Loading

6

Lintah Family

Di sini aku punya dua teman sebaya berdarah Burma. Namanya adalah Haikal dan Fatin. Kami selalu bermain bersama, bermain boneka. Karena tidak ada lagi anak laki-laki selain Haikal, jadi dia ikut bersama main dengan kami, anak perempuan.

Haikal anak yang pemberani—bagiku. Alkisah, aku dulu pernah dihinggapi oleh lintah di kakiku. Aku terlalu takut untuk mengambilnya. Ingin menjerit tapi terlalu takut juga. Aku ingin menunggu dia jatuh sendiri saja, namun aku tahu itu harapan yang tak mungkin. Sebab kata Mak e, lintah tak akan lepas dari kulit sampai dia puas menghisap darah-darah kita. Begidik ngeri aku tatkala membayangkan tubuhku ringkih akibat darahku dihisap habis olehnya.

Tetapi waktu keputusasaan melanda, datanglah Haikal, pahlawan kesekian dalam hidupku, menarik paksa lintah itu dengan beraninya. Aku super kagum, dan super berterimakasih. Lintah itu dijatuhkannya ke tanah, lalu Haikal cepat-cepat masuk ke rumah, kemudian balik lagi sembari membawa segenggam garam. Ditaburkannya garam-garam itu ke tubuh lintah sialan itu. Aku tak puas kagum ketika melihat kekuatan sang garam yang berhasil meluluhlantakkan, melelehkan, menghancurkan sang lintah, musuh bebuyutan.

Ya, memang di kampung ini, dekat sekali dengan kamar mandi umum kami, adalah sungai yang dihuni oleh banyak sekali lintah-lintah family dan entah hewan-hewan mengerikan apalagi. Tapi ada berkahnya juga sungai itu. Berjalar-jalar akar kangkung beserta daun-daunnya yang segar menghiasi sungai horor itu. Mak e sering memasakkanku tumis kangkung yang sedapnya tak terkalahkan. Bagiku, orang yang bisa membuatku makan sayur dengan tulusnya adalah orang hebat. Dan yang bisa melakukannya hanyalah Mak e. Entah kenapa, jujur saja, setiap ada yang memasakkanku tumis kangkung selain Mak e, aku enggan menyantapnya. Rasanya seperti banyak yang kurang. Kurang enak karena kurang bumbu, aromanya tak menggiurkan, kangkungnya serasa mentah dan kurang kuah. Itulah simpulku terhadap masakan-masakan tumis kangkung orang lain yang bukan Mak e.

Ngomong-ngomong soal kangkung di kampungku, suatu hari ada dua wanita muda berdarah Vietnam nekat mencari kangkung di sungai horor itu. Warga kampung tak peduli siapapun yang hendak mengambil kangkung-kangkung itu. Toh, dari awal memang bukan punya mereka. Jadi dibiarkanlah kedua wanita muda itu meneruskan misinya.

Namun dugaan warga kampung yang sudah mengenal sekali sungai itu benar-benar terjadi. Kedua wanita itu setelah mengambil dua kresek kangkung, mereka terjerat di tengah-tengah sungai yang dangkal itu. Mereka menjerit-jerit ketakutan, meminta tolong pada warga yang sedang menjadikan mereka tontonan, karena kini kaki mereka dipenuhi dengan pasukan lintah yang haus darah. Maklumlah, lintah mana doyan dengan kangkung.

Di kampung kami ini, yang berani masuk ke sungai itu dan kebal mengahadapi lintah-lintah itu hanya satu orang, yakni, Bang Burhan. Orang Burma paling pemberani di kampung, yang juga tukang mengambilkan sayur kangkung untuk kami. Orang itu—Bang Burhan—ternyata sudah on the way untuk menyelamatkan kedua wanita TKW itu. Digendongnya satu persatu dari mereka menuju daratan, dan diambillah lintah-lintah itu oleh Bang Burhan tanpa keraguan sedikitpun. Sementara itu, kedua wanita itu masih tidak menghentikan tangis ketakutan mereka.

Aku ingin tergelak, tapi tak sedap hati. Aku pun pernah di posisi mereka. Dan aku amat mafhum dengan rasa syok itu.

Mereka berpamitan dengan kami, juga meminta maaf karena mengambil kangkung tanpa permisi. Padahal bukan itu masalahnya. Toh, lintah-lintah itu bukan hukuman untuk mereka atas kelancangan mereka. Ya, sudahlah. Setidaknya, dalam waktu dekat tidak ada wanita TKW yang akan mengambil kangkung di sungai horor itu, lantas menyusahkan Bang Burhan lagi.

Aku masih menahan kekehan kurang ajarku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *