Loading

Korupsi di Indonesia kini sudah sangat merajalela. Korupsi telah berkembang secara sistemik, sehingga ia tidak lagi dianggap sebagai sebuah pelanggaran hukum, melainkan sebuah kebiasaan. Banyak oknum pemerintahan dari berbagai tingkat jabatan dan sosial ramai-ramai melakukan tindak kriminal ini. Maraknya korupsi di Indonesia ini pun memunculkan adanya tindak pemberantasan korupsi, namun tetap saja masalah ini belum bisa dituntaskan hingga hari ini. Sehingga, hasil penelitian dari perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan bahwa Indonesia terdapat di peringkat yang sangat rendah. Hal ini pun semakin diperparah dengan tindak pemberantasan korupsi yang tak juga menemukan titik terang, sehingga masalah korupsi di Indonesia seolah tak kunjung dapat diselesaikan.

 

Korupsi adalah tindakan dari pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legalmenyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak (dikutip dari situs Transparansi Internasional www.ti.or.id). Dalam artian yang luas, korupsi bisa diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan resmi demi mendapat keuntungan pribadi.

 

Pada tahun 2001 silam, Transparansi Internasional mengadakan survey persepsi (anggapan tentang korupsi oleh rakyat) dan hasilnya pun cukup memprihatinkan. Indonesia termasuk dalam tiga belas negara dengan angka korup tertinggi di dunia, bersanding dengan Rusia, Bolivia, Pakistan, dan negara-negara lainnya yang memiliki angka korupsi yang tinggi. Bahkan, menurut data Indeks Persepsi Korupsi dari Transparansi Internasional, angka korupsi dalam satu dekade terakhir (terhitung dari 2001 – 2011) menunjukkan angka yang mengejutkan, bahwa setiap tahun angka korupsi di Indonesia terus meningkat.

 

Hal ini pun semakin diperparah dengan pemberantasan korupsi di Indonesia yang sering tidak tuntas dan jarang menemukan titk terang. Korupsi pun menjadi semacam kebiasaan warisan dari generasi ke generasi. Korupsi di Indonesia seolah sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdakaan, era Orde Lama, kemudian berlanjut pada era Orde Baru lalu era Reformasi, namun tak kunjung ada akhirnya hingga kini. Menurut ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, korupsi merupakan peninggalan masa lalu kemudian berevolusi, dan kini praktiknya semakin canggih.

Tentu kemudian, masyarakat pun ramai menyangsikan keefektifan hukum pidana atas kasus korupsi di negeri ini. Berdasarkan kasus-kasus korupsi akhir-akhir ini, kita dapat melihat bahwa betapa rendahnya ketegasan hukum di negeri kita ini, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Contoh beberapa kasus yang menunjukkan betapa rendahnya kualitas hukum bagi koruptor di Indonesia adalah sebagai berikut:

 

Kasus Suap Kepengurusan Izin Perkebunan di Buol

Terdakwa: Hartati Murdoyo Poo, Direktur PT Hardaya Inti Plantation

Vonis: 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp150.000.000 subsider 3 bulan kurungan.

Detai kasus: Menyuap bupati Buol Amran Batalipu senilai Rp 3 Miliar

 

Kasus Dugaan Suap Kepengurusan Anggaran Proyek Kemendiknas

Terdakwa: Angelina Sondakh

Vonis: 4 tahun 6 bulan kurungan dan denda Rp250.000.000 subsider kurungan 6 bulan.

Detail Kasus: Menerima suap dari Group Permai senilai Rp2,5 miliar dan 1.200.000 USD

 

Kasus Suap Cek Perjalanan

Terdakwa: Nunun Nurbaeti dan Miranda Gultoem.

Vonis: 2 tahun 6 bulan dan 3 tahun penjara, denda Rp100 juta subsider kurungan 3 bulan

Detail kasus: Menyuap 26 anggota DPR dengan cek perjalanan senilai Rp 20,8 miliar.

 

Hukum dan hukumannya, pada hakikatnya memiliki 3 fungsi. Fungsi pertama, membatasi pelaku. Hukuman menghalangi terjadinya pengulangan tingkah laku yang tidak diharapkan. Kedua, bersifat mendidik, baik bagi sang terdakwa maupun masyarakat secara luas. Ketiga, memperkuat motivasi untuk menghindarkan diri dari tingkah laku yang tak diharapkan, dalam kata lain menumbilkan efek jera. Dengan contoh hukuman yang diterapkan untuk terdakwa korupsi di atas, apakah para koruptor akan merasa jera? Dan jika kesimpulannya tidak, maka pantaskah hukum di neger ini dinyatakan ‘berfungsi’ dengan baik?

 

Dalam menjalankan sebuah negara, dibutuhkan adanya hukum sebagai alat kontrol perilaku. Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar, tentunya hukum yang seharusnya dipakai bukanlah sembarang hukum.  Allah S.W.T berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 49; “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”

 

Jika pertanyaan selanjutnya adalah mengapa harus menggunakan hukum yang diturunkan Tuhan? Mengapa jalan keluarnya adalah hukum yang diturunkan 1.400 tahun yang lalu? Bukankah yang terpenting itu adalah law and order, adanya hukum dan penegakan?

Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Dan tentunya, seorang mukmin tidak pernah berpendapat sebelum dia bertanya kepada Allah dan RasulNya, terutama mengenai masalah yang bersifat fundamental dalam hukum, seperti hukum dalam bernegara dan hukum yang diterapkan di dalam negara itu sendiri. Hukuman untuk koruptor dalam Islam sebagaimana fakta sejarah yang ada, telah terbukti dapat memberikan efek jera dalam pengontrolan perilaku dalam kehidupan bernegara, sehingga masyarakat dan negara yang tercipta adalah masyarakat yang damai, tentram, makmur, dan jauh dari perbuatan-perbuatan dan tindak kriminal yang merugikan negara dan masyarakat luas seperti korupsi.

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S Al Maidah ayat 50)

By Hawari

Hawari, santri angkatan ke-2 jenjang SMA di Pesantren Media | Blog pribadi: http://downfromdream.tumblr.com | Twitter: @hawari88

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *