“Kesepian itu datang dari pikiran kita. Jika kita berpikir kesepian maka itulah yang akan kita rasakan. Namun bila kita berpikir keramaian maka keramian pula yang akan kita dapatkan.”
Pada umumnya, masyarakat Indonesia rutin melakukan mudik atau pulang ke kampung halaman menjelang Hari Raya Idul Fitri. Kebiasan mudik di Indonesia ini terjadi bagi mereka yang bekerja atau pun bersekolah di luar kota asal. Jika lebaran tiba, jutaan masyarakat Indonesia yang merantau akan berbondong-bondong pulang ke kampungnya masing-masing. Sehingga tidak diherankan bila mudik sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia di kala lebaran.
Tingginya antusias pemudik membuat kebanyakan dari mereka tidak mempedulikan kesulitan-kesulitan yang akan mereka alami dalam perjalanan mudik menuju kampung halaman. Mereka tidak peduli meski harus berdesak-desakan di stasiun, mengalami macet panjang, kenaikan tiket dengan drastis, dan masih banyak masalah-masalah lainnya. Itu semua mereka perjuangkan demi merayakan Idul Fitri di kampung halaman bersama keluarga tercinta.
Namun tidak semua diantara mereka dapat pulang ke kampung halaman masing-masing, bahkan banyak juga yang terpaksa harus menikmati kesendiriannya di ‘Kota Perantauan’ tanpa keluarga tercinta, tanpa teman-teman penghibur dan tanpa rutinitas sekolah seperti biasa. Hanya sendiri merayakan lebaran di tempat perantauan, karena semua teman-teman juga pulang mudik ke daerahnya masing-masing. Inilah yang terjadi pada pria berumur 26 tahun yang akrab di panggil ‘Mas Farid’ oleh teman-temannya.
Mas Farid merupakan salah satu santri di Pesantren Media Bogor yang memilik nama lengkap Farid Abdurahman. Ia merupakan santri angkatan pertama Pesantren Media yang berasal dari salah satu pulau penghasil garam terbesar di Indonesia, yaitu Madura.
Mas Farid terpaksa harus menghabiskan masa-masa liburannya di Kota Bogor, kota perantauannya saat ini. Semua itu terjadi karena suatu kendala yang mengakibatkannya tidak dapat mudik ke Madura, meski untuk sekedar melihat rumah pertamanya.
“Sebenarnya saya ingin pulang, tapi anggaran untuk pulang sudah terpakai untuk urusan yang lain. Jadi akhirnya rencana untuk pulang dibatalkan. Ini sudah tahun ke 2 saya tidak pulang selama ada di Jawa Barat. Padahal dulu saat di Jawa Timur pulang terus.” Tutur Mas Farid saat ditanya penyebab yang membuatnya bertahan di Kota Bogor.
Keinginan Mas Farid untuk mudik sebenarnya sangat kuat, tentu saja ia sangat rindu dengan kampung halamannya, selama 2 tahun terakhir ini ia tak pernah lagi melihat kota kelahirannya tersebut, yaitu Madura. Meski begitu, takdir ternyata mengaharuskannya tetap di Kota Bogor, namun Mas Farid tidak merasa kesal ataupun kecewa dengan semua itu.
Menurut pernyataan Mas Farid, sebenarnya ia merasa bosan saat awal-awal menjalani hari-hari liburnya di pesantren, tidak ada teman yang berada di sekitarnya, sangat berbeda dengan kesehariannya seperti biasa. Namun akhirnya, Mas Farid berpikir bahwa adakalanya seorang manusia berada di keramaian dan suatu saat ia juga akan sendiri seperti yang dialaminya saat ini, tidak selamanya ia akan terus berada di keramaian.
Menurutnya juga, semua ini merupakan salah satu episode hidupnya. Episode yang tetap harus ia jalani, termasuk kesendiriannya di saat lebaran. Ia tak masalah dengan hal ini, yang terpenting baginya adalah bagaimana ia tetap dapat menjalani perjalanan hidupnya dengan semestinya.
Menjadi satu-satunya santri Pesantren Media yang tetap bertahan alias tidak mudik ternyata sangat berat dijalaninya. Bahkan Mas Farid sendiri sempat merasa iri dengan teman-temannya yang lain, dapat pulang mudik bertemu keluarga, merayakan lebaran di kampung halaman, bertemu dengan teman-teman lama. Sedangkan ia merasa sendiri di kota perantaun ini, kesepian, dan harus tetap bertahan dari hempasan perasaan rindu yang kapan saja bisa datang menghinggapi tubuhnya.
Namun akhirnya di saat sepi tersebut, Mas Farid dapat menemukan cara yang dapat membuat dirinya terhibur. Karena pada akhirnya ia mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa semua itu tergantung dari apa yang kita pikirkan.
“Kesepian itu datang dari pikiran kita. Jika kita berpikir kesepian maka itulah yang akan kita rasakan. Namun bila kita berpikir keramaian maka keramian pula yang akan kita dapatkan.” Menurutnya.
Maka dalam hal ini, Mas Farid menerima apa adanya semua yang terjadi. Dan pada akhirnya ia dapat mengalahkan rasa sepi yang selalu merayapi tubuhnya.
Untuk melalui hari-hari panjang yang terasa kering tersebut. Mas Farid memanfaatkan banyak waktunya untuk melakukan berbagai kegiatan yang juga dapat mengatasi rasa kesepiannya.
“Sebenarnya sepi pasti ada, tapi karena pekerjaan menumpuk akhirnya satu-satunya untuk mengatasi rasa sepi adalah bercengkrama dengan pekerjaan yang menumupuk tersebut. Baik itu tugas-tugas pesantren, tugas dari DKM Masjid Nurul Iman, dan lain sebagainya.” Ujar Mas Farid.
Selama menjalani hari-hari di asrama. Mas Farid benar-benar merasakan kehilangan seorang teman, meski hanya untuk sementara. Jika biasanya banyak teman di asrama, kini ia hanya sendiri di asrama yang bernama ‘Rumah Media’ tersebut. Dan hal yang paling Mas Farid takutkan adalah ancaman maling yang sewaktu-waktu bisa datang menghampiri asrama dan juga akan mengancam keselamatannya. Namun Mas Farid memiliki cara untuk membuatnya merasa tetap tenang dan aman.
“Kalau malam saya kan tidur sendiri. Jadi saya mencari kamar yang bisa dikunci dengan menyanding sebilah pisau dapur untuk melakukan perlawanan kalau ada maling yang masuk dan juga saya mempersiapakan tongkat bekas gagang sapu yang sudah rusak sapunya.” Ujarnya dramatis.
Suka dan duka pasti dialami oleh siapa saja, dimanapun dan dalam kejadian apapun. Termasuk apa yang dialami Mas Farid saat ini, tidak mudik selama 2 tahun terakhir ini membuatnya memiliki banyak pengalaman yang tentunya tak terlupakan dalam perjalanan hidupnya.
Saat ditanya, Mas Farid merasa sedih karena ia sebenarnya ingin pulang namun tidak ada uang untuk pulang, dan juga kesepian karena hari lebaran hanya ia habiskan dengan kesendiriannya di Rumah Media. Tidak ada lagi rekreasi lebaran seperti yang sering ia lakukan saat di kota kelahirannya dulu, tak ada juga acara berkunjung ke rumah-rumah kerabat. Kecuali hanya kunjungan ke tetangga-tetangga dekat untuk mencicipi makanan yang mereka tawarkan.
Namu lagi-agi Mas Farid memperjelas, baginya ini bukan masalah besar. Yang penting orang tuanya di rumah sudah mengerti dengan masalah yang sebenarnya, mengenai alasan yang membuatnya tidak dapat mudik pulang ke kampung Madura. Mungkin yang dapat dilakukannya hanyalah berhubungan melalui telepon dengan orang tuanya.
Mas Farid bahkan bersyukur kepada Allah. Karena, meski ia tidak dapat berkumpul bersama keluarga tercinta di kampung halaman, namun ia mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat penting bahwa setiap kejadian di dalam kehidupan ini tidak selamanya harus menurut dengan apa yang kita mau, jadi di samping harus siap bahagia kita juga harus siap untuk merasakan kesedihan, termasuk kesendirian. Begitulah kurang lebih pernyataan yang terlontar dari perkataannya.
Pada intinya, Mas Farid tidak pernah mempermasalahkan dirinya yang sudah tidak mudik selama 2 tahun terakhir ini. Ia yakin bahwa semua ini merupakan bagian dari episode hidupnya yang harus ia jalani dengan semestinya. Meski ‘sendiri’ adalah kesimpulan akhir dari hari-harinya, itu tidak masalah baginya.
Atas semua yang telah terjadi dari kisah tak mudik yang dialami Mas Farid. Tentu ada sebuah pelajaran yang sangat berharga untuk kita semua, bahwa apapun yang terjadi, kita harus siap dengan setiap takdir yang telah Allah tetapkan, tidak hanya harus siap bahagia, tapi kita juga dipaksa harus siap merasakan kesedihan dan penderitaan. Dan setiap masalah pasti ada jalan keluar yang akan membawa kita pada sebuah pelajaran penting.
[Ahmad Khoirul Anam, santri angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis feature di Kelas Jurnalistik, Pesantren Media
*gambar dari sini