Loading

Angin berhembus dengan kencang, menggerakkan rambut hitamku. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Mungkin ini adalah hari terakhirku menikmati angin danau Simundi. Ku tutup mataku dan ku bentangkan tanganku. Perasaan ini adalah perasaan yang sangat ingin ku nikmati setiap saat. Andai, itulah kata yang paling mustahil terjadi.

“Yuda..” Suara itu membuatku terkejut. Sebuah tangan mendarat di bahuku. Aku membalikkan tubuhku menghadap orang itu. Dan,

“Aa…”

Hufthh

OoOoO

Aku membuka mataku. Pandanganku berbayang-bayang. Adapa ini? aku menajamkan penglihatan ke sekelilingku. Baru kusadari ternyata aku di sebuah rumah. Tapi ini rumah siapa? Siapa yang membawaku?

“Uhuk..” Aku mencoba menggerakkan tanganku. Kenapa tangku diikat? Aku tetap berusaha melepaskan tanganku dari ikatan tali tambang putih kotor ini.

“Akhirnya kau sudah bangun? Aku merindukanmu.” Wanita berbaju hitam itu berjalan ke arahku dengan tangan yang membawa gelas berisi susu.

“Kau mau?” Aku hanya diam, tanpa menjawab pertanyaan wanita itu. Mataku terus menatapnya dengan tajam.

“Bisakah kau jangan menatapku seperti itu?” Tanyanya, aku tetap diam.

“Aku bukan orang yang membunuh..”

“Sudahlah. Aku tidak membahas itu lagi. Lepaskan ikatan ini dan jangan gangu aku lagi.” Jawabku dengan datar. Mataku tertuju pada sebuah bingkai foto yang terpajang di dinding rumah.

“Kamu mengingatnya, Yud?” Ternyata, wanita itu juga mentap kea rah bingkai foto itu.

“Kenangan pahit, ” Ucapku singkat. “Lepaskan aku. Aku ada acara jam sembilan.”

“Acara apa malam-malam begini?”

“Apa urusanmu? Kamu saja boleh pergi sore pulang malam, tanpa memberikan alasan.” Jawabku dengan nada tinggi. Emosiku mulai meninggi. Entah kenapa, ketika berbicara dengannya emosiku menjadi tidak stabil.

“Tidak baik keluar malam-malam. Lebih baik kamu mala mini tidur di sini.”

“Tidak akan.”

“Tidak akan aku lepaskan juga.” Wanita berjalan meninggalkanku.

“Kenapa aku tidak boleh merasakan kebebasan dunia, seperti mu?”  Tanyaku dengan lirih.

“ Kamu ingin sepertiku?” Dia medekatiku dan melepaskan ikatan tali tambang putih itu. Tak kusangka wanita itu membiarkanku menjadi dirinya. Setes air mata mengalir di pipiku. Tangaku menghapus air mata itu.

Kakiku melangkah menuju pintu.

“Jaga dirimu, Dik.” Suara wanita itu terdengar dikupingku. Aku membalikkan badan, wanita itu berjalan semakin menjauh.

“Kenapa kamu membunuh Ayah dan Bunda?” Teriakku.

“Aku tidak membunuh Bunda!”

“Kamu kira aku buta? Yang tidak bisa melihat? Kamu kira aku masih anak kecil yang tidak mengerti apa-apa? Kamu kira apa aku?!” Teriakku menggema di seluruh ruangan.

“ Aku.. akuu hanya..”

“Aku hanya membuka pintu dan mempersilahkan mereka membunuh Bunda? Begitu? Bagus!” Aku menutup pintu rumah dengan keras. Dan berlari entah kemana kakai ini akan menuju. Mungkin, tempat yang terbaik saat ini adalah masjid. Ya, malam ini aku akan beriktikaf di masjid. Menenangkan diriku.

OoOoO

Rasa ingin membuang hajat, membangunkanku dari tidur. Aku segera berlari menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamar tidurku.  Rasa haus menyerang tenggorokanku membuat kaki ku berjalan santai menuju dapur yang tidak jauh dari kamar mandi.

Krek.

Aku mengambil gelas yang terletak di meja makan. Suara langkah-langkah kaki terdengar olehku. Mungkin itu hanya suara langkah kucing. Tidak. Kami sekeluarga anti kucing. Suara langkah itu makin terdengar, sepertinya suara langkah orang dewasa. Mungkin Ayah. Penasaran. Itulah sifatku yang tidak disenangi bunda. Aku melangkah pelan menuju kamar ayah dan bunda. Pintu kamarnya terbuka. Sudah ku duga sepertinya Ayah ke kamar mandi. Tanganku mendorong pintu jati coklat itu.

“Bun..”

Suaraku tertahan. Seseorang memeluk tubuhku. Ku angkat wajahku, dan ku temui wajah Ka El, yang sedang menatap ke suatu arah. Mataku mengikuti arah tatapan Ka El. Dua orang berbadan besar, berbaju hitam dan topi yang menutupi wajahnya. Laki-laki itu sedang memegang sebuah pistol hitam di tangannya. Diarahkan moncong pistol tersebut ke arah kepala ayah.

Doorr!

                Pandangnku tertutup tangan Ka El. Aku berusaha melepaskan tangan Ka El dari mataku. Nihil. Usahaku hanya sia-sia.berpikir. berpikir. Bagaimana caranya agar aku bisa menyelamatkan bunda. Aku menggeratakan gigiku dan mengigit tangan Ka El.

“Akhh!!!” Ka El berteriak. Aku segera berlari menuju bunda.

“Bunda!”

Bugh!

                Semoga ini hanya sebuah mimpi.

OoOoO

“Astaghfirullahalazhim…” Aku mengusapkan tanganku ke wajah berkeringatku. Apa yang sudah ku mimpikan. Aku bangkit dari tidurku dan menuju tempat wudhu di masjid. Muaadzin, mulai berkumandang adzan. Menyeru kaum muslimin untuk melaksanakan kewajibannya. Yaitu sholat fardu. Bagi laki-laki diwajibkan untuk melaksakan sholat di masjid berjamaah dengan kaum muslimin.

OoOoO

Aku berjalan menuju depan kostanku. Mataku terpaku kepada sebuah Koran hari ini yang berjudul.

Perempuan Cantik Menjadi Korban Pembunuhan.

                Aku mendekati toko majalah tersebut dan menarik korban yang memebuat aku terpaku.

Seorang perempuan berumur 25 tahu. Tewas terbunuh dengan pisau yang tertancap di dadanya. Terdapat tulisan di lantai yang terbuat dari darah ,

                Pa-Kaa[1]

                Kata terakhir darinya.

[1] Selamat Tinggal

By Putri Aisyara

Saknah Reza Putri | Santriwati Pesantren MEDIA angkatan ke-2, kelas 3 SMP | Asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan | Twitter @PutriAisyara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *