Siapa sangka film karya santri ikhwan Pesantren Media yang berjudul “Alone”, menjadikannya popular di kampungku. Awalnya aku iseng memperkenalkannya pada salah satu warga di kampungku, bukan iseng sih tapi sengaja ingin memperlihatkannya, seolah-olah seperti ini lho karya yang sudah diciptakan santri Pesantren Media. Aku ingin sekali memperlihatkan sesuatu yang membuatku bangga dan sangat senang kepadanya.
Dia adalah orang yang selalu mendukungku sekolah di Pesantren Media. Baik sekali. Sampai-sampai karena kebaikannya itu, aku berjanji kepada diriku sendiri setiap aku pulang aku akan sempatkan mampir ke rumahnya. Memperlihatkan apa aja tentang Pesantren Media, tapi kadang bercerita tentang keadaan di PM.
Ketika film itu sudah ditonton, dia bilang malam ini akan ada bioskop di Lapangan Guludug. Layar tancep “Bioskop ala kampungku”. Dan semua warga akan melihatnya. Sore itu juga pemuda-pemuda dari semua RT dikerahkan untuk membantu. Entahlah aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Senang bukan main.
Tapi di sisi lain aku bingung, apakah semua warga mengerti amanat yang disampaikan film itu. Aku kira nggak semua mengerti. Karena yang nonton bukan golongan muda aja tapi golongan tua juga. Salah satunya nenekku.
Sebelum sholat isya, terdengar ada pengumuman dari Masjid tentang akan ada film yang diputar malam ini sesudah sholat tarawih. Kemudian diumumkan juga siapa aja remaja yang bertugas untuk membantu dalam pemutarannya. Beserta yang masak untuk suguhan warga. Beberapa pemuda disuruh untuk mengeluarkan hasil alam yang disimpan di gudang kampung kemudian membawanya ke Lapangan Guludug.
Khusus untuk remaja laki-laki dari semua RT membantu dalam pemutaran film itu dan menyiapkan untuk tempat duduk warga. Dan remaja perempuan ditugaskan untuk menyediakan makanan untuk warga. Remaja perempuan dari RT 1 ditugaskan untuk merebus ubi jalar, RT 2 ditugaskan untuk merebus kacang tanah, RT 3 ditugaskan untuk merebus jagung manis, RT 4 ditugaskan untuk merebus kacang kumbili, RT 5 dan RT 6 ditugaskan untuk membuat bandrek.
Malam itu, sangat ramai sekali di Lapangan Guludug. Karena biasanya lapangan itu selalu sepi. Jangankan malam, siang pun begitu. Mungkin karena letaknya itu dekat hutan, jadinya anak-anak takut untuk main ke sana.
Kayaknya rumah-rumah pada kosong, bertaburan semua ke Lapangan Guludug itu. Soalnya Lapangan Guludug sudah tak bisa dilihat tanahnya lagi, manusia semua.
Ternyata warga sangat antusias untuk menontonnya. Dari ujung ke ujung aku memperhatikan warga yang nonton, semuanya pada diam dan fokus melihat film yang diputar. Walaupun dari awal aku nggak yakin semuanya pada ngerti.
Saat aku melihat nenek-nenek yang menontonnya, mereka sibuk sendiri dengan ketakutannya. Sontak membuatku cekikikan, lucu melihatnya. Mungkin dikiranya film horror. Karena situasi di film itu musiknya membuat seram. Ditambah aktornya Cuma sendirian.
Saat aku melihat ibu-ibu mereka sibuk menanyakan kenapa aktornya sendirian. Kasihan katanya. Sibuk juga menggerutu habis-habisan tak mengerti kenapa sendirian. Kasihan katanya. Aku tersenyum melihat mereka.
Lain lagi saat aku melihat remaja yang menonton, mereka diam tak mengatakan sepatah suarapun, mereka fokus menontonnya. Aku sih berharap mereka mengerti.
Kemudian aku alihkan lagi melihat ke arah laki-laki, mulai dari anak kecil hingga kakek-kakek nggak ada suara apapun. Aku jadi berfikir, berarti yang rame itu perempuan. Aku cekikikan. [Ilham Raudhatul Jannah, santri angkatan ke-1, jenjang SMA, Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis feature di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media
KOMENTAR: Tulisan feature ringan seputar pengalaman Ilham Raudhatul Jannah dalam mengenalkan hasil karya film pendek santri Pesantren Media ke masyarakat di tempat tinggalnya ini cukup bagus. Pemaparannya menarik dan inspiratif. Teruslah menulis agar kian mahir!
O. Solihin
Instruktur Kelas Menulis Kreatif
Kenpa enggak muterin Ngulik aja Teh? Biar terkenal wahaha