Ayah terlihat sibuk di sudut ruangan, memasangkan kemejanya yang sudah disetrika rapi lalu menyemprotkan parfum ke bajunya. Aroma parfum itu sangat kusuka. Ayah tidak lupa menyalakan obat nyamuk supaya kami tidak digigit nyamuk malam ini.
Aku dan saudara perempuanku menatap ayah dari tengah ruangan, tidak ingin ia pergi malam ini. Ibu sedang menginap di rumah temannya, dan ayah harus mengunjungi acara dadakan bersama teman-teman satu oraganisasinya. Hujan di luar sangat deras, dan kegelapan yang menyelimuti malam hari ini terasa lebih pekat dari malam-malam sebelumnya.
“Ayah… jangan pergi ayah… Kami takut.” Kakak perempuanku yang lebih tua satu tahun dariku berkata kepada ayah.
“Iya ayah… Aku juga takut.” Aku menambahkan. Usia kami saat itu adalah 9 dan 8 tahun, masih sangat kecil.
“Ayah cuma pergi sebentar Dinda, Aldo. Nggak akan lama-lama kok. Nanti kalau acaranya selesai, ayah pasti langsung pulang. Ayah janji. Nanti ayah bawakan oleh-oleh lho.”
Mendengar itu, kami sedikit terhibur. Kami sangat suka oleh-oleh.
Ayah berpamitan, lalu menyalakan mobilnya dan langsung melaju menembus kegelapan malam yang basah berhujan.
Aku dan kak Dinda bersembunyi di bawah selimut dengan takut. Tiba-tiba saja lampu mati. Kami berpegangan tangan erat, dan kak Dinda mulai menangis. Lampu hidup kembali beberapa menit kemudian.
Hujan deras di luar masih belum berhenti. Tiba-tiba kami mencium bau bunga yang sangat wangi. Saking wanginya, sampai-sampai membuat kami ketakutan. Kak Dinda meringkuk semakin jauh ke dalam selimutnya, sementara aku berusaha mencari sumber bau wangi itu.
“Aldo jangan! Bisa saja itu hantu kuntilanak! Atau pocong!”
Aku berusaha untuk tidak memikirkan hantu, karena kalau hantu semakin dipikirkan, semakin kita takut.
DUKK!
Sebuah suara mendadak terdengar. Kak Dinda menjerit keras lalu menangis. Aku hampir segera berlari dan bergabung bersama kak Dinda di bawah selimut, meringkuk ketakutan sambil menangis. Tapi aku tidak melakukannya. Aku berusaha mencari sumber suara itu.
Ternyata itu ulah Kitty! Kitty adalah kucing persia besar pemalas milik kami. Dia tadi mengejar tikus di loteng, lalu terjatuh di sebuah lubang dan menubruk tumpukan kertas meja bekerja ayah.
Aku tertawa terpingkal-pingkal. Tapi bau wangi itu masih ada. Aku tidak jadi tertawa lagi. Aku mengendus-endus ke seluruh ruangan. Hawa semakin dingin dan suasana semakin mencekam. Bau wangi itu semakin kuat saja semakin aku berjalan. Aku menyelidiki parfum ayah. Hmm, ternyata baunya tidak seperti bau wangi yang sedang menguar, beda sekali malah.
Bau wangi menjadi sangat kuat ketika aku mendekat obat nyamuk.
Ternyata itu obat nyamuk! Ayah membakar obat nyamuk paling baru, aromanya lavender. Aku pun tertawa terbahak-bahak dan kak Dinda juga ikut tertawa. Kami sudah tidak takut lagi. Kami menyalakan TV, lalu menunggu ayah dan ibu pulang.
Ternyata, hantu itu tidak ada.
[Hawari, santri angkatan ke-2 Pesantren Media]