Loading

Pada tulisan kali ini, aku akan membagikan sedikit pengalamanku saat pergi ke IBF di Senayan Jakarta. Ini adalah kunjungan pertamaku ke Pameran Buku Islam yang diselenggarakan di Senayan Jakarta. Perjalanan kali ini sebenarnya merupakan program dari Pesantren Media, seluruh santri dianjurkan untuk ikut mengunjungi Pameran Buku Islam terbesar di Indonesia ini.

Tak usah berlama-lama, cerita pun dimulai.

Jam 8 kurang, sesuai instruksi yang telah diumumkan. Aku dan teman-teman ikhwan lainnya pun berangkat ke Pesantren Media, di situlah tempat seluruh santri berukumpul sebelum berangkat.

Aneh bin ajaib, sesampai di Pesantren, aku tak menemui sehelai orang pun (memangnya daun). Dan tak lama kemudian, ada salah satu santri akhwat yang mengatakan bahwa keberangkatan diundur satu jam, jadi berangkatnya jam 9.

Ya sudahlah, pasrah saja. Padahal tadi sudah bersemangat, ternyata ditunda. Aku sedikit kesal dengan penundaan ini, kenapa tidak diberi tahu sejak awal?! Jadi, kan nggak usah capek-capek datang awal begini. Tak hanya aku, beberapa teman ikhwan lainnya pun terlihat sedikit kesal.

Singkat cerita, sudah jam 9. Wah, enak ya kalau dalam tulisan, tiba-tiba sudah jam 9. Padahal pada saat itu, rasanya lama sekali aku menunggu 1 jam tersebut. Belum lagi, waktu selalu terasa lambat jika ditunggu, jam-nya malu kali kalau dilihatin terus.

 

  • Perjalanan berangkat

Sebelum beragkat, Ustadz Umar memberikan sedikit pengumuman dan pengarahan kepada kami. Diantaranya adalah masalah keberangkatan. Keberangkatan dibagi menjadi 2 rombongan. Rombongan pertama, akan berangkat menggunakan mobil yayasan, yang akan dikemudikan oleh Ustadz Umar. Sedangkan rombongan yang kedua, berangkat menggunakan KRL ‘Commuter Line’, yang akan dipimpin oleh Kak Dedy, beliau merupakan guru sanggar musik di Pesantren Media.

Aku termasuk dalam rombongan kedua, bersama 12 orang lainnya, yaitu: Kak Dedy, Kak Farid, Musa, Yusuf, Abdullah, Taqi, dan 6 orang akhwat lainnya.

Kami berangkat dari pesantren sekitar jam setengah sepuluh menggunakan Mobil Panther. Dan kira-kira jam 10, kami pun sampai di Stasiun Bogor. Kemudian, Musa yang ditugaskan sebagai bendahara membeli 13 tiket kereta jurusan Cawang, harga tiket tak terlalu mahal, Rp.9000 per tiket. Usai membayar tiket, kami langsung menuju gerbong kereta tujuan. Suasana di dalam kereta masih sangat lengang, sehingga kami semua berhasil mendapatkan tempat duduk.

Aku duduk di salah satu kursi paling pinggir, berdekatan dengan pintu keluar, kedua mataku tak ketinggalan  untuk menysusuri keadaan di dalam kereta, ini adalah pertama kalinya aku naik kereta. Hanya hatiku yang berbicara. “Beginikah suasana dalam kereta?” Aku bertanya-tanya sambil tertegun, ternyata mirip seperti yang kubayangkan sebelumnya.

Tak lama kami menunggu, sekitar jam setengah 11. Kereta akhirnya mulai berjalan, ini adalah saat yang paling kutunggu-tunggu. Seluruh pintu kereta tertutup secara otomatis, dan suara roda kereta sedikit berdecit, menimbulkan suara yang tak enak didengar. Kereta pun melesat perlahan, hingga akhirnya sampai pada puncak kecepatannya. Cepat. Saking cepatnya, pemandanagan di luar jendela tak dapat benar-benar kunikmati. Dimensi ruang terlalu cepat berganti dan berpindah-pindah.

Ada banyak satasiun yang kami singgahi dari Bogor menuju Cawang ini, aku tak tahu berapa tepatnya, mungkin sekitar 13 stasiun. Setiap kali singgah, selalu saja ada tambahan penumpang. Hingga, suasana di dalam kereta semakin penuh. Untugnya, aku sudah mendapat tempat duduk.

Sekitar45 menit perjalanan, atau tepatnya jam 11:18, kami pun akhirnya sampai di Stasiun tujuan kami, yaitu Stasiun Cawang. Kami keluar, merenggangkan badan, melepas pegal setelah beberapa lama duduk. Tapi perjalanan belum selesai, kami masih harus berjalan menuju Halte Busway. Meski tidak terlalu jauh, sudah cukup membuat kaki-kaki kami kelelahan.

Seperti biasa, sebelum naik busway, kami harus membayar karcis Rp.3500. Tapi, tidak semudah itu juga, kami masih harus antri beberapa lama di halte untuk menunggu busway yang benar-benar mampu menampung semua jumlah rombongan kami yang berjumlah 13 ini. Cukup lama kami menunggu di halte ini.

Namun setiap penantian selalu ada akhirnya,  setelah cukup lama menanti, kami pun berhasil merangsek masuk ke dalam salah satu busway. Tak jauh dengan suasana di kereta, saling berdusel-duselan, dan senggol-senggolan tak terelakkan lagi. Dan kali ini, kami semua harus rela berdiri hingga akhir tujuan.

Di salah satu halte yang sudah direncanakan sebelumnya, kami turun. Lega rasanya, meninggalkan suasana ‘sumpek’ di dalam busway. Belum terlalu lega, hari semakin siang, matahari semakin meninggi, suasana pun semakin panas, tapi perjalanan belum selesai sampai di sini. Rombongan pertama, yang berangkat menggunakan mobil yayasan sudah mengabarkan kepada kami bahwa mereka sudah sampai di Senayan Jakarta.

Atas beberapa pertimbangan, akhirnya kami putuskan untuk menyelesaikan sisa perjalanan dengan berjalan kaki, dari halte busway menuju Istora Senayan Jakarta. Ternyata cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki, kurang lebih sekitar 200 M.

Akhirnya sampai. Tak terasa, ternyata sekarang sudah sekitar jam 1. Pantas saja, kakiku sudah terasa pegal, padahal belum sempat melihat-lihat stand yang ada di dalam. Kami langsung mencari rombongan pertama di tempat yang sudah ditentukan. Singkat pencarian, akhirnya ketemu juga. Sekarang seluruh santri rombongan sudah berkumpul. Sungguh terasa sekali perjalan ini, namun tak terasa jika hanya kutuangkan dalam tulisan ini, 2 halaman sudah kuhabiskan hanya untuk menceritakan perjalanan ini.

 

  • Menjelajah ke Dunia Buku

Pandanganku tak bisa memusat, berpindah-pindah melihat setiap ‘lekukan’ daerah asing yang baru kukunjungi ini. Istora Senayan begitu penuh dengan antusiasme orang-orang yang rata-rata mencari buku. Begitu ramai, aku tak bisa menemukan sebuah kalimat konotasi yang tepat untuk menggambarkannya.

Sebelum mulai berkelilling mengunjungi stand-stand yang tersedia. Perut memaksa kami untuk makan terlebih dahulu, kemudian Sholat Dzuhur. Untuk berwudhu saja kami harus antri, sungguh pemandangan yang indah, melihat orang-orang saling berebut untuk sholat.

Usai sholat,  barulah aku dan Kak Farid mulai masuk ke dalam, mulai menjelajahi dan melihat-lihat isi ruangan yang menjadi tujuan utama. Baru saja masuk, mataku sudah dimanjakan dengan pemandangan yang luar biasa, seperti kerumumanan rayap yang sedang berlalu-lalang menggerogoti kayu. Ramai sekali.

Kami terus bejalan. Sambil melihat-lihat buku yang sudah sengaja disediakan untuk memanjakan para tamu yang berdatangan. Dan tahukah kalian, untuk melangkah saja, kami memerlukan waktu berlipat-lipat lebih lama dari biasanya, kami harus pandai menemukan celah yang tepat untuk melangkahkan kaki. Itu adalah efek antusiasme warga yang luar biasa. Tapi, semua itu tak menyurutkan semangatku untuk terus menjelajah. Perlahan, aku mulai merangsek masuk lebih jauh.

Tak terasa, aku dan Kak Farid akhirnya sampai di panggung utama. Di panggung utama ini, pengunjung juga tak kalah banyak. Berjajar beberapa stand dari penerbit-penerbit buku terkenal di Indonesia, seperti Mizan, Gramedia, Republika, dan masih ada lagi yang lainnya. Aku tak mau ketinggalan, maka aku masuk ke dalam stand buku Mizan, dan tentunya aku berharap dapat menemukan buku yang sedang kucari sejak tadi. Dan ternyata, aku tak dapat menemukan buku tersebut.

Aku dan Kak Farid kemudian pindah menuju stand buku Gramedia. Baru saja masuk, aku langsung menemukan barisan buku yang aku cari, tak usah berlama-lama, langsung saja kuambil satu buku tersebut dan membayarnya di kasir.

Mendapatkan satu buku belum membuatku puas, aku dan Kak Farid masih saja menjelajah dunia buku ini, mencari dan berharap ada buku yang dapat ‘memikat’, kapan lagi ada diskon seperti ini. Kaki yang sudah semakin lelah sama sekali tidak mengurangi semangat kami, hingga tak terasa aku sudah berjalan cukup lama, dan ternyata sudah memasuki waktu Ashar. Aku dan Kak Farid pun langsung menuju tempat wudhu dan harus antri terlebih dahulu, kemudian Sholat Ashar.

Usai sholat, aku masih belum menyerah untuk melihat-lihat ke dalam Gedung Istora Senayan, namun kali ini bersama Musa, karena Kak Farid nampaknya sudah merasa kelelahan. Suasana di dalam seperti sebuah dunia buku, penuh bermacam-macam buku, membuat kaki-kaki tak pernah lelah untuk terus berjalan. Hingga tak terasa, aku sudah berhasil mendapatkan dua buku lagi, sedangkan Musa ‘memborong’ banyak buku, terhitung ada sekitar 6 buku yang ia beli. Mumpung lagi diskon.

Ternyata 3 buku yang kubeli tersebut telah membuat isi dompetku menipis. Untuk menghindari habisnya perbekalan uangku, aku pun langsung keluar, takut jika saja ada buku yang tiba-tiba ‘menggodaku’. Ngeri sekali, kalau uangku sampai habis.

 

  • Perjalanan pulang

Sekitar jam 5, aku dan rombongan lainnya pun akhirnya harus mengakhiri jalan-jalan kali ini. Kami harus pulang, untuk menghindari sampai hingga larut malam. Perjalan pulang tak jauh berbeda dengan keberangkatan tadi.

Kami harus berjalan terlebih dahulu dari Istora Senayan ke Halte Busway, kurang lebih sekitar 200 M, terasa jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi tak apalah, perjalan tetap terasa menyenangkan, kehadiran teman membuat perjalan terasa lebih berwarna, labih menyenangkan, dan tentunya rasa lelah pun menjadi berkurang.

Sampai di Halte yang telah ditentukan, tak butuh waktu lama menunggu, kami langsung mendapati salah satu Busway yang cukup menampung jumlah kami yang tidak sedikit. Keadaan di dalam tidak  seperti saat berangkat, kini terasa lebih longgar, bahkan aku dan teman ikhwan lainnya berhasil mendapatkan kursi duduk, lumayanlah untuk mengistirahatkan kaki sejenak.

Singkat cerita, kami telah sampa di Stasiun Cawang. Usai membeli tiket, kami menunggu kedatangan kereta di kursi yang telah disediakan. Cukup lama kami menunggu, namun sekitar jam 8 kurang 15 malam, kami pun naik ke dalam kereta. Sayang sekali, kereta penuh, tidak ada lagi kursi kosong. Terpaksa, kami semua berdiri. Sesekali aku dan beberapa teman lainnya duduk di lantai kereta karena merasa sedikit kelelahan.

Akhirnya, perjalanan segera berakhir, kami sampai di Stasiun Bogor, Kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan Mobil Panther. Cerita pun berakhir ketika kami sampai di Rumah Media (asrama Ikhwan, Pesantren Media).

18 Maret 2013. Bogor

 

[Ahmad Khoirul Anam, santri angkatan ke-2 jenjang SMA, Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis laporan perjalanan di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

By anam

Ahmad Khoirul Anam, santri angkatan ke-2, jenjang SMA di Pesantren Media | Blog pribadi: http://anamshare.wordpress.com | Twitter: @anam_tujuh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *