa panas karena tempat duduk cuma secuil.

Dalam kondisi hati kesal, lemas juga, tempat duduk yang tidak layak akhirnya karena lelah sudah ada dipuncaknya aku tertidur, sangat pulas. Sampai aku tidak sadar, bis mini ini sudah melewati Menes, sudah jauh sekali. Untung ada ibu yang baik hati membangunkanku dan menanyakan tempat tujuanku. Aku turun. Kemudian memberhentikan angkot menuju Menes.

Kejadian-kejadian sepanjang perjalanan menuju rumah, tak henti-hentinya membuatku geleng-geleng kepala. Nggak mau, tapi dijalani juga. Ternyata setelah dituliskan banyak juga pengalamanku selama perjalanan. [Ilham Raudhatul Jannah, santri angkatan ke-1, jenjang SMA, Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis feature di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

*gambar dari sini

KOMENTAR: Secara informasi tulisan Ilham Raudhatul Jannah ini cukup menarik dan banyak hal yang mungkin bagi sebagian orang adalah hal baru. Penyampaiannya juga sudah menarik untuk dibaca. Hanya saja, judulnya sangat mengganggu karena hanya ditulis “Lumayan Banyak”. Di satu sisi memang akan membuat penasaran pembaca, tetapi di sisi lain, judul seperti ini bisa membingungkan. Terus berlatih menulis dan asah kemampuan menyampaikan pesan!

O. Solihin
Instruktur Kelas Menulis Kreatif

By nilam

Ilham Raudhatul Jannah, biasa disapa Neng Ilham | Santriwati Pesantren MEDIA angkatanke-1, jenjang SMA | Alumni tahun 2014, asal Menes, Banten | Twitter: @senandungrindu1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *