Hari liburku sebagian diisi dengan kabar-kabar duka. Kenapa? Karena ada kabar bahwa saudara sepupuku meninggal dunia dengan keadaan yang mengenaskan: Kecelakaan. Demikian kronologinya.
Seorang gadis berumur delapan belas tahun sedang mengendarai motor bersama dengan adik perempuannya yang bernama Fitri. Dia baru berumur sebelas tahun. Kedua gadis ini pun melaju kencang di antara truk-truk yang sungguh raksasa. Dari sini, kita pasti sudah tahu apa kelanjutannya. Cerita mereka sangatlah klise, namun tetap menyedihkan. Karena Ilmi—begitulah nama gadis pengendara tersebut—ingin mendahului sebuah truk di hadapannya, dia pun menyalip dari sisi kiri truk, perempuan remaja yang berjalan ke arah timur ke barat itu tidak memperhatikan bahwa di depannya ada perbaikan jalan, sehingga motornya oleng dan terjatuh. Bersamaan dengan itu, pengendara maupun penumpangnya terlindas ban truk bagian depan kiri dan meninggal dunia di TKP.
Sebelum aku tahu bagaimana kejadian di atas, aku hanya tahu bahwa Ilmi meninggal dari status-status saudaraku di kontak whatsapp. Awalnya aku pikir hanya lelucon yang keterlaluan, karena memang buatku, kematian seseorang itu seperti mustahil, walaupun itu tak bisa diragukan kebenarannya.
Aku berusaha mengontak keluarga intiku, ingin bertanya lebih lanjut, namun semua tak ada yang merespon. Kakakku memberikan pesan singkat yang membuatku sedikit mengerti situasi di rumah, ‘Sebentar, ya. Ini sedang ada musibah. Semuanya sedang sibuk.’ Dan jantungku benar-benar berdebar. Aku sampai menunggu Kak Fathimah agar segera ke asrama untuk menemaniku. Aku butuh teman untuk diajak bicara. Setelah Kak Fathimah datang, aku melihat status whatsapp lagi demi mengetahui kabar. Lalu aku mendapati foto mayat yang ditutupi kain batik berwarna cokelat. Awalnya aku tidak sadar bahwa itu dua mayat, sampai Kakakku yang pertama mengirim pesan, ‘Ilmi dan Fitri kembali ke rahmatullah (meninggal dunia).’ Aku makin terkejut! Dia dan adiknya? Kenapa?
Aku bertanya ke Kak Fathimah,
“Yang meninggal dia sama adiknya!”
“Hah?!”
“Ih, kenapa, ya?”
“Mungkin kecelakaan.”
Aku tidak berpikiran sama sekali untuk melihat berita waktu itu karena aku pikir meninggalnya adalah meninggal karena sakit, atau memang sudah waktunya. Aku tidak memiliki prasangka sedikitpun bahwa Ilmi meninggal karena kecelakaan. Setelah semalaman pikiranku kacau, hatiku tak henti-hentinya berdebar karena cemas, ingin tahu kenapa, esoknya aku membaca kabar dari status kakak kelas yang tinggal di desa yang berdekatan. Status tersebut adalah kabar yang menjelaskan kronologi terjadinya kecelakaan. Dijelaskan bahwa nama korban adalah Ilmi dan Fitri. Aku berdebar. Tak siap melanjutkan paragraf selanjutnya. Dan akhirnya kubaca juga dengan rasa tak percaya yang bertubi-tubi. Namun percaya atau tidak, demikian adanya.
Aku sedih dia meninggal dalam keadaan yang seperti itu, bahkan di usianya yang muda. Namun itu sudah takdir Allah. Aku sangat berharap semoga Allah menghapus semua dosa-dosanya, dan menyayanginya di akhirat. Karena aku sangat mengerti bagaimana hidupnya selama ini. Hidup yang tak seharusnya dimiliki anak remaja.
Ilmi adalah anak dari sepupuku. Jadi Ilmi itu sebenarnya siapaku? Intinya kerabat dekat. Dia ditinggal oleh kedua orangtuanya sejak dari kecil. Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Setelah ditinggal oleh kedua orangtuanya ke Malaysia, Ilmi tinggal bersama dengan neneknya, yang merupakan bibiku. Neneknya adalah seorang wanita tua yang gemar berhutang tak peduli sebanyak apapun penghasilannya dari jualan rujak. Dia bahkan pernah berhutang pada anak berusia tujuh belas tahun, yakni diriku. Kenapa dia berhutang? Entah. Intinya untuk menutupi lobang, dan kebutuhan-kebutuhan yang tidak penting.
Ilmi dari kecil dididik keras oleh neneknya. Tapi, masalahnya, didikan kerasnya itu bukan untuk sebuah didikan, melainkan ego. Neneknya selalu menyuruh dia untuk melakukan hal-hal yang tak seharusnya dilakukan anak kecil. Ilmi, dalam kesehariannya adalah budak dari neneknya. Neneknya selalu menyuruhnya ini, itu, ini, itu. Tak ada waktu baginya untuk bermain, berkembang, dan belajar. Yang dia tahu dari kecil hingga remaja adalah bekerja di dapur, di pasar, dan di rumah. Saking keras hari-harinya, dia benar-benar kurus kering, dan kumuh.
Karena neneknya ini banyak hutang, jadinya, duit Ilmi juga sering diambil jatahnya. Jatah uang jajan yang dikirim oleh ibunya dari Malaysia untuk dia. Bahkan neneknya rela menjual baju-bajunya yang bagus demi menutupi lobang hutang. Sehingga, Ilmi jika dilihat seakan-akan adalah anak yang tak memiliki baju yang layak.
Sebelum dia meninggal dunia, Ibuku bercerita bahwa dia akan menikah dengan pacarnya di bulan puasa tahun 2020 nanti. Namun sayangnya, itu hanya menjadi sebuah rencana karena Allah tak menghendaki. Aku merasa, kabar itu adalah kabar terbaik yang pernah aku dengar dari seorang Ilmi. Aku yakin dengan pernikahan itu dia akan bahagia, dan bisa bebas dari kesengsaraannya selama ini. Namun sekali lagi, Allah lebih tahu apa yang lebih membahagiakan bagi dia.
Aku berharap, Allah memberinya surga atas segala kesabaran dia selama ini. Aku tak peduli dengan keburukan yang dia lakukan. Kenapa? Karena aku merasa bahwa dia pantas mendapatkan surga walaupun itu semua terserah pada Allah. Lagipula, aku hanya manusia, yang mana, daripada aku memperhatikan keburukannya, lebih baik aku memperhatikan kebaikannya. Dan aku, sebagai saudaranya, sebagai hamba Allah, memohon dengan hati yang tulus, dia bisa beristirahat dengan tenang, dibawah naungan kasih sayang Allah, beserta adiknya. Aamiin.
With Love, Natasha
[Nur Aminah Natasyah, kelas 3 SMA]