Oleh Farid Abdurrahman (santri Pesantren Media)
Kegiatan mudik di Hari Raya Idul Fitri merupakan sebuah tradisi tahunan yang selalu dinanti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang berada di rantau. Mereka biasa memanfaatkan momen ini sebagai salah satu cara mengobati kerinduan akan sanak keluarga dan juga suasana kampung halaman.
Namun ada juga dari orang-orang yang hidup di perantauan tidak bisa mudik karena berbagai alasan. Ada di antara mereka yang tidak bisa mudik karena tidak mempunyai cukup biaya, ada juga yang tidak mudik karena sakit, ada juga yang setia dengan pekerjaannya, dan ada juga yang tidak mudik karena sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Dan saya adalah salah seorang yang tidak bisa mudik pada lebaran kali ini. Bukan karena saya tidak mau mudik atau juga tidak rindu pada keluarga di kampung halaman, melainkan karena pada saat lebaran kali ini, kondisi keuangan saya sedang seret-seretnya. Sebenarnya saya bisa mudik asalkan menggunakan jasa angkutan kereta kelas ekonomi. Harganya murah meriah. Cukup dengan membayar Rp. 51.000, saya sudah mendapat tiket jurusan Jakarta – Surabaya.
Para pembaca mungkin akan bertanya, kenapa saya tidak menggunakan kereta ekonomi saja? Saya mungkin akan setuju menggunakan angkutan kereta ekonomi jika saya seorang diri. Masalahnya adalah saya tidak seorang diri. Ada juga Ibu saya yang saat ini berada di Bekasi yang juga ingin mudik ke kampung halaman kami di Madura, Jawa Timur.
Saya pernah mendengar penjelasan dari Ustadz Umar bahwa suasana di dalam kereta ekonomi sungguh tidak manusiawi terutama di saat menjelang mudik lebaran. Suasana di dalam gerbong kereta sungguh sangat menyesakkan. Banyak penumpang yang tidak mendapatkan tempat duduk berdiri berdesak-desakan. Berbagai macam aroma badan tercium di sana. Banyak juga di antara mereka yang duduk lesehan beralaskan koran. Bahkan ada di antara penumpang yang menggunakan toilet sebagai tempat duduk atau berdiri. Jika sudah seperti itu, banyak di antara penumpang yang tidak bisa pipis atau muntah di sana. Akhirnya mereka pipis dan muntah di kantong plastik. Jika mereka tidak membawa kantong plastik, maka mereka harus ikhlas pipis di lantai gerbong. Suasana terasa semakin runyam manakala yang naik ke atas kereta bukan hanya manusia, malainkan juga kambing, ayam, burung, dan lain semacamnya.
Saya yakin Ibu saya tidak akan kuat menghadapi suasana seperti itu. Saya juga merasa kasihan dan tidak rela jika beliau menderita selama di perjalanan. Maka saya jelaskan kepada beliau semua konsekuensi yang akan didapat jika kami tetap memutuskan mudik dengan menggunakan kereta kelas ekonomi.
Ibu memutuskan untuk tidak mudik. Kemudian beliau bertanya kepada saya apakah ada ide lain untuk mengisi kekosongan hari libur kerja beliau. Saya menawarkan Ibu untuk ke Bogor, berlebaran di tempat saya menuntut ilmu saat ini, Pesantren Media.
Sebenarnya saya mendapat tugas menuliskan pengalaman saya selama mudik lebaran. Akan tetapi, berhubung saya tidak mudik tahun ini, maka saya memutuskan untuk menuliskan cerita atau pengalaman selama saya berada di Bogor saja. Saya sempat kebingungan menentukan titik awal dan akhir cerita. Setelah saya pertimbangkan, saya memutuskan untuk mengawali cerita ketika Ustadz Umar mudik ke Magelang dan mengakhirinya ketika beliau sudah kembali ke Bogor. Itu berarti saya harus mencatat hal-hal menarik yang terjadi di rentang waktu antara tanggal 25 Agustus 2011 sampai dengan 3 September 2011.
Pada tanggal 25 Agustus 2011 dini hari, saya membantu Unstadz Umar membereskan barang-barang bawaan mudik beliau ke mobil. Sebenarnya malam itu saya tidak tidur sama sekali karena membantu Mas Dedy membersihkan kos-kosannya yang sudah habis masa bayarnya. Di pagi harinya Mas Lucky datang ke Rumah Media. Seperti biasa Mas Lucky langsung menyendiri mengerjakan hobinya yaitu membuat musik aransemen. Ketika dia sedang asik dengan musik aransemennya, saya pergi ke kamar untuk beristirahat setelah semalam suntuk tidak tidur.
Saya terbangun dari tidur ketika ada seseorang mengetok-ngetok pintu pagar. Setelah saya selidiki, nampak di depan pagar berdiri seorang lelaki kurus berambut agak panjang serta memakai kawat gigi. Saya tidak mengenal lelaki itu. Dia memandang ke arah Rumah Media dengan pandangan aneh dan menyelidik. Saya khawatir lelaki tersebut mempunyai maksud yang tidak baik. Oleh karena itu, saya memanggil Mas Lucky untuk menemani saya menyambut lelaki itu. Ternyata dia adalah orang yang penasaran dengan Pesantren Media dan ingin mendaftarkan anaknya.
Di hari selanjutnya, yaitu pada tanggal 26 Agustus 2011, Mas Lucky memindahkan peralatan sablon (clothing) dari rumanya ke Rumah Media. Peralatan ini nantinya akan dipakai sebagai alat praktek para santri. Mas Lucky sendiri yang nantinya akan mengajari para santri menyablon. Tidak hanya itu, Mas Lucky juga akan mengajari bagaimana cara memasarkan produk yang telah diproduksi. Dia juga akan mengajari para santri membaca dan mendapatkan peluang bisnis di bidang clothing.
Hari selanjutnya merupakan hari yang sangat saya tunggu-tunggu. Tanggal 27 Agustus 2011 merupakan tanggal di mana Ibu saya berencana pergi ke Bogor. Seperti biasa, manakala beliau akan ke Bogor, terlebih dahulu saya pergi ke Bekasi untuk menjemputnya. Saya khawatir jika Ibu saya tersasar jika beliau sendirian pergi ke Bogor. Tepat jam enam pagi saya berangkat ke Terminal Baranangsiang dan mencari bus jurusan Bogor – Bekasi Timur. Meskipun dalam suasana mudik lebaran, arus lalu lintas antar kedua kota ini lancar. Tidak ada kemacetan di sepanjang ruas jalan Tol Jagorawi. Kondisi ini memungkinkan bus yang saya tumpangi sampai di Bekasi kurang dari dua jam.
Sesampainya di Terminal Bekasi, saya bingung karena trayek angkot yang biasanya saya naiki ke tempat Ibu tidak ada. Saya tidak tahu penyebeb persisnya. Mungkin karena lebaran seudah dekat, para supir angkot libur. Tapi setelah saya pikir-pikir, itu tidak mungkin.
Akhirnya saya memutuskan berjalan kaki menuju tempat Ibu. Saya masih ingat waktu itu tengah hari sekitar jam 11.00 WIB. Saat itu saya sedang berpuasa. Jarak terminal ke tempat Ibu sekitar 5 kilometer.
Sore harinya bersama Ibu saya kembali ke Bogor. Sesampainya di Bogor Ibu membeli seikat Tales Bogor. Beliau penasaran dan ingin mencicipi tanaman umbi khas Kota Hujan ini. Setelah membeli Tales Bogor, Ibu beranjak mendekati seorang pedagang kaki lima yang berjualan peci. Ibu ingin membelikanku sebuah peci berwarna putih yang nantinya bisa saya gunakan ketika berhari raya.
Keesokan harinya di tanggal 28 Agustus 2011 Ibu merebus Tales Bogor yang dibeli. Berhubung tidak ada kompor di Rumah Media, maka kami merebusnya mengunakan magiccom/penanak nasi elektronik. Setelah matang, ibu mencicipinya. Ibu bilang bahwa ternyata rasa Tales Bogor itu biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa.
Pada tanggal 29 Agustus 2011 saya mendapat kabar bahwa Hari Raya Idul Fitri akan berbeda. Berdasarkan teknik hisab, Muhammadiyah menyepakati Hari Raya Idul Fitri jatuh pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011. Sedangkan Nahdatul Ulama berdasarkan ru’yatul hilal menyepakati bahwa Hari Raya Idul Fitri jatuh pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2011. Hal ini membuat saya bingung. Ikut lebaran versi Muhammadiyah atau Nahdatul Ulama. Di saat-saat kebingungan itu, Ustadz Umar sms bahwa sebenarnya lebaran jatuh pada hari Selasa mengingat hilal telah terlihat di Arab Saudi pada ketinggian antara 3,5 sampai 4 derajad. Namun meskipun ada yang melihat hilal, Pemerintah Indonesia tetap bersikeras menetapkan Hari Raya Idul Fitri pada hari Rabu dengan beralasan kesaksian orang-orang yang melihat hilal tidak dapat dipercaya.
Keesokan harinya suasana terasa begitu hampa. Suara takbir yang biasanya saling sahut-bersahutan kini tidak terdengar. Saya bersama Ibu bingung karena tidak tahu lokasi Salad ‘Ied digelar. Saya mencoba bertanya kepada jama’ah shalat subuh waktu itu. Kata mereka memang ada yang Shalat Ied hari ini namu lokasinya agak jauh. Salah seorang jama’ah memberitahu saya bahwa lokasi terdekat Shalat Ied adalah di daerah Pagelaran. Namun saya tidak bisa ke sana mengingat saya tidak tahu di mana lokasi persisnya.
Suara takbir baru menggema pada malam dan Selasa pagi. Banyak sms ucapan selamat berlebaran yang saya terima di hari Rabu. Di samping sms, hp ibu dan saya juga tidak sepi dari telpon keluarga dan kolega. Tidak sedikit dari mereka yang menanyakan perihal ketidakpulangan kami ke Madura. Kami pun menjelaskan semuanya hingga akhirnya mereka bisa menerima.
Besok paginya saya mendapat kabar dari berita di TV bahwa banyak negara-negara di dunia yang merayakan lebaran pada hari Selasa. Ini menunjukkan bahwa perhitungan yang disetujui Pemerintah Indonesia mengenai penetapan lebaran kurang akurat. Dan besar kemungkinan orang-orang yang diragukan kesaksiannya melihat hilal pada malam selasa itu merupakan orang-orang yang berkata di atas kebenaran.
Tanggal 2 Setember 2011 Ibu saya berencana membeli oleh-oleh untuk dibawa ke Bekasi. Kami sempat bingung mau membawa oleh-oleh apa. Akhirnya kami memutuskan membeli buah-buahan: satu kilo apel merah ditambah dua bungkus angggur. Setelah kami tiba di rumah kami kecewa. Anggur yang kami beli ternyata telah banyak yang busuk. Sebelumnya kami tidak mengetahui karena angur itu dibungkus dengan bungkusan yang rapi, cantik, dan menarik. Penjual buah-buahan yang curang menenpatkan anggur segar di luar sedangkan anggur yang busuk ditempatkan di bagian dalam sehingga tidak terlihat. Akhirnya kami mengganti dua bungkus anggur yang busuk tersebut dengan membeli dua buah melon.
Hari terus bergulir. Tak terasa sudah tanggal 3 September 2011. Ustadz Umar memberitahukan bahwa hari ini beliau telah balik dan akan segera sampai di Kota Bogor. Ibu juga, sesuai dengan jadwal, akan kembali ke Bekasi hari ini. Semua akan segera kembali seperti semula. Ibu kembali berkutat dengan pekerjaannya. Teman-teman santri akan segera kembali ke pesantren. Ustadz Umar beserta seluruh guru-guru kami akan kembali mengajar. Dan saya, Farid Abdurrahman akan menutup kisah ini guna menjalani kisah hidup selanjutnya.[]