Malam ini bagi Ananda adalah malam yang sangat bahagia karena Ananda bisa berkumpul dengan saudara-saudara jauhnya. Bercanda, berbagi cerita dan yah! Asik deh! Di tengah- tengah tawa canda mereka. Terdengarlah suara kumandang Adzan. Seperti biasa setiap berkunjung ke tempat keluarga, 3 saudara dekat ini Kak Enge , Ananda dan Nurul. Selalu Sholat di mesjid. Karena mereka ingin merasakan bagaimana mesjid-mesjid di setiap kota. Mereka pergi ke mesjid dengan senyuman penuh kebahagian. Ananda dan Nurul siap-siap Sholat dengan tidak menggunakan mukena. Tetapi sudah memakai jilbab dan kaos kaki. Tetapi
“Eh, pakai mukenanya dulu! Nanti Sholatnya tidak sah adek-adekku. Soalnya setiap takbir nanti tangan kalian kelihatan kecuali, kalian memakai manset” kata Kaka Enge dengan lembut. Memang Kak Enge di kenal dengan penyang dan suka ngebanyol. Makanya kami sangat dekat dengan kak Enge, karena kelucuannya dan kasih sayangnya itu. Kami pun memakai mukena yang ada di mesjid. Kak Enge tertawa karena kelucuan kami yang memakai mukena mesjid itu. Seperti anak-anak imut gituu J
Kami Sholat, tetapi Kak Enge tetap tertawa karena kelucuan tadi. Kak Enge yang sholat di sampingku tetap tertawa. Akhirnya aku juga ikut tertawa, padahal aku sudah sholat satu rakaat.
“ Ehm, gak apa-apa deh!” gumamku dalam hati.
Setelah selesai sholat kami tidak langsung pulang, selain kami photo-photo dulu karena kelucuan kami memakai mukena mesjid itu seperti anak bayi . Berphoto-photo di mulai, setelah selasai. Kak Enge langsung ngomong
“Instragram” cetus Kak Enge. Maksudnya adalah photo kami itu akan di masukkan ke Instragram.
Setelah beberapa menit kemudian kami pulang. Di depan pintu ada bapak-bapak yang berpakaian kaya orang alim gitu. Tapi lusuh dan kusam.
“Tapi masa orang alim ngerokok dan duduknya gak sopan” gumamku.
“Dan juga kalo orang alim beneran. Dia pasti akan menjaga pandanganya dari kaum wanita” tambahan kata dari dalam hati Ananda. Tetapi orang itu tetap memperhatikan kami.
“Mungkin orang itu ngeliat Kak Enge dan gak mungkin orang itu ngeliatin kami, kan aku dan Nurul belum dewasa yang sudah dewasa Kak Enge ” kata dalam hatiku. Aku menutup pintu mesjid itu dan langsung berlari munuju Kak Enge dan Nurul. Kami berjalan dengan irama angin malam. Kak Enge masih memagang Hpnya dan menglihat-lihat photo kami tadi. Sedangkan aku sudah melihat tiga orang laki-laki berdiri di tengah jalan. Berbaris ada yang berdiri dekat pagar sambil memainkan Hpnya , ada yang berdiri di tengah jalan sambil , dan ada juga yang duduk di bangku catur.
“Kak Enge belok aja yah! Aku takut nih?” kata ku sambil memegang tangan Kak Nge.
“Kenapa sih Nan?”kata Kaka Enge masih memainkan Hpnya.
“Ya, deh pokoknya belok ajah!” kat Nurul sambil menarik tangan. Setelah dekat sekali dengan laki-laki baru Kak Enge bilang.
“Ehm, ya sudah. Ayo kita belok!” kata Kak Enge yang sambil berbelok. Lalu Nurul mempercepat jalannya. Tiba-tiba laki-laki itu berbicara
“Kok cewe belok sih!” kata laki-laki itu dengan jijinya itu. Dan omong-omongan yang lain. Semakin cepatlah Nurul berlari sampai-sampai dia lari. Sebenarnya Kak Enge ingin berteriak jangan lari, tapi Kak Enge takut. Aku juga ikut lari tapi, tanganku sudah di pegang Kak Enge, jadi aku lari sambil menarik Kak Enge. Tapi anak-anak itu menambah kata yang menjijikan, tambahlah Kak Enge kenceng larinya. Sekarang gantian, aku yang memegang tangan Kak Enge dan Kak Enge yang menarikku. Hampir saja Kak Enge akan tergelicir. Lari kami semakin kenceng. Hampir-hampir aku ingin ngompol. Untung saja itu tidak terjadi.
Kami mengelilingi komplek itu, ketika kami nyampe warung Pak Wan. Kami ketemu dengan Kak Ipeh dan Kak Nisa yang sedang membeli sabun mandi. Kak Enge bercerita dengan Kak ipeh dan Kak Nisa. Setelah selesai bercerita. Kami bertiga ingin pulang duluan, ketika kami ingin pulan ke rumah Kak Ipeh. Ternyata anak-anak itu masih ada. Malah menunggu di samping mobil. Kami berbalik arah berlari menuju Kak Ipeh dan Kak Nisa.
“Kenapa sih?” kata Kak Nisa dengan santai.
“em, di sana ada Ikhwan” Kata Kak Enge terengah-engah.
“Ya sudah, ayo peh kita duluan” kata Kak Nisa sambil berjalan.
“Jangan di sana ada Ikhwan” Kata Kak Enge sambil mengayuh-ayuhkan tangannya.
Akhirnya Kak Nisa , mau mengikuti kata-kata Kak Enge. Kami akan mengelilingi jalan itu lagi untung saja Om Dayat. Om Dayat adalah Ayah Kak Nisa.
“Itu bukan Om Dayat Nan?” kata Kak Enge ketakutan. Karena Kak Enge baru pertama kalinya dia di kejar-kejar laki-laki begini.
“Itu Om Dayat, Nanda tau gaya jalan Om Dayat itu” kata aku meyakinkan kepada Kak Enge.
Akhirnya , Alhamdulilah itu benar Om Dayat kami langsung mengadu kepada bahwa kamu di halang-halangi jalannya dan digoda-godain.
“Oh, ya sudah. Ayo ikut Om!” kata Om Dayat sambil berjalan lalu Om Dayat berbicara.
“Yang Mana sih orangnya” kata Om Dayat penasaran. Kami hanya diam.
“Kok Om gak di ganguin” kata Om dayat dengan nada berbicaran yang lucu.
“Ya lah Om. Om itu laki-laki” kata Kak Enge, sambil tertawa.
“Masa sih. Laki-laki godain laki-laki juga. Omm” Kata Kak Ipeh sambil bercanda. Setelah melewati warung itu kami lari dan bilang dengan Om Dayat.
“Maksih yah Om. Assalamu’alikum” kata kami dan berlari. Ternyata laki-laki itu duduk di bangku warung Pak Wan. Yang duduk itu cuman berdua yang satunya ternyata di jalan. Kata Ipeh, laki-laki yang berdiri di tengah itu anak nakal, dan satunya itu namanya Toto. Anaknya itu dulunya baik. Eh, sekarang jadi gitu. Dan juga Toto itu adalah tetangga rumah Kak Ipeh. Hem, jiji sekali dengan kejadian semoga tidak terulang lagi..
Bogor, 17 Mei 2013
[Saknah Reza Putri, santriwati angkatan ke-2, jenjang SMP, Pesantren Media]