Kilat menyambar, halilintar menggelegar. Itulah awal dari tulisan ini. Seketika itu juga, seluruh listrik di setiap sudut komplek Laladon Permai seolah tersedot menuju satu pusat –dan entah di mana kah pusat itu, yang tentu dalam hitungan sepersekian detik, komplek Laladon Permai sudah diselimuti dengan kegelapan yang mencekam di bawah guyuran deras dan naungan awan badai malam hari.
Lilin-lilin pun dinyalakan. Yang memiliki lampu baterai atau bahkan generator listrik, mereka segera menghidupkannya, demi kembalinya cahaya yang baru saja menghilang. Komplek perumahan itu kembali bercahaya, meski kilaunya tak seberapa dengan jika ditemani aliran listrik yang dapat menghidupkan lampu-lampu rumah.
Orang-orang mulai mulai menggerutu, mengeluh pada diri sendiri atau orang yang ada di sekitarnya tentang payahnya kinerja PLN. Setiap hujan deras dan halilintar, komplek perumahan ini dan sekitarnya selalu saja direnggut cahaya dan tanpa ampun beserta listriknya. Sungguh tidak adil, menyadari bahwa satu kilometer saja dari tempat tersebut, orang-orang sedang berselonjor nyaman di depan televisi yang menayangkan acara sinetron malam ditemani sepiring muffin hangat yang baru saja dikeluarkan dari oven listrik beberapa menit yang lalu.
Sementara kami yang di sini? Huh, keluh sebagian dari kami. Menurut ustadku, memang tanah di sekitar Laladon Permai ini memiliki kandungan besi yang tinggi, sehingga sangat rawan tersambar petir. Akhirnya, setiap kali ada hujan berbadai halilintar seperti ini, listrik pun dipadamkan demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kebakaran, kerusakan, atau arus pendek. Namun, bahkan setelah badai menyebalkan ini usai pun, listrik biasanya tidak akan cepat-cepat dinyalakan. Entah apa yang mereka nantikan, atau malah mereka lupa ya?
Di tengah tempias hujan dan angin lembut yang menampar-nampar pipiku tanpa daya dan gelapnya malam serta redupnya cahaya lilin, aku meringkuk di ujung sofa sambil menikmati orkestra natural dari perpaduan suara yang ada di sekelilingku. Hantaman hujan di permukaan jalan aspal dan jendela kaca, halilintar menyebalkan yang suka berteriak sesuka hatinya, suara Taqi dan Abdullah yang tak berhenti bertengkar, serta suara sendok dan kunyahan serta kecapan mulut dari lidah-lidah yang sibuk memutar-mutar makanan tak berdaya yang semakin melunak hancur.
Banyak orang yang menganggap mati listrik adalah sesuatu yang menyebalkan. Tidak bagiku. Suasana seperti itu adalah saat-saat yang sangat menyenangkan bagiku. Aku seolah-olah dapat merasakan sejenak kesendirian di antara keramaian orang yang bahkan tidak menyadari keberadaanku di antara mereka karena kegelapan yang menyelimuti. Pikiranku pun segera melayang ke belakang saat suatu malam, ibuku bercerita kepadaku bahwa Allah SWT telah menciptakan malam yang gelap sebagai pakaian, sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Naba’ ayat 10
“…dan Kami jadikan malam sebagai pakaian.”
Ketika itu, ibuku menjelaskan, malam itu disebut sebagai pakaian karena malam itu gelap menutupi jagat sebagaimana pakaian menutupi tubuh manusia.
Hingga kini, setiap kali listrik di Laladon Permai mati, aku selalu merenungi ayat ini dan tidak bisa berhenti memikirkannya. Sungguh maha besar Allah yang telah menciptakan malam yang dapat menyelimuti sebagian bumi dengan kegelapan total, hanya diterangi cahaya dari bebintangan dan rembulan.
Mati listrik dapat mengingatkanku pada ayat ini, karena saat listrik hidup, seluruh tempat seolah disoroti lampu modern yang dapat memberi cahaya yang cukup untuk melihat dengan pandangan yang terang. Tak ada pakaian di sudut-sudut. Hanya di tempat-tempat yang tidak ada lampu.
Di sudut di ujung sofa itu, aku tersenyum, dan kembali menikmati pakaian kesukaanku yang satu ini. Aku memejamkan mata, dan mendadak pikiranku menjadi sangat tenang mengingat kemahabesaran Allah SWT. Dia-lah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan segala hikmah dan maanfaatnya. Tak ada suatu hal pun yang telah Dia ciptakan tanpa ada manfaatnya.
Subhanallah…
[Hawari, santri Pesantren Media]