Kita lanjutkan kisah 1001 tentang Banda Aceh…
EKONOMI, POTENSI, BUDAYA
Tajak u blang la ta jak koh
Pade teungaoh ka rot.
Nangroe Aceh nyoe Seuramoe Meukah
Nangroe meutuah pusaka kaya
nangroe jih ubit hase meulimpah neubri le Allah Nyang Maha Esa…[1]
Budaya Aceh leupah that ceudah… kaleuh keu hijrah ban sidom donya.[2]
Seudati rapa’i saman.. ranup lam puan[3]… serune kale[4].
–penggalan lirik lagu Keuneubah yang di populerkan oleh Liza Aulia—
Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk.
Tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman, tepatnya ketika kita keluar dari perkarangan Masjid, Anda langsung menemui Pasar Atjeh. Pasar ini merupakan sentral pemutaran perekonomian Banda Aceh. Setidaknya ada ribuan pedagang yang mencari nafkah disini. Mereka menjajakan berbagai barang, mulai dari pakaian, tekstil, ranup/sirih, sayur-mayur. Namun belakangan Pasar Atjeh sudah ditata ulang menjadi lebih rapi dengan hanya menjual sandang saja. Namun, jika anda berjalan menyusuri emperan pertokoan, pasti yang menghiasi lensa mata Anda adalah toko emas. Yuhuii.. Aceh sangat terkenal dengan kemurnian dan kualitas emasnya. Sehingga harga jual emas Aceh relatif tinggi yang mempunyai karat 99,999 %.
Emas dan warga Aceh sangat erat kaitannya. Bagaimana tidak, emas bukan hanya alat investasi namun semacam budaya yang erat untuk memiliki logam mulia ini. Sudah adat jika gadis-gadis Aceh dipinang dengan mahar ber-mayam-mayam[5] emas. Tambang emas di Aceh terdapat di Woyla, Aceh Jaya. Tak hanya emas, tambang batubara pun terdapat di daerah Meurebo, Meulaboh, Aceh Barat.
Pertanian
Bercocok tanam atau yang dalam Bahasa Aceh disebut meugoe, sudah menjadi tradisi warga Aceh dari dulu. Sektor pertanian adalah motor penggerak perekonomian masyarakat Aceh. Pada 2005, memiliki lahan sawah beririgasi teknis seluas 96.683 ha. Namun setelah tsunami banyak orang Aceh yang beralih profesi menjadi pengusaha dengan menimbun sawah dan menyulap sawah itu deretan ruko-ruko untuk disewakan. Pasalnya, pasca tsunami banyak para pendatang yang menetap di Banda Aceh menuntut Banda Aceh sebagai kota dengan pusat bisnis dan perdagangan. Apalagi dari tahun 2004-2009 kucuran dana dari donatur di seluruh dunia berkumpul di Aceh. Belum lagi banyak para NGO asing yang bertugas di Aceh. Hal itu memberikan peluang perhotelan serta restoran cepat saji yang sekarang bersileweran di kota Banda Aceh. Seperti Swiss Bell Hotel yang pernah ada di Banda Aceh namun karena pajaknya yang tinggi lalu di alihkan ke pemilik asing lainnya yang berubah nama menjadi Hermes Palace Hotel yang terletak di Lampineung.
Kuliner
Banda Aceh dengan kota yang hampir secara keseluruhan dikelilingi oleh laut, otomatis sektor bahari juga sangat diperhitungkan. Puluhan ton setiap harinya di tempat pelelangan ikan di Lampulo. Tak heran jika pola makan orang Aceh umumnya adalah ikan. Olahan ikan di Aceh beragam. Cita rasanya pun dominan Asam dan Pedas. Beda jika pedas ala Sunda yaitu pedas rawit. Pedas ala Aceh, berasal dari rempah-rempah. Yaitu pala, cengkeh, lada, ketumbar dll yang membuat cita rasa masakan yang tinggi. Konon kabarnya, dahulu sebelum ada ajinomoto dan penyedap-penyedap instan lainnya, orang Aceh menggunakan ganja kering yang sudah menjadi serbuk untuk dijadikan penyedap rasa. Tentu lebih alami dibandingkan penyedap rasa sekarang yang mengandung pengawet serta MSG.
Penulis sendiri pernah merasakan Gulai Kambing Aceh yang sudah ditambah serbuk ganja, rasanya memang lebih nikmat. Namun jika dikonsumsi tidak sesuai takaran akan menyebabkan efek samping. Seperti pusing dan mual.
Olahan ikan yang popular adalah ikan keumamah yakni ikan tongkol yang di jemur dan dikeringkan. Lalu diasap, proses terakhir potongan ikan keumamah itu ditepungi.
Agar bisa dikonsumsi langsung dengan cita rasa yang enak yaitu dengan cara memasaknya dengan bumbu-bumbu dan rempah-rempah yang khas. Satu bumbu inti yang memengaruhi cita rasa yang khas itu ada asam sunti>>belimbing yang dikeringkan dan diberi garam.
Setelah ada lagi kuliner khas Aceh yang telah mendunia Mie Aceh. Lagi-lagi rasanya yang sangat khas serta memiliki bumbu rempah-rempah rahasia semakin nikmat di lidah. Jika Anda berplesir ke Banda Aceh akan dengan mudah mendapat kan warung-warung yang menjual Mie Aceh.warung Mie Aceh yang terkenal adalah MIE RAJALI yang terletak di pusat perdagangan Kota Banda Aceh di Peunayong.
Nah selain itu minuman yang paling khas di Aceh apa lagi kalau bukan kopinya. Tidak di kota, di kampung-kampung, anda dengan sangat mudah menemukan warung kopi. Dari warung kopi yang sangat sederhana, hingga ada warung kopi yang telah memiliki seistem waralaba. Seperti warkop Solong Coffe, Dhapu Kuphi, Ring Road, Mount Kuphi dan banyak lagi. Bagi pria Aceh, apalagi Aceh Besar, memang sudah tradisi mereka duduk dan bersantai sejenak di warung kopi. Di warkop ini juga terjadi buadaya diskusi atau pada zaman dahulu hikayat lisan. Tak jarang tokoh-tokoh politik yang berdatangan ke warkop hanya untuk mengobrol ria bersama rakyat jelata.
Konon kabarnya dalam sehari mereka dapat menghabiskan hingga 5 gelas kecil koi dala sehari. Kopi yang disajikan adalah Kopi Ulee Kareeng (Arabica). Kopi ini memililki aroma yang sangat harum serta cita rasa yang dahsyat. Di Aceh sendiri banyak jenis kopi. Namun yang paling terkenal itu hanya Kopi Ulee Kareeng (di Banda Aceh) dan Kopi Gayo ( di Aceh Tengah). Sekarang kopi Gayo ini menjadi produk unggulan di kelas dunia dan menjadi peringkat pertama setelah kopi Brazil.
Dalam penyajian kopi di warung-warung yang menjamur di Kota Banda Aceh ini pun terbilang unik dan menarik para wisatawan yaitu dengan cara menuangkan kopi panas yang telah diseduh ke dua gayung stainless secara bergantian, dan tak lupa saringan kopi yang tak lazim—saringan kopi yang berbentuk jarring yang panjang.
Masih banyak lagi kuliner yang khas di Banda Aceh ini. Anda bisa merasakan betapa lezatnya kuliner Aceh ini hingga Anda akan ketagihan dan selalu rindu akan cita rasa yang dipenuhi rempah-rempah yang hmmm nyummmy..
Senjata dan Perhiasan
Aceh juga mempunyai senjata pusaka yang khas yaitu Rencong. Pada zaman dahulu Rencong ini digunakan para pejuang Aceh untuk melawan kafir Belanda. Desainnya unik. Bentuknya terinspirasi dari bentuk tulisan arab BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM. Hingga sekarang senjata khas Aceh itu masih dijaga kelestariannya. Akan tetapi dalam penggunaan yang berbeda. Sekarang, Rencong ini hanya sebagai cindera mata yang dipajang. Rencong juga biasanya disematkan di pinggang pada pengantin pria Aceh. Selain itu bentuknya yang khas, rencong ini huga dikreasikan sebagai bros aksesoris kerudung wanita dan bros aksesoris pada peci Pria.
Aceh juga mempunyai ke-khasan lainnya yaitu bentuk ukiran Pinto Aceh. Jika Anda mengunjungi Aceh lintas perbatasan Medan, maka tepat di perbatasan itu Anda akan menjumpai pintu gerbang yang sangat besar yang berukiran sangat indah. Nah ukiran dan bentuk Pinto Aceh ini lah menjadi parameter cita rasa seni yang tinggi untuk para seniman di Aceh. Mereka membuat bentuk dan ukiran Pinto Aceh ini dalam berbagai aksesoris, ada gelang, cincin, mata kalung, hingga bros. Sangking indahnya bentuk dan ukiran Pinto Aceh yang khas ini, penulis pernah melihat ada bros plastic made in Korea yang persis bentuknya seperti Pinto Aceh.
Tarian dan Seni Budaya
Apa tarian Aceh? Ya penulis yakin Anda semua pasti menjawab Tari Saman. Tepat sekali. Sebenarnya tarian khas Aceh bukan hanya itu saja. Dan penulis amati belakangan ini penafsiran tari saman hanya dinarikan oleh kaum wanita saja. Padahal aslinya hanya pria yang melakukan tarian itu. Tari Saman ini berasal dari tanah Gayo, Aceh Tengah. Lirik lagunya berisikan puja-puji pada Allah serta shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad saw. Gerakan tarian ini begitu dinamis dan seringkali mengundang decak kagum siapa saja yang melihatnya. Gerakan tarian ini diilhami dari gerakan tahiyat awal dan akhir dalam shalat. Gerakan mengelengkan kepala ke kanan-kiri, cara duduk yang sengaja dirapatkan bagai barisan shaf dalam shalat. Duduk yang rapat antara penari ini juga dimaksudkan karena daerah Gayo yang sangat dingin sehingga berdekapan dan terasa hangat.selain itu dengan bahu yang saling berhimpitan, membuat gerakan semakin kompak dan menghasilkan gerakan gelombang tarian yang indah.
Mengapa tarian ini disebut Saman? Karena yang pertama kali memperkenalkan tarian in adalah seorang Syeikh Ulama dari Arab yang mendakwahkan islam di tanah Gayo yang penduduk dulunya merupakan non muslim keturunan Batak Karo, Sumatera Utara.
Tarian ini diiringi oleh tabuhan rapa’I atau rebana. Dan dipandu oleh seorang atau dua orang syeikh untuk menyanyikan syair dan lagu.
Tari Seudati
Sama halnya dengan Tari Saman, tari ini diciptakan sebagai media dakwah pada waktu itu. Seudati sendiri berasal dari bahasa Arab yakni Syahadatain yang artinya 2 kalimat syahadat.
Tarian ini tidak disertai instrument music melainkan irama yang ditimbulkan lewat suara petikan jari, tabuhan perut dan dada penari serta hentakan kaki yang serentak menciptakan sebuah ritme yang mengiringi syair denga sangat indah.
Tari Ranup Lam Puan
Ini adalah tarian yang sangat cocok dibawakan oleh perempuan karena memiliki gerakan yang sangat ringan dan lembut. Tidak seperti Tari Saman dan Seudati yang memiliki gerakan yang ekstrim.
Ranup itu sendiri memiliki arti sirih. Lam—dalam. Puan—cawan atau wadah. Jadi tari Ranub Lam Puan ini adalah tari penyambutan tamu dengan membawa secawan sirih untuk disuguhkan ke para tamu.
Biasanya tari ini sering dipakai untuk acara pernikahan, penyambutan tamu dari mempelai. Lalu sering juga digunakan untuk pembukaan acara seremonial yang dihadiri oleh para tamu undangan yang penting.
Tarian ini minimal dibawakan 5 orang. Maksimal 7 orang wanita. Lain dengan tari-tarian lain yang dinamis dan dipenuhi dengan suara-suara dari sang penari, tarian ini lebih kalem hanya ditemani oleh instrument musik saja. Atau jika mau ditampilkan secara life dan akustik biasa alata music yang terlibat hanya rapa’I atau rebana, gendang rapa’I dan alat music tiup Serunee Kale.
Awesome of Banda Aceh
Aceh menjadi daerah yang tidak ada habis pesonanya dari awal hingga akhir. Dari zaman Parameswara alias Sulthan Malik Al- Saleh, hingga sekarang, tak cukup diuraikan kisahnya hanya dalam beberapa hari. Bagiku Aceh begitu sangat istimewa. Seni, budayanya dipakai hingga luar Aceh. Bahkan tari Saman menjadi pelajaran ekstrakulikuler di sekolahan Jakarta hingga Kalimantan. Tarian Saman ini seperti yang kita ketahui sudah mendunia hingga ke pelosok negeri. Belum lagi jika bebicara budaya dan tata sopan santun yang melekat di masyarakat Aceh pedalaman. Seolah Agama Islam dan Budaya adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Aceh adalah negara yang besar. Bahkan jauh sebelum Indonesia ada. Dibawah pucuk kepemimpinan Iskandar Muda, beliau mampu menepatkan Kerajaan Islam Aceh di peringkat kelima di antara kerajaan terbesar Islam dunia pada abad ke 16. Saat itu Banda Aceh yang merupakan pusat kerajaan Aceh, menjadi pusat perniagaan yang ramai. Sudah dari dulu Aceh telah menjalin kerjasama internasional ke seluruh negara tak terkecuali China.
Iskandar Muda selain kepala pemerintahan yang baik namun ia juga adalah seorang raja yang bisa bertindak adil, bahkan terhadap anak kandungnya sendiri.
Maka timbulah ucapan kebanggaan orang Aceh :
“Adat bak Po temeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala”
Adat dipelihara Sultan Iskandar Muda, sedang pelaksanaan hukum atau agama di bawah pertimbangan Syiah Kuala( syeikh Abdurrauf As-Singkili).
Dan pemandangan alam yang luar biasa ciptaan Tuhan Sang Pencipta. Yang menciptakan landscape pesona alam yang begitu indah. Ketika penulis berada di Banda Aceh, tak pernah melewatkan saat-saat sunset di pantai Ulhe-lhee, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Tak hanya pantai. Sepertinya Tuhan menciptakan keindahan pesona alam satu paket. Hutan, sawah, gunung, sungai dan lautan. Semoga saja pesona ini tak akan pudar.
My Contribute for My City
Saya mempunyai cita-cita yang besar. Terinspirasi dari film ‘Omar’ yang disutradarai oleh Hatem Ali. Sebuah film yang fenomenal, menggebrak kegelapan film hollywood dengan tekad yang bulat membuat sebuah film dan memutar lagi masa-masa gemilang sejarah Khilafah Islamiyah.
Berawal dari ketakjuban saya sebagai dara asli Aceh yang ingin menghadirkan sebuah karya yang bermutu. Membangkitkan lagi ruh-ruh jiwa yang hilang selama ini dibenak orang Aceh. Bahkan mereka terlupa akan sejarah perdaban yang gemilang telah terjadi beberapa abad yang silam di tanah yang kini mereka pijak.
Bahwa dunia ibarat roda yang berputar. Ibarat roller coster yang kadang berada di awan-awan setelah itu jatuh meluncur menghujam bumi bahkan hingga ke titik nadir. Dan tak selamanya roller coester itu meluncur ke bawah, pasti beberapa detik lagi akan meroket menuju puncak tertinggi.
Itulah yang kini dialami oleh masyarakat Aceh. Pernah jaya di masa silam, pernah melarat bahkan melewati titik terendah ! konflik yang memakan waktu 30 tahun lamanya. Ditambah pedihnya luka tersayat-sayat oleh amuk bala tentara pencabut nyawa di dasawarsa yang lalu. Kini Aceh mulai bangkit. Mulai berbenah. Dan tunggu saja pada masanya dimana Aceh akan meroket ke angkasa dengan melopori Khilafah Islamiyah. [Dini Purnama Indah Wulan, santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini adalah bagian dari tugas menulis di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media
[1] Negeri Aceh, negeri kecil hasil berlimpah pemberian Allah Yang Maha Kuasa
[2] Budaya Aceh sangat elok, sangking eloknya, hingga terkenal di seluruh dunia
[3] Tari-tarian Aceh untuk menyambut tamu, dibawakan oleh 7 orang perempuan sambil membawa sirih di dalam cawan ( Ranup Lam Puan)
[4] Alat musik khas Aceh berupa alat tiup yang mempunyai suara yang autentik
[5] 1 mayam = 3,333 gram emas