Saat-saat di mana kita tak memiliki tenaga untuk melawan, kita masih bisa menulis. Saat-saat di mana suara kita dibungkam, kita masih bisa menulis. Saat-saat fisik kita dipenjara, kita masih bisa menulis. Lakukanlah perlawanan, meski dengan hanya menulis.
Memang, menulis bukan satu-satunya cara untuk melakukan perlawanan, tetapi menulis bisa menjadi satu cara untuk tetap menumbuhkan semangat perlawanan. Saat kita terdesak tak punya saluran untuk menyuarakan pendapat kita, menulis menjadi media untuk menggelontorkan gagasan dan pendapat kita agar dibaca banyak orang. Anne Frank, dalam ‘kesendiriannya’ menulis buku harian. Catatan harian itu ditulis Anne selama masa persembunyian di Prinsengracht–menghindari kejaran pasukan Nazi. Di kemudian hari, tepatnya tahun 1947, catatannya diterbitkan. Meski sekadar menulis catatan kecil, tapi ia berhasil merekam jejak kehidupan selama ia berada dalam kondisi tertekan. Dengan wawasannya, dia menyingkapkan hubungan antara delapan orang yang hidup dibawah kondisi yang luar biasa, menghadapi kelaparan, ancaman ketahuan dan dibunuh yang senantiasa hadir, sepenuhnya terasing dari dunia luar, dan terutama, kebosanan, kesalahpahaman yang remeh, serta frustrasi hidup dibawah ketegangan tak tertahankan, dalam tempat tinggal yang terbatasi.
Mengomentari catatannya ini, Chicago Tribune menulis: “Catatan Harian ini mengungkapkan impian-impian, kegetiran hidup, perjuangan, dan emosi…Memperingati setengah abad lebih Berakhirnya Perang Dunia II, Ada Baiknya kita membaca kembali sebuah kesaksian akan perjuangan jiwa dalam mengarungi sisi kejam kehidupan dunia.”
Okelah, ini satu contoh. Betapa dalam kondisi terjepit pun, kita bisa melawan–atau setidaknya–memberikan kabar kepada siapapun bahwa diri kita sedang terjepit. Menulis, adalah salah satu cara untuk memperjuangkannya.
Banyak kisah lain yang menceritakan bahwa menulis adalah satu bentuk perlawanan. Syeikh Sayyid Quthb, melalui buku-bukunya jelas melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman yang ada pada saat itu. Ketika fisiknya dibatas oleh jeruji penjara, ia tetap bisa melawan: dengan menulis. Buya Hamka, tetap bisa berdakwah, bisa berbagi ilmu, bisa melakukan perlawanan dengan menulis. Ketika beliau dipenjara, beliau tetap menulis dan bahkan ada satu karya fenomenal, yakni Tafsir al-Azhar. Menulis, satu bentuk usaha untuk melawan dan menaklukan tantangan hidup. Menulis menjadi senjata untuk melakukan perang opini.
Kita, generasi mutaakhirin ini, masih bisa membaca kisah-kisah heroik teladan kita di masa lalu. Rasulullah saw. melalui para sahabatnya yang bisa membaca dan menulis mengabarkan berdirinya kekuatan baru, negara Islam di Madinah, melalui surat-surat yang dikirim kepada para penguasa di sekitar Jazirah Arab. Secara tidak langsung, surat-surat yang ditulis itu sekaligus mengumumkan perlawanan kepada mereka. Bahwa ada kekuatan baru untuk menghentikan problem kehidupan yang terjadi saat itu. Ada yang menerima dan ada yang menolak. Kaisar Persia tak terima, maka dirobeklah surat dari Rasulullah saw. yang dibawa Abdullah bin Hudzafah as-Sahmy. Heraklius, Kaisar Romawi juga menolak dengan halus ketika menyampaikan pesan kepada Dhihya al-Kalbi, sahabat yang diutus Rasulullah saw. mengantarkan surat kepadanya: “Sampaikanlah berita kepada pembesarmu itu, bahwa aku tahu dia memang benar Nabi,tetapi apa daya, aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku tak mau ditumbangkan dari kerajaanku.”
Rasulullah saw. bersabda ketika surat yang dibawa utusannya dirobek-robek oleh Kisra: “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya pula.” Ketika Heraklius menolak dengan halus, Rasulullah saw. hanya berkomentar pendek, “sa uhaajim al-ruum min uqri baitii” (Akan aku perangi Romawi dari dalam rumahku). Ucapan Nabi saw. ini bukan genderang perang, ia hanya berdiplomasi. Tidak ada ancaman fisik dan juga tidak menyakitkan pihak lawan. Ucapan itu justru menunjukkan keagungan risalah yang dibawanya, bahwa dari suatu komunitas kecil di jazirah Arab yang tandus, Nabi yakin Islam akan berkembang menjadi peradaban yang kelak akan mengalahkan Romawi.
Dan Nabi benar, pada tahun 700-an, tidak lebih dari setengah abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw. (632 M), ummat Islam telah tersebar ke kawasan Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh ke tangan Alexander the Great. Selanjutnya, kaum muslimin memasuki kawasan yang telah lama dikuasai oleh Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. Menurut William R Cook pada tahun 711 M: “713 kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ke tangan Muslim dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke 7 kawasan itu cukup makmur. Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu dapat menjadi Muslim.”
Menulis adalah bagian dari perjuangan: melawan; menggerakkan. Tulisan yang mencerahkan mampu mengobarkan semangat dan menggerakkan kekuatan untuk melakukan perlawanan.
Jika Theodor Herzl menulis Der Judenstaat (1896) yang menginspirasi banyak kaum Yahudi untuk mendirikan negara Israel pada 1948 (sekitar 50 tahun setelah buku itu ditulis), kita juga bisa menggerakkan gelombang perlawanan–salah satunya–melalui tulisan. Sekaligus mengabarkan bahwa kaum muslimin juga bisa kembali punya kekuatan yang mendunia–sebagaimana sudah dirintis dan dibuktikan oleh Rasulullah saw., para sahabatnya dan seluruh khalifah hingga terakhir di Turki Utsmani yang berakhir pada 1924. Kita bisa membaca kisah masa lalu, melalui sebuah tulisan. Kita memiliki al-Quran, yakni kalamullah (ucapan Allah) yang ditulis kembali untuk dibaca umat manusia seluruh dunia. Kitab yang mampu memberikan penjelasan, memberikan kabar gembira dan peringatan.
Ya, menulis adalah salah satu cara dalam melakukan perlawanan. Selain tentunya menulis untuk berbagi informasi, berbagi wawasan, berbagi ilmu.
Akhirul keyboard, menulislah terus, dan teruslah menulis agar semangat perlawanan dan perjuangan tak pernah henti. Napoleon Bonaparte pernah berkomentar: “Aku lebih suka menghadapi seribu tentara daripada satu orang penulis”. Ya, seorang jenderal bisa mengerahkan kekuatan seribu tentara, tapi seorang penulis bisa saja menginspirasi ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, atau bahkan jutaan orang untuk melakukan perlawanan. Jangan berhenti nulis!
Salam perjuangan dan kemenangan ideologi Islam,
O. Solihin