4
Anak Bungsu
Aku dibangunkan oleh Man Rul.
“Wes totok.”1
Aku mengucek-ucek mataku. Membuntuti Man Rul yang menuju ke pintu keluar. Aku melihat sekeliling. Masih malam.
Man Rul dan aku menunggu di parkiran. Entah kenapa hatiku berdebar kencang. Ini kebahagiaan yang tak terperi bagiku. Sekian lama aku tidak bertemu dengan orangtuaku, dan kini Tuhan mengizinkanku bertemu mereka. Senangnya.
Setengah jam berlalu, baru ada mobil yang berhenti di hadapan kami. Man Rul menyapa sopir yang juga membalas sapaannya. Aku masuk ke dalam mobil, duduk di belakang. Aku ingin melanjutkan tidurku, tapi aku sungguh merasa terganggu dengan obrolan mereka yang diselipi dengan gelak ketawa yang membuncah. Aku mendengus sebal.
Dasar lelaki! Rutukku.
Entah seberapa lama kami menempuh perjalanan sampai akhirnya tiba di sebuah rumah bertingkat. Pak sopir itu memarkirkan mobil di perkarangan rumah. Setelah benar-benar mobilnya berhenti, kami pun turun. Aku membuka pintu mobil dengan malas. Sepanjang perjalanan tadi tak habis-habisnya aku merutuk. Lelahnya.
“Turu o. Sesok mak ne sampean karo bapak e sampean gek nyusul.”2
Aku mengangguk. Aku baru mengerti ternyata orangtuaku tidak ada di sini. Padahal aku sudah tidah sabar dari tadi ingin bertemu. Ah, bukan. Bukan dari tadi. Tapi dari dulu tepatnya.
***
Pagi sekali aku sudah bangun dengan sendirinya. Pagi ini adalah rekor terbesarku dalam bangun pagi. Itu kataku sebelum aku melihat jam. Tapi ketika aku sudah melihat jam yang kini menunjukkan jam enam lewat lapan belas, ternyata itu adalah rekor terbesarku dalam telat bangun. Aku menelengkan kepala bingung. Bertanya-tanya, kenapa jam enam begini, di luar masih gelap? Sepertinya jamnya salah.
Aku lekas turun mendapati Man Rul yang masih terlelap di sofa. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Setahuku, biasanya orang dewasa akan bangun subuh untuk melaksanakan sholat subuh. Dia selalu melihat Nengnya melakukan hal itu. Bahkan tetangga-tetangganya juga sampai mendatangi musholla di sebelah rumahku.
“Man, tangi. Sembahyang.”3
Man Rul mengerjap-ngerjapkan matanya melihatku. Lalu tidur lagi.
Aku mengerucutkan bibir. Tidak sholat, kah? Ya, sudahlah.
Aku mengelilingi rumah besar ini. Ini pertamakalinya aku datang ke rumah ada tangganya seperti ini. Tapi rumah ini tidak ada yang menarik lagi selain tangga itu. Aku kembali bosan. Merebahkan diri di kasur dengan rasa ketidaksabaran. Kapan, ya, Mak e dan Ayah datang?
***
Aku merasa wajahku barusan digosok dengan sikat. Aku terbangun. Gelak ketawa memenuhi ruang kamar. Aku menelengkan kepala melihat orang yang ada di depanku.
“Enak turu, ne?”4 Seorang pria tanggung merangkul badan kecilku dengan tangannya yang seukuran kepalaku. Siapa ini?! Aku menggurutu. Sudahlah tadi brewoknya mengganggu tidurku.
“Min, Bapak e wes teko iku loh.”5 Kata-kata Man Rul membuat hatiku berdesir.
Eh, Bapak?
“Ah, Ayah!” Aku memeluk erat Ayahku. Hah, sudah lama sekali kami tak berjumpa. Sampai-sampai aku sudah lupa dengan wajah mereka.
Sebelum kami pulang, Ayah dan Man Rul ngobrol terlebih dahulu. Sementara aku dan Mak e menyiapkan barang-barangku sambil pun saling bercerita. Samar-samar aku mendengarkan pembicaraan mereka. Salah satunya adalah Man Rul yang ingin mengangkatku menjadi anaknya. Aku sontak menautkan alis. Tidak mau! Untung saja Ayahku langsung menyanggah keinginannya itu.
“Mak e, Man Rul ambu ne gak enak.”6 Kataku pada Mak e. Mak e Terkekeh mendengar apa yang aku ungkapkan barusan. Dia hanya mengangguk mengiyakan. Aku pikir Man Rul memang punya bau yang tidak sedap dari sananya.
Lama setelah itu, kami pun pamit pulang. Tapi Man Rul menawarkan diri untuk menghantarkan kami pulang. Ayah menerima tawaran itu.
- Sudah sampai.
- Besok mak kamu, dan ayah kamu baru akan menyusul.
- Man, bangun. Sholat.
- Enak tidurnya?
- Min, Bapaknya sudah datang, itu, loh.
- Mak e, Man Rul baunya tidak enak.