Apa yang terbayangkan ketika kita mendengar kata liburan? Pertama, pasti menyenangkan. Kedua, bagi yang ada di rantau mungkin pulang kampung. Ketiga, rehat bagi pelajar dan pekerja. Apalagi jika liburannya panjang, misalnya sebulan, alternatif jawabannya bisa bertambah banyak.
Ini yang saya jalani sekarang. Liburan panjang satu bulan. Aktivitas belajar mengajar terhenti, teman-teman pada mudik, dan setidaknya liburan itu memang menyenangkan. Bisa kembali ke kempung halaman, bertemu dan bercengkrama dengan kerabat dan handai taulan, bertemu kawan lama, pergi ke tempat wisata, dan lain sebagainya. Menyenangkan bukan?
Tapi tunggu dulu. Menyenangkan itu mungkin bagi teman-teman saya. Mereka benar-benar menikmati liburan karena mudik ke kampung halaman. Namun bagi saya, liburan sama saja dengan tidak liburan. Ya, liburan yang tak ada beda. Bedanya mungkin hanya satu: tak ada aktifitas belajar mengajar. Itu saja. Selain itu, saya tetap menemui sesuatu yang sama; lingkungan yang sama, kamar yang sama, dan bertemu orang-orang yang sama.
Membosankan? Ah, tidak juga. Tak ada kesempatan untuk bosan. Yang ada malah tambahan tugas dan amanah. Jika teman-teman yang mudik hanya bergulat dengan PR yang harus mereka selesaikan, saya, disamping diberi PR yang sama, juga mendapat tambahan tugas dan amanah. Memang tak ada kesempatan untuk bosan. Yang ada malah peluang untuk stres. Hehe..
Lalu apa saja ‘tambahan’ aktivitas itu? Ini dia:
Sejak sebelum liburan bahkan, saya diberi tugas menjadi koordinator untuk narasumber laki-laki dalam acara Syiar Ramadhan di 93.4 KISI FM Bogor. Acara life talkshow ini diadakan setiap sore selama Bulan Ramadhan. Tak cukup sebagai koordinator, saya juga beberapa kali menjadi narasumber di acara ini.
Acara ini diadakan setiap sore. Itu artinya, setiap sore saya harus ke KISI FM. Selama menjalankan tugas ini, sebenarnya tak ada masalah berarti. Hanya ada dua masalah kecil yang kerap terjadi. Pertama, narasumber tiba-tiba tidak hadir karena beragam situasi dan alasan. Kedua, hampir setiap sore Bogor dilanda hujan deras. Jas hujan peninggalan Ustadz Umar ternyata tak banyak membantu. Jaz hujan itu bocor sehingga tak mampu menahan rembesan air hujan. Maka tak jarang, saya tiba di radio dengan kondisi basah kuyup sambil bersin-bersin.
Tapi tak apalah. Saya ke KISI FM hanya hampir setiap sore, bukan setiap sore. Hanya jika jadwalnya narasumber laki-laki saya ke sana. Untuk mengantarkan ‘uang bensin’ serta jaga-jaga saja kalau presenternya perempuan, saya juga akan masuk ke ruang siar. Ini supaya tidak terjadi khalwat. Sedangkan koordinator untuk narasumber perempuan sudah ada sendiri, dari perempuan juga.
Hampir setiap sore saya ke radio. Itu berarti tidak setiap sore saya ke sana. Mungkin Anda berpikir bahwa kalau sedang tidak ke radio saya pasti bisa bersantai? Ternyata tidak. Selama Ramadhan, Masjid Nurul Iman, masjid yang saya gunakan untuk shalat berjama’ah lima waktu mengadakan acara buka bersama untuk anak-anak. Nah, sambil menunggu waktu berbuka tiba, biasanya ada narasumber yang ‘ngisi’. Entah itu dengan bercerita, menjelaskan isi film, shalawatan, nyayi, apapun.
Nah, masalahnya terletak pada pengisi acara yang selalu telat datangnya. Bu Hindun, penanggungjawab acara dari pihak ibu-ibu komplek/DKM ngeluhnya ke saya bahwa acara dimulai pukul 16.30 WIB. Tapi kenapa kok pengisi acara selalu telat datangnya? Rata-rata datang jam 17.00 atau lebih. Akhirnya, saya dan teman-teman menjadi sasaran tembak. Disuruh ngisi acara hingga the real narasumber datang. Apalagi ketika teman-teman pada mudik dan beberapa narsum keder ngisi anak-anak dengan kebiasaan ribut sendiri ini, saya malah diminta ngisi full setiap sore.
“Wah, maaf Bu. Saya mau tapi sayangnya tidak setiap sore saya bisa ke masjid. Kadang ada jadwal ke radio.” Itu alasan yang saya lontarkan supaya tidak full tiap sore ngisi anak-anak. Dan memang benar, itu tidak hanya sekedar alasan. Pada kenyataannya saya memang ke radio, hehe…
Sekitar 30 menit setelah buka atau pulang dari radio, saya harus kembali bertugas. Tugas apa? Tugas membaca doa dan ‘ngajak’ tarawih di setiap dua rakaat shalat. Nah, setelah shalat Tarawih, biasanya mata ini sudah sangat sepet. Ngantuk luar biasa. Maka biasanya, merebahkan diri di kasur adalah pilihan yang tiba-tiba menjadi sangat sulit untuk ditolak.
Apa hanya sampai di sini? Tunggu dulu. Ada tambahan tugas lagi nih. Di suatu pagi tiba-tiba ketua DKM Nurul Iman dan Ketua RT Pak Amir menunjuk saya sebagai tukang terima zakat di masjid. Awalnya agak kikuk juga sih. Bukan kikuk karena menghadapi orang yang mau bayar zakat, tapi kikuk karena harus mengelola uang berbilang jutaan rupiah. Padahal di berbagai pengalaman hidup sebelumnya, saya hanya dipercaya mengelola uang di bawah satu juta rupiah. Kikuk karena perasaan takut hilang selalu ada di hati. Ditambah lagi kondisi Rumah Media yang rawan kecurian. Tapi alhamdulillah, semua berjalan lancar sampai uang itu saya serahkan kembali pada ‘pihak yang berwajib’.
Sampai di sini dulu ya. Soalnya sudah capek ngetik. [Farid Ab, santri angkatan ke-1, jenjang SMA, Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis feature di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media
*gambar dari sini
KOMENTAR: Pemaparan sudah rapi, hanya saja kesan judul seperti, jika disimak isinya, sepertinya justru keunikanlah yang dirasa tak ada beda. Asal dikemas menarik, suatu hal yang ‘monoton’ bisa tetap menarik. Terus berlatih menulis agar kian lihai.
O. Solihin
Instruktur Kelas Menulis Kreatif